OPINI-Sistem ketatanegaraan Indonesia belum menemukan titik ideal, terutama dalam hal perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal tersebut terjadi pada mekanisme judicial review yang dijadikan sebagai salah satu instrumen hukum dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia di Indonesia. Secara konseptual, judicial review merupakan pengujian suatu norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi. Mekanisme judicial review di Indonesia dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) (menguji UU terhadap UUD NRI 1945) dan Mahkamah Agung (MA) (menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU). Namun dalam tulisan ini, penulis hanya berfokus pada kewenangan judicial review yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU MK), Pemohon pengujian UU hanya dikualifikasikan pada empat subjek hukum yaitu: (1) perorangan warga negara Indonesia; (2) kesatuan masyarakat hukum adat; (3) badan hukum publik atau privat; dan (4) lembaga negara. Namun kualifikasi pemohon tersebut, justru menimbulkan problematika karena tidak mengatur Warga Negara Asing (WNA) sebagai subjek hukum yang memiliki hak untuk menguji UU terhadap UUD NRI 1945. Akibatnya, terjadi fenomena putusan MK yang tidak menerima permohonan judicial review yang diajukan oleh WNA. Misalnya saja Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 yang diajukan oleh Myuran Sukumaran, Andre Chan, dan Scott Anthony Rush yang berkewarganegaraan Australia. Selain itu, terdapat pula putusan MK No. 137/PUU-XII/2014 yang diajukan oleh Agbasi Chika yang berkewarganegaraan Nigeria. MK berpedapat bahwa permohonan judicial review yang diajukan keempat WNA tersebut tidak dapat diterima karena tidak memiliki legal standing sesuai amanat Pasal 51 ayat (1) UU MK. Namun, penulis menilai adanya urgensi untuk memberikan hak bagi WNA dalam menguji UU terhadap UUD NRI 1945, baik ditinjau secara filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Argumentasi Filosofis
Secara filosofis, terdapat tiga alasan mendasar mengapa WNA penting untuk diberikan hak dalam melakukan pengujian UU Terhadap UUD NRI 1945. Pertama, untuk mengimplementasikan fundamental principle negara hukum dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia WNA. Kedua, mengimplementasikan prinsip kemanusiaan dalam sila kedua Pancasila untuk mewujudkan pemberlakuan UU yang berdasar pada aspek kemanusiaan bagi WNA; dan Ketiga, ikut melaksanakan ketertiban dunia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD NRI 1945 melalui penertiban hukum yang melanggar hak konstitusional WNA. Hal tersebut menjadi penting, mengingat pemberlakuan UU tidak hanya mengatur mengenai hak dan kewajiban WNI, tetapi juga mengatur hak dan kewajiban WNA. Sementara, saat ini tidak ada mekanisme hukum yang dapat mengakomodasi bilamana terdapat WNA yang ingin menguji konstitusionalitas suatu UU karena dinilai mencederai haknya. Padahal konsepsi judicial review hadir untuk melindungi dan memenuhi hak subjek hukum, baik yang berstatus sebagai WNI maupun WNA.
Selain itu, pemberian hak bagi WNA untuk menguji UU terhadap UUD NRI 1945 akan memperkuat peran MK dalam memenuhi dan melindungi hak asasi manusia di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan, Pasal 51 ayat (1) UU MK hanya menempatkan MK sebagai the protector of the citizen’s constitutional rights karena hanya mengakomodasi WNI dalam pengujian UU. Padahal disisi lain, Mahkamah Konstitusi juga berperan sebagai the protector of the human rights yang berkewajiban melindungi hak asasi manusia yang tidak terikat dengan status kewarganegaraan seseorang. Menurut Pasal 24 UUD NRI 1945 dan Pasal 2 UU MK, MK merupakan lembaga negara dilingkup kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun bagaimana mungkin MK dapat menegakkan hukum dan keadilan, sementara WNA tidak memiliki mekanisme hukum untuk menuntut keadilan dan haknya yang terlenggar karena pemberlakuan suatu UU. Oleh karena itu, untuk memperkuat peran MK sebagai the protector of the human rights, maka pemberian hak bagi WNA untuk menguji UU terhadap UUD NRI 1945 merupakan politik hukum yang harus direalisasikan sebagai ius constituendum.
Argumentasi Yuridis
Secara yuridis, pemberian hak bagi WNA untuk melakukan pengujian UU Terhadap UUD NRI 1945 merupakan politik hukum yang konstitusional. Merujuk pada Pasal 26 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia”. Beleid tersebut melegitimasi bahwa WNA merupakan bagian dari penduduk Indonesia, sehingga memiliki hak konstitusional (termasuk untuk diperlakukan sama dalam memperjuangkan kepastian dan keadilan melalui pengujian UU yang merugikan haknya). Selain itu, BAB XA yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia, mulai dari Pasal 28A sampai Pasal 28J menggunakan frasa “setiap orang” untuk menyebut subjek hukum. Ketentuan tersebut tidak memberikan deferensiasi antara WNI dan WNA dalam hal perlindungan dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena pengujian UU merupakan instrumen hukum untuk melindungi dan menegakkan hak asasi manusia, maka menjadi logis jika WNA juga diberikan hak pengujian UU terhadap UUD NRI 1945.
