PAREPARE, PIJARNEWS.COM — Jeratan Pasal 12 E UU nomor 20 tahun 2001 kepada 5 pejabat ULP Pemkot Parepare, dipertanyakan sejumlah pihak. Hal itu dinilai memanjakan rekanan yang sebelumnya disebut oleh Kapolres memberi uang pelicin. Dengan demikian, para rekanan hanya akan berstatus sebatas saksi.
Sejumlah pihak menilai kasus ini bukannya pemerasan, namun dianggap lebih tepat disebut kasus suap. Makmur Raona, salah seorang praktisi hukum memandang ada kekeliruan dalam penerapan pasal pemerasan itu.
“Jika dikaji lebih mendalam kasus tersebut lebih mengarah ke suap menyuap. Meskipun ada standar yang telah ditetapkan oleh Pokja ULP sebesar 0,5%. Intinya orang yang memberi itu karena ada kepentingan,” jelasnya.
Tambahnya, pasal pemerasan identik dengan pengaduan terlebih dahulu. Namun dalam kasus OTT ULP tidak ada rekanan yang melapor merasa diperas.
“Harusnya dijerat pasal 5 UU No 20 tahun 2001, atau paling tidak membuat suatu alternatif pasal sehingga ketika pelimpahan berkas ke Kejaksaan tidak mentok karena unsur materilnya tidak terpenuhi,” urai dia.
Dia khawatir, penerapan pasal yang salah alamat bisa membuat proses hukumnya berlangsung lama. “Jika ada keraguan penyidik, libatkan akademisi dan atau praktisi hukum,” tandas dia.
Sumber internal PIJAR di Pemkot Parepare, NN -namanya diinisialkan untuk melindungi sumber- mengatakan, ada beberapa langkah yang seharusnya ditempuh penyidik dalam kasus ini. Salah satunya melibatkan pihak LKPP.
“Penyidik bisa menggali data emonev dari LKPP dan data smart-report dari LPSE. Dari data tersebut, penyidik bisa memetakan siapa saja rekanan yang paling sering memenangkan tender di LPSE,” sarannya. (*)