Saiful Jihad
Dosen Universitas Hasanuddin
Sejak dilantik menjadi Mendikbud menggantikan Anies Baswedan, pak Muhadjir Efendi langsung melontarkan gagasan Full Day School (FDS). Gagasan ini didasarkan pada pandangan pak Muhadjir, bahwa banyak orang tua siswa/murid yang beker dari pukul 08.00 s/d pukul 17.00, sehingga anak yang pulang sebelum orang tua pulang dikhawatirkan keamanannya, baik dalam artian keamanan fisik maupun dalam hal keamanan pergaulan. Untuk itu, pak Muhadjir berpandangan, bahwa akan sangat efektif jika saat orang tua pulang, sekalian dapat menjemput anak mereka, ini juga bisa membuat orang tua yang bekerja sanpai sire hari dapat kebih tenang, krn anak-anak mereka salam pengawasan sekolah. Di sisi lain, para orang tua umumnya bekerja dari hari Senin – Jum’at, sedangkan hari Sabtu dan Ahad mereka libur. Dengan berfikir untuk lebih mengakrabkan keluarga (anak dan orang tua), maka ide FDS dianggap tepat, karena anak (siswa dan murid) akan belajar di sekolah hanya pada hari Senin sampai Jum’at, dan saat hari Sabtu dan Ahad, mereka bisa kumpul bersama orang tua mereka. Inilah alasan awal dari ide FDS yang digagas oleh Mendikbud pak Muhadjir Efendi waktu itu.
Gagasan ini, langsung mendapat respon dari berbagai kalangan, dan banyak yang menolak karena dianggap hanya melihat kasus sekolah di Jakarta dan kota besar lainnya, tidak melihat kondisi sekolah di daerah, di pinggi sawah dst. Gagasan ini juga dianggap belum dianalisis dan dikaji secara komprehensif, dengan memperhatikan kesiapan sekolah, kesiapan guru, kesiapan anggaran untuk menopang kebijakan itu. Karena mendapat respon penolakan, Kemendikbud menghentikan wacana itu.
Publik sesaat diam…, namun tiba-tiba, dibulan Ramadhan pak Muhadjir mengeluarkan Permen No. 23, tahun 2017, yang berisi tentang ketentuan hari sekolah. Permendikbud ini dikeluarkan dengan alasan sebagai langkah kebijakan untuk lebih memperkuat karakter peserta didik. Tetapi, jika kembali membaca Permendikbud tersebut, maka sekali lagi kita akan berkesimpulan bahwa Permendikbud ini, bukan untuk penguatan Karakter seperti yang dijadikan alasan, tetapi Permen tentang jam dan hari sekolah.
Keluarnya Permendikbud, No. 23 tahun 2017 ini, langsung mendapat reaksi dari berbagai kalangan, PB NU dan semua Organisasi di bawah NU, menyatakan menolak, demikian pula dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, dan berbagai Ormas Islam lainnua yang menyatakan penolakannya. Di kalangan anggota DPR-pun, lintas Partai mempertanyakan, mengkritisi dan menolak Permen tersebut. Meski demikian, ada juga Ormas yang tetap mendukung pelaksanaan Permen ini, khususnya Muhammadiyah, dan ormas pengelola beberapa lembaga pendidikan yang menerapkan FDS di lembaga pendidikannya. Beberapa kalangan cendikiawan, dan pemerhati pendidikan juga memberi dukungan dengan beberapa catatan kritis.
Karena dianggap kontroversinya sangat keras, Presiden Jokowi akhirnya membatalkan Permendikbud itu, dan berjanji akan mengkaji ulang, dan menggantinya dengan Perpres (Peraturan Presiden). Pernyataan pembatalan Permendikbud ini disampaikan langsung oleh Ketua MUI, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, yang didampingi oleh Mendikbud, Muhadjir Efendy, setelah mereka menemui Preaiden Jokowi di Istana negara.
