OPINI-Politik identitas tidak dapat dihindari karena hal ini adalah pilihan seseorang yang dilatar belakangi adanya kesamaan. Tetapi mungkinkah hal ini menjadi jargon jelang pemilu 2024 nantinya?. Isu yang menjadi politik identitas dapat dilihat melalui kesamaan agama, suku, ras, gender, dan lain sebagainya. Salah satu alasan yang marak dibicarakan sekarang ini yakni politik identias agama. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa di Indonesia mayoritas muslim, dan bagaimana jika di Indonesia diperkuat dengan adanya politik identitas dengan melihat latar belakang agamanya?.
Agama memang tidak bisa dipisahkan dari politik, sehingga agama menjadi identitas yang kuat untuk diangkat. Namun, identitas agama ini hanya diangkat menjadi bentuk kepentingan menjelang pemilu. Tetapi setelah pemilu dan menduduki jabatan tersebut tidak lagi identitas agama ini menjadi tujuan utama.
Jika kita membahas selain agama contohnya suku, identitas suku ini secara menyeluruh bahkan setiap adanya pemilu kesamaan suku menjadi hal yang tidak lumrah lagi. Orang-orang berpikir bahwa jika sudah adanya kesamaan antara rakyat dan Calon Presiden (Capres) maka kemungkinan besar itulah yang menjadi pilihan rakyat tersebut, dalam hal ini adalah kesamaan suku atau budaya.
Dapat kita ketahui bahwa di Indonesia 50% rakyatnya adalah masyarakat Jawa. Dan ketika identitas suku digunakan dalam ranah pemilihan Calon Presiden (Capres) maka yang menjadi tolak ukur bahwa dimenangkan dalam pemilihan adalah orang yang mayoritas. Nah, tetapi bagaimana jika seorang capres itu dia berasal dari orang tua dengan suku yang berbeda. Besar kemungkinan akan lebih mendominasi karena memiliki identitas suku yang merata. Artinya bukan hanya disatu suku saja yang sebagai identitasnya. Namun, ada dua suku yang seseorang mendominasi suku yang satunya. Selanjutnya, bagaimana jika capres tersebut tidak berasal dari suku yang ada di Indonesia? Apakah dia menjadi korban politik identitas?.
Berpolitik bukan hal yang netral. Ada pihak yang memiliki tujuan yang sama untuk menjadikan negeri ini sebaik mungkin. Nah, pada dasarnya tujuan yang sama untuk memberikan terobosan baik dengan melalui gagasan yang meyakinkan agar pola pikir masyarakat mampu tahu akan hal yang semestinya mereka jadikan sebagai pemimpin yang baik. Melihat kondisi pemilu 2024, maka akan terjadi seperti halnya pemilu 2019 kemarin. Menggunakan identitas politik dan itu sudah sangat jelas nyatanya bahkan menggunakan teknik promosi melalui sosial media.
Mencari pengakuan dalam suatu kelompok tertentu untuk menduduki kursi jabatan itulah identitas politik. Pengakuan sementara untuk mengambil simpati rakyat dengan tambahan pendekatan dengan berbagai kelompok, baik itu kelompok ulama, kelompok elit politik, bahkan yang sering terjadi adalah pendekatan dengan masyarakat menengah ke bawah. Bagaimana tidak, perbedaan pendekatan antara beberapa capres memiliki keunggulan masing-masing. Serta ada juga yang memiliki pendekatan secara terstruktur dan dinilai tidak terlihal oleh rakyat.
Setelah adanya pengakuan, sementara dan menduduki jabatan itu, namun setelah terpilihnya dia tidak peduli lagi dengan masyarakat. Nah itulah menjadi isu yang ada di ranah identitas politik. Banyak yang kurang sadar dengan isu yang terjadi bahwa rakyat itu digiring melalui gagasan, pendekatan dan secara tidak sadar setiap rakyat mendengar pernyataan dari pihak yang satu serta memiliki kesamaan baik itu agama, suku atau budaya. Maka pilihan rakyat adalah yang mana mendominasi, maka itulah yang akan dipilih sebagai pemimpin.
Dengan adanya pemilu 2024 nanti, untuk memilih calon pemimpin yang baik maka banyak argumentasi, gagasan, melalui kampanye baik itu secara langsung maupun melalui media digital seperti sosial media. Kita sebagai masyarakat yang memiliki hak suara serta hak untuk memilih pemimpin yang baik, maka jangan mudah tergiring dengan banyaknya berita yang kita saja tidak ketahui apakah berita tersebut benar atau tidak.
Generasi muda sekarang sudah tugasnya yang memberikan banyak pemahaman akan hal dunia politik untuk orang yang memang dengan mudahnya termakan dengan berita hoax. Seharusnya masyarakat mempunyai pola pikir bahwa di negeri ini, bukan hanya orang yang memiliki agama mayoritas yang menjadi pemimpin, bukan suku dan budaya yang mayoritas akan dipilih menjadi pemimpin, namun harus kita sadari dan pahami mulai sekarang bahwa sebagai pemimpin tidak dilihat dari suku mana dia lahir, dari agama apa, gendernya apa. Namun pilihlah pemimpin yang mampu mengayomi masyarakatnya dengan tujuan untuk mensejahterakan negeri ini.
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.