Apalagi Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”. Legal framework tersebut sejatinya telah mengatur secara expressis verbis bahwa konstitusi telah mendudukkan secara sama antara WNI dan WNA dalam perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Sehingga konsepsi legal standing dalam pengujian UU terhadap UUD NRI 1945 tidak boleh membedakan antara WNI dan WNA.
Namun, Pasal 51 ayat (1) UU MK justru memberikan deferensiasi antara WNA dan WNI kerena tidak memberikan legal standing kepada WNA untuk menguji UU. Pertanyaannya sederhana, jika hak konstitusional WNA terlanggar atas pemberlakuan suatu UU, kemanakah WNA harus menuntut haknya yang terlanggar ? Jika menjawab pertanyaan tersebut dengan berdasar pada status quo, jawabannya “tidak ada”. Problematika hukum tersebutlah yang harus diselesaikan melalui pemberian hak bagi WNA untuk melakukan pengujian UU Terhadap UUD NRI 1945.
Argumentasi Sosiologis
Secara sosiologis, hak bagi WNA untuk melakukan pengujian UU Terhadap UUD NRI 1945 akan mewujudkan konsepsi sosio-egaliter bagi WNA dalam menuntut dan memperjuangkan haknya sebagai manusia di Indonesia. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa berdasarkan status quo tidak ada mekanisme hukum yang dapat ditempuh oleh WNA dalam menuntut keadilan atas haknya yang terlanggar karena pemberlakuan suatu UU. Padahal Konstitusi yang dijadikan sebagai batu uji pengujian UU, telah mengatur secara expressis verbis mengenai hak-hak konstitusional WNA. Menurut Mantan Hakim Konstitusi, yakni Harjono dalam dissenting opinion pada Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 menyatakan bahwa pemberlakuan suatu UU memiliki 3 karakteristik, yaitu diperuntukkan bagi WNI, diperuntukkan bagi WNA, dan diperuntukkan bagi keduanya. Jika pemberlakuan suatu UU juga diperuntukkan bagi WNA, maka menjadi logis jika WNA juga diberikan hak yang sama dengan WNI untuk menguji UU terhadap UUD NRI 1945. Karena pemberlakuan suatu UU juga berpotensi mencederai hak konstitusional WNA. Namun lagi-lagi, eksistensi Pasal 51 ayat (1) UU MK justru memberikan deferensiasi antara WNI dan WNA yang pada akhirnya mendegradasi prinsip equality before the law.
Pemberian hak bagi WNA untuk menguji suatu norma hukum telah dipraktikkan oleh beberapa negara, misalnya saja negara Jerman, Mongolia, dan Republik Ceko. Misalnya saja di Jerman, hak pengujian undang-undang ke Bundesverfas-sungsgericht juga diperuntukkan bagi WNA, dengan pertimbangan bahwa pemberlakuan undang-undang tidak hanya berpotensi mencederai hak-hak dasar Warga Negara Jerman, tetapi juga berpotensi mencederai hak-hak dasar WNA. Bahkan di Mongolia, hak pengujian undang-undang ke Constitutional Test juga diperuntukkan bagi individu yang tidak memiliki kewarganegaraan tetapi tinggal secara sah di Mongolia. Paradigma hukum demikianlah yang harus direalisasikan dalam konsepsi pengujian UU di Indonesia. Sebab pemberlakuan UU dapat mencederai hak-hak konstitusional WNA, maka WNA pun harus diberikan mekanisme hukum untuk memperjuangkan keadilan atas haknya yang terlanggar karena pemberlakuan suatu UU. Oleh karena itu, pemberian hak bagi WNA untuk menguji UU terhadap UUD NRI 1945 harus dihadirkan dalam sistem hukum Indonesia sebagai manifestasi perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia sebagai fundamental principle negara hukum.
Rekomendasi
Pemberian hak bagi WNA untuk menguji UU terhadap UUD NRI 1945 dilakukan melalui revisi Pasal 51 ayat (1) UU MK dengan menambahkan “Warga Negara Asing” sebagai salah satu jenis Pemohon yang memiliki legal standing dalam menguji UU terhadap UUD NRI 1945. Selain itu, konsep pengujian UU oleh WNA harus dilimitasi pada jenis UU yang dapat diuji oleh WNA, yakni hanya pada UU yang diperuntukkan bagi WNA dan berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. Perubahan materi muatan UU MK harus ditindaklanjuti melalui sinkronisasi dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi agar memberikan kepastian hukum. Dengan demikian, konsep judicial review yang dipraktikkan di Indonesia tidak akan kehilangan esensinya sebagai salah satu instrumen hukum dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia.(*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.