Saat dimintai tanggapannya terkait Permendikbud teraebut, Pak Menteri mencoba menjelaskan, bahwa tujuan dari dikeluarkannya Permendikbud itu adalah untuk menjawab persoalan yang dihadapi oleh guru dalam mencukupi beban tugas mereka yang menjadi syarat untuk dapat menerima tunjangan sertifikasi. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2017, yang didalamnya mengatur tentang beban kerja guru yang disebutkan minimal 24 Jam Tatap Muka, dan maksimal 40 Jam. Selama ini beban tersebut, oleh banyak guru di daerah sulit terpenuhi, sehingga sulit untuk dapat menerima tunjangan sertifikasi, ada juga guru terpaksa mencari jam tambahan untuk mencukupi batasan minimal 24 Jam tatap muka. Akibatnya, guru banyak meninggalkan lingkungan seko9lah, karena harus bisa memnenuhi tuntutan tersebut. Nah dengan Permendikbud ini, guru yang hadir di sekolah mulai pukul 08.00 – 17.00 (rata-rata 8 jam kerja/hari), maka dengan hadir di sekolah mulai Senin sampai Jumat, maka kehadiran mereka disetarakan (ekuivalen) dengan 40 jam sama dengan kehadiran ASN lainnya. Dengan demikian, mereka tidak perlu lagi untuk mencari jam mengajar di luar sekolah mereka.
Meski telah dinyatakan bahwa Permendikbud tersebut dicabut dan akan segera diganti dengan Perpres yang mengatur lebih lanjut tentang penguatan karakter peserta didik, tetapi dalam praktiknya, beberapa daerah tetap memberlakukan Permendikbud tersebut, dan pihak Kemendikbud nampaknya “membiarkan” kebijakan daerah, tanpa memberi koreksi, bahkan cenderung “meng-iyakan”. Kondisi inilah yang membuat kontroversi persoalan Permendikbudf 23 tahun 2017 belum berakhir, dan melahirkan penolakan lebih keras dari Ormas-ormas Islam, khususnya PB NU, Partai PKB, Ormas Islam lainnya, serta berbagai kalangan dan pemerhati pendidikan.
Dalam konteks inilah, mengapa membincangkan kembali persoalan Permendikbud No. 23 tahun 2017, yang telah dinyatakan dicabut oleh pemerintah, tetapi tetap diberlakukan di beberapa daerah, menjadi menarik.
Kalau kita membaca narasi yang disampaikan oleh pak Mendikbud di atas, terkait lahirnya Permendikbud tersebut, dapat kita tarik dua alasan yang dikemukakan, yaitu: Pertama, untuk perbaikan dan penguatan Karakter peserta didik; Kedua, untuk membantu guru dalam memenuhi beban tugas mereka, sehingga tidak dipersulit untuk memperoleh tunjangan sertifikasi.
Pertanyaan yang menurut saya penting untuk dijawab adalah, apakah benar Permendikbud tersebut bisa menguatkan karakter siswa, sedangkan isi pokoknya sebenarnya bukan untuk menjawab keinginan tersebut, tetapi lebih untuk menjawab kebutuhan guru untuk memenuhi jam wajib mengajar dia sesuai PP. No. 19 Tahun 2017?
Sebenarnya, dalam pasal 5 (ayat 4) Permendikbud tersebut, ditemukan kata yang berkaitan dengan Penguatan karakter siswa: “Kegiatan kokurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kegiatan pengayaan mata pelajaran, kegiatan ilmiah, pembimbingan seni dan budaya, dan/atau bentuk kegiatan lain untuk penguatan karakter Peserta Didik”.
Tentang bagaimana bentuk kegiatannya, pasal 6 menyebutkan:
(1) Kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler dalam pelaksanaan Hari Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat dilaksanakan di dalam Sekolah maupun di luar Sekolah.
(2) Pelaksanaan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler baik di dalam Sekolah maupun di luar Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan kerja sama antarsekolah, Sekolah dengan lembaga keagamaan, maupun Sekolah dengan lembaga lain yang terkait.
Ada asumsi yangvterbangun dari narasi latar belakang munculnya Permendikbud ini, bahwa FDS adalah upaya untuk membatasi jam main anak di luar kontrol orang tua sepulang sekolah, dengan memberi kegiatan-kegiatan di sekolah, atau “menahan” mereka di sekolah, agar anak didik tetsebut terjaga karakternya.
