JAKARTA, PIJARNEWS.COM–Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, resmi mengumumkan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, sebagai bakal calon wakil presidennya, Ahad (22/10/2023) malam.
“Baru saja Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang terdiri dari delapan partai politik, yang dihadiri lengkap oleh ketum masing-masing dan sekjen masing-masing kita telah berembug secara final, secara konsensus, seluruhnya sepakat mengusung Prabowo Subianto sebagai capres Koalisi Indonesia Maju untuk 2024-2029 dan saudara Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden,” ujar Prabowo dalam jumpa pers di kediamannya, dikutip dari bbc.com.
Dipilihnya Gibran yang masih berusia 36 tahun tidak lepas dari putusan Mahkamah Konstitusi pada Senin (16/10/2023) yang memberi ruang kepada kepala daerah di bawah usia 40 tahun untuk dapat menjadi capres dan cawapres.
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai legalitas pasangan Prabowo-Gibran berpotensi digugat secara hukum melalui dua pintu, yaitu UU MK dan peraturan KPU.
Bivitri Susanti mengatakan terdapat dua pintu hukum yang berpotensi digunakan untuk mengugat legalitas pasangan Prabowo dan Gibran.
Pertama adalah potensi dugaan ada atau tidaknya konflik kepentingan dalam putusan MK terkait batas usia yang menjadi pintu masuk Gibran menjadi bacawapres Prabowo.
“Dalam UU MK ada pasal yang mengatakan bila ada benturan kepentingan maka putusan itu tidak sah. Ini masih belum masuk radar, dan belum ada yang memasalahkan, tapi potensi itu ada,” kata Bivitri.
Pintu lain, ujar Bivitri, adalah dengan mempermasalahkan mekanisme yang dilakukan KPU dalam menyikapi putusan MK itu, melalui cara mengirimkan surat ke partai politik, bukan dengan perubahan PKPU.
“Persyaratan capres dan cawapres sah atau tidak karena hanya melalui surat KPU, bukan perubahan peraturan KPU. Dua legalitas itu yang menjadi ranah abu-abu yang berpotensi dimanfaatkan,” kata Bivitri.
Lebih luas dari sekedar pasangan Prabowo-Gibran, Bivitri menyoroti dampak buruk dari putusan MK itu pada proses penyelesaian konflik hasil pemilu 2024 di MK, baik pilpres, pileg, hingga pilkada.
“Bayangkan tahun depan kalau MK sudah diolok-olok dan direndahkan seperti sekarang karena kelakuan sendiri, lalu dia [MK] bilang si X menang. Lawannya sudah tidak percaya dengan MK, publik juga tidak percaya dengan MK.
“Maka akan dengan mudah meletupkan emosi orang-orang kalah jadi konflik, artinya nanti konflik tidak bisa dikelola kalau lembaga penyelesai konflik sudah tidak punya legitimasi,” kata Bivitri.
Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, melihat, majunya Gibran menunjukkan bahwa Prabowo mendukung gagasan dinasti politik.
Feri menambahkan, keputusan mengajak Gibran juga akan menjadi bumerang bagi Prabowo dalam menjalankan pemerintahan.
“Saya yakin kalau ini pasangan menang pun, ikut campur Jokowi dalam berbagai birokrasi yang ditangani anakanya akan tinggi, dan itu tidak sehat bagi pemerintahan,” ujar Feri.
Direktur Eksekutif Indostrategic, Ahmad Khoirul Umam, melihat putusan MK yang menjadi “karpet merah“ bagi Gibran sebagai pendamping Prabowo berpotensi menjadi amunisi dalam menjatuhkan pasangan ini.
“Hal itu akan menjadi amunisi yang sangat efektif untuk mendegradasi dan menghancurkan kredibilitas pencapresan mereka,“ tambahnya.
Khoirul melihat, caranya adalah dengan mempermasalahkan secara hukum putusan MK itu, menunjukkan adanya konflik kepentingan atau tekanan politik yang merusak independensi dan netralitas hakim.
Analis sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, mengatakan, penunjukkan Gibran menjadi pendamping Prabowo menyempurnakan dinasti politik Joko Widodo.
“Putusan MK pintu sempurnanya dinasti politik Jokowi karena dengan putusan itu pintu untuk anak Jokowi, Gibran menjadi bakal cawapres. Putusan itu diketuk oleh paman iparnya sendiri sebagai Ketua MK,“ kata Ubedilah.
Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, dinasti politik secara sederhana adalah sebuah praktik pewarisan kekuasaan politik kepada anggota keluarganya tanpa melalui sistem yang didasarkan pada kapabilitas.
“Praktik politik dinasti sudah menjadi kebiasaan buruk para politisi yang menjadi ancaman serius terhadap penurunan kualitas demokrasi itu sendiri,“ kata Pangi.
Menurut survei Voxpol Center, ujar Pangi, mayoritas masyarakat, sekitar 69,3%, tidak setuju adanya praktik politik dinasti, sementara mayoritas lainnya (67,9%) percaya bahwa praktik semacam ini dapat merusak kualitas demokrasi.
“Bahkan, sebanyak 74,8% responden mendukung adanya regulasi yang membatasi praktik politik dinasti,“ kata Pangi.
Selain itu, penunjukkan Gibran sebagai anak presiden yang maju menjadi cawapres pada Pilpres 2024 mendatang juga mendatangkan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
“Terutama karena presiden masih berkuasa dan memegang kendali penuh hingga hari H pencoblosan. Hal ini mengancam prinsip dasar demokrasi yang harus dijunjung, yaitu kesetaraan dalam demokrasi,“ tambahnya.
Dari sisi politik, pengamat politik dari Indostrategic, Ahmad Khoirul, menilai keputusan MK itu dapat menjadi amunisi yang sangat efektif untuk mendegradasi kredibilitas pasangan Prabowo-Gibran.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai langkah itu menunjukkan bahwa Prabowo mendukung gagasan dinasti politik.
“Saya yakin kalau pasangan ini menang pun, ikut campur Jokowi dalam berbagai birokrasi yang ditangani anaknya akan tinggi dan itu tidak sehat,“ kata Feri. (*)
Sumber: bbc.com