Tentu asumsi ini perlu penjelasan sedikit akademik, karena jangan sampai Permendikbud ini dibuat untuk hanya ingin menyelesaikan masalah yang sifatnya kasuistik, persoalan yang sifatnya pernah terjadi di beberapa sekolah Perkotaan.
Persoalan lain, yang masih berkaitan dengan pasal 6 di atas, bahwa kegiatan tersebut bisa dilakukan oleh sekolah, dan atau dikerjasamakan dengan lembaga atau institusi di luar sekolah, tentu tidak sederhana.
Sebuah sekolah yang muridnya lebih seribu siswa (beberapa sekolah di Makassar tingkat SMP memiliki siswa lebih dari seribu). Jika kegiatan ekstra kurikuler sebagai wahana pengembangan karakter siswa disiapkan di sekolah, maka apakah sudah disiapkan sumberdaya dan sarana yang akan digunakan? Baik terkait kapasitas maupun terkait jumlahnya. Kalau mesti mendatangkan guru/pelatih/ustadz dari luar, tersediakah dana untuk menggaji mereka, dan banyak lagi problem sekitar ini.
Sebaliknya jika di kerjasamakan, maka apakah institusi atau lembaga tersebut dekat dari sekolah, sehingga bisa dan muda diawasi oleh guru. Jika jauh, bagaimana dengan resiko, jaminan keamanan, jaminan keterlaksanaan dengan baik, dengan menyuruh siswa mendatangi tempat-tempat tersebut (ingat jumlah siswa lebih seribu).
Jadi sekali lagi tidak sesedarhana yang dibayangka, bahkan dapat dikatakan, bahwa kebijakan ini tidak menjamin, bisa memperkuat karakter siswa.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya untuk mendapat perhatian, terkait pelaksanaan di lapangan. Di beberapa daerah yang “nekat” mengimplementasikan kebijakan FDS, tidak mempersiapkan dengan baik sistem dan mekanismenya, mereka hanya meminta sekolah untuk melaksanakan 5 hari sekolah, lalu jam mengajar yang biasanya dilaksanakan pada hari Sabtu, dipadatkan dalam 5 hari saja, sehingga faktanya anak didik (murid dan siswa) dijejali dengan waktu belajar yang padat. Kondisi ini sebenarnya sangat merugikan siswa, membuat siswa tertekan dengan tuntutan padatnya pelajaran, sehingga gampang menimbulkan stres, kelelahan, dan yang paling penting kehilangan waktu bermain dan bersosialisasi. Sangat banyak penelitian di luar negeri yang menyebutkan betapa tingginya angka stres anak didik jika dijejali dengan tugas dan beban belajar yang terlalu padat, atau target belajar yang terlalu berat. Akibat lebih lanjut dari tingkat stres tinggi ini, adalah fenomena semakin banyaknya anak didik dan remaja yang mengambil jalan pintas bunuh diri saat sulit memecahkan masalahnya (stres).
Juga tidak dipikirkan, bahwa saat tugas mendidik anak dari orang tua, digeser ke sekolah, maka hubungan anak dan orang tua terkesan tidak mesra, bahkan terkesan formalistik, karena kehadiran orang tua sangat kurang, saat proses pendidikan nilai itu terjadi. Pertemuan antara anak dan orang tua hanya saat pulang dari sekolah dan tempat kerja, dimana mereka telah sama-sama lelah dan kecape-an.
Tulisan ini belum menyinggung masalah kesiapan pemerintah untuk membenahi fasilitas sekolah, terkait dengan masih banyaknya sekolah di kota yang menggunakan dua shif waktu belajar (shif pagi dan shif siang), yang jika disatukan, maka pasti fasilitas belajar (ruangan kelas, ruang kantin, ruang tempat ibadah..dst), fasilitas bermain, dan yang lainnya. Juga belum membincangkan kondisi riel sekolahh kota dan sekolah di desa, antara orang tua siswa di kota dengan orang tua siswa di desa, dan banyak lagi yang mesti dilihat.
Sebagai catatan, tentu kita jangan men-samakan dengan sekolah-sekolah yang jumlah siswanya dibatasi, dikelola dan didesain sejak awal untuk masuk dari pukul 07.30 – pukul 17.00, seperti sekolah-sekolah yang menyebut dirinya Islam Terpadu, sekolah al-Azhar, dan beberapa sekolah lainnya yang dikelola oleh Teman-teman di Muhammadiyah, teman-teman di Ma’arif. Sekali lagi, sekolah mereka sejak awal di desain untuk sekolah dari pagi sampai sore, dan orang tua mereka yang sibuk dengan’ pekerjaan, dapat sekalian menitipkan penjagaan dan pendidikan anaknya di sekolah pilihan mereka.
Kebijakan Multikultural
Indonesia adalah negara yang berbhineka. Tidak Indonesia kalau tak beragam dan majemuk. Untuk mengatasi persoalan pendidikan nasional di Indonesia, kebijakan yang menghargai perbedaan dan kemajemukan lah yang bisa menjadi solusi. Kebijakan multikultural dalam pendidikan nasional perlu diterapkan. Karena kebijakan yang seperti ini yang menghargai keragaman dan kemajemukan yang tepat untuk Indonesia.
Kontroversi tentang kebijakan FDS hemat saya karena tidak melihat aspirasi masyarakat dan tak berdasar dari riset yang kuat.
Munculnya sikap masyarakat ada yang pro dan kontra karena kebutuhan dan konteks sosial yang berbeda. Mungkin bagi sebagian masyarakat perkotaan dengan kondisi orang tua murid yang sibuk bekerja dari pagi hingga sore, bahjkan malam akan setuju jika sekolah dapat “mengambil alih” pendidikan anaknya. Tentu ini berbeda pada kondisi yang ada di daerah, di desa dan di kampung. Demikian pula dengan memperhatikan fasilitas pendidikan yang masih kurang memadai baik sarana prasarana maupun SDM-nya juga menjadi salah satu faktornya.
Belum lagi dengan kepercayaan besar sebagian masyarakat untuk mempercayakan pendidikan dan pembinaan akhlaq (karakter) dan ajaran agama anak-anak mereka kepada sekolah/lembaga pendidikan seperti Madrasah Diniyah, yang jumlahnya sekitar 77 ribu lembaga yang terdaftar di Indonesia, demikian pula dengan TK-TPA al-Qur’an, yang jumlahnya lebih dari 130-an ribu yang terdaftar.
Keberadaan lembaga-lembaga tersebut diakui dan dibina oleh Kementerian Agama, oleh Ormas Islam secara mandiri, yang secara riel telah berkintribusi besar dalam pembinaan dan penguatan karakter generasi bangsa selama ini.
Nampaknya, mereka tidak pernah diajak duduk bareng membicarakan konsep itu oleh pihak Mendikbud. Pada hal, –sekali lagi– semua orang tidak bisa membantah besarnya peran lembaga-lembaga pendidikan tersebut dalam merawat keutuhan bangsa dan negara, menanamkan ajaran agama yang tasamuh, yang toleran, yang menghargai perbedaan.
Lembaga-lembaga tersebut telah ada dan lahir sebelum Indonesia lahir, bahkan lembaga-lembaga tersebut yang berjuang untuk lahirnya bangsa ini.
Disinilah salah satu akar masalah, mengapa kebijakan ini mendapat reaksi penolakan dari masyarakat.
Perbedaan yang ada itu perlu diperhatikan sehingga kebijakan yang ditetapkannya tidak harus seragam tapi dapat beragam sesuai konteks masalah yang dihadapi. Inilah semangat dari UU Sisdiknas tahun 2003 yaitu otonomi pendidikan. Jika FDS masih diberlakukan dengan pendekatan seragam dari atas ke bawah, ini bertentangan dengan UU Sisdiknas tersebut, alih-alih untuk meningkatkan moralitas, malah bisa-bisa membuat karakter anak makin merosot karena kebijakan yang tanpa didukung dengan riset yang mendalam.
Walahu a’lam