ESAI – Mama Nsangou Mouchili dari Universitas Concordia, Kanada bersama rekan-rekannya (2018) dalam artikelnya menulis “Analisis Data Kota Cerdas” mereka mengatakan “Kota Pintar atau Kota Cerdas” smart city merupakan salah satu isu penting di masa mendatang, karena diperkirakan akan semakin banyak orang yang bermigrasi dari desa ke kota dan pada tahun 2040 dia mengungkapkan kota akan dihuni oleh 70% populasi dunia. Sementara, menurut data kependudukan PBB, tahun 2008 menandai tahun ketika lebih dari 50 persen penduduk, yaitu 3,3 miliar jiwa tinggal di daerah perkotaan, dan angka ini diperkirakan akan mengalami kenaikan menjadi 70 persen pada tahun 2050 (Albino dkk, 2015).
Konsep kota pintar muncul seiring dengan pesatnya perkembangan industri dan pasar Information and Communication of Technology (ICT). Beberapa teknologi termasuk Internet of Things (IoT), big data dan teknologi komputasi dibutuhkan untuk membangun kota pintar dengan mempertimbangkan kebutuhan manusia (Kirimtat dkk, 2020). Selain itu, mengingat meningkatnya populasi udara di perkotaan, pelayanan dan kebutuhan lingkungan yang memadai tidak dapat disediakan dengan mudah, dengan demikian kecanggihan teknologi (IoT) telah muncul sebagai solusi untuk menciptakan kualitas kota pintar yang baik.
Skenario saat ini mengharuskan pengembang kota menemukan cara untuk mengelola tantangan baru. Kota-kota di seluruh dunia harus mencari solusi yang memungkinkan adanya jaringan transportasi, pemanfaatan lahan yang beragam, dan layanan perkotaan berkualitas tinggi yang memiliki dampak positif jangka panjang terhadap perekonomian dalam meningkatkan taraf kualitas hidup masyarakat. Termasuk di Indonesia smart city saat ini sedang menjadi trend di Indonesia, terlebih pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarata ke Ibu Kota Nusantara (IKN) menerapkan konsep _smart city_ dan _forest city_.
Istilah “smart city” sendiri pertama kali digaungkan pada tahun 1990an. Pada saat itu, fokusnya adalah pada pentingnya TIK baru dalam kaitannya dengan pengembangan infrastruktur modern di perkotaan. California Institute for Smart Communities merupakan salah satu lembaga pertama yang fokus pada upaya meningkatkan kecerdasan masyarakat dan bagaimana sebuah kota dirancang untuk menerapkan teknologi informasi dan komunikasi secara maksimal.
Dalam bidang perencanaan kota, istilah “kota pintar” sering kali dianggap sebagai sebuah dimensi ideologis yang menyatakan bahwa menjadi lebih cerdas memerlukan arah strategis. Gagasan “kota cerdas” muncul dari persilangan masyarakat berpengetahuan dengan kota digital. Menurut Komninos dkk. Penelitiannya (2013), kota cerdas didorong untuk menggunakan teknologi informasi dalam mengubah tata kelola kehidupan dan meningkatkan kualitas SDM. Label cerdas menyiratkan kemampuan untuk mendukung pembelajaran, perkembangan teknologi, dan inovasi di perkotaan; dalam pengertian ini, setiap kota digital belum tentu cerdas, namun setiap kota cerdas memiliki komponen digital, dan harus didukung komponen SDM yang cerdas.
Ignasi Capdevila (2015) dalam Winters (2011) mengklarifikasi bahwa kota cerdas adalah pusat pendidikan tinggi, individu yang berpendidikan lebih tinggi, dan tenaga kerja terampil. Kota pintar berperan sebagai magnet bagi orang-orang dan pekerja kreatif, dan hal ini memungkinkan terciptanya lingkaran kebajikan yang menjadikan mereka semakin cerdas. Konsekuensinya, kota pintar memiliki banyak peluang untuk mengeksploitasi potensi manusianya dan mendorong kehidupan lebih kreatif.
Untuk itu, Ibu Kota Nusantara (IKN) yang ke depannya mengusung konsep kota pintar harus didorong memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara cerdas dan terkoordinasi. Hal ini untuk mengembangkan pusat kota yang terintegrasi dan berkelanjutan. Ibu Kota Nusantara (IKN) di masa depan memerlukan kebijakan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan dimana semua penduduk, termasuk masyarakat miskin, dapat hidup dengan baik dan daya tarik kota tetap terjaga. Karena sebagai kota pintar IKN adalah kota yang harus memiliki kualitas hidup yang tinggi, pembangunan ekonomi berkelanjutan, memadukan tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan melalui investasi pada modal manusia dan sosial, serta infrastruktur komunikasi tradisional dalam mengelola sumber daya alam melalui kebijakan partisipatif.
Sementara kaitanya dengan IKN yang mengusung konsep forest city Sarah Moser dalam penelitianya di jurnal Urban Geography (2017) mengungkapkan forest city merupakan proyek yang dirancang dan dibangun oleh Country Garden Holdings, salah satu perusahaan pengembangan properti terbesar di Tiongkok. Forest city adalah konsep kota yang dibangun dengan vertical forest yang diartikan sebagai kota yang bangunannya ditutupi oleh pohon dan tumbuhan, yang pada prinsipnya mengkonservasi sumber daya alam dan kelestarian alam dengan tujuan menjaga habitat flora dan fauna agar terjadi keberlangsungan ekosistem yang esensial (Abdhy dkk., 2022).
Tahun 2014, konsep pembangunan forest city di mulai, adalah sebuah perusahaan swasta asal Tiongkok bekerja sama dengan Pemerintahan Sultan Johor di Malaysia memulai pembangunan forest city, sebuah mega pembangunan mewah berpagar swasta untuk 700.000 orang di empat pulau reklamasi di selat sempit yang memisahkan Malaysia dan Singapura.
Jika semua perencanaan pembangunan IKN berjalan dengan baik, dari segi tata kelola sebagai smart city maupun konsepnya yang mengedepankan forest city tentu akan menciptakan SDM yang unggul dan berdaya saing global. Hal tersebut akan berbanding lurus dengan manfaat yang akan dihadirkan, penelitian (Ignasi, 2015) “Smart City or Smart Citizen? Studi Kasus di Barcelona.
Dia mengungkapkan temuannya bahwa, indikator atau output dari hadirnya smart city harus dibangun dengan perspektif top-down dan buttom-up dalam empat aspek kota cerdas yakni, distrik cerdas, ruang kolaboratif terbuka, infrastuktur dan data terbuka. Di mana kombinasi antara top-down dan buttom-up atau pemangku kepentingan/kebijakan dan masyarakat saling melengkapi dan berkolaborasi yang akan memberikan sinergi pada pembangunan kota.
Hal tersebut juga harus didorong dalam pembangunan dan tata kelola IKN ke depanya, yang pada outputnya semua itu akan melahirkan smart citizen (masyarakat cerdas) di dalam kesatuan pada akhirnya menciptkan konsep baru yang disebut sebagai knowdelge city and information city “kota pengetahuan dan kota informasi”. Maka dengan itu, visi Indonesia Emas 2045 yang didambakan, bukan lagi angan-angan belaka, kita tidak akan khawatir soal isu bonus demografi 2045 di usia 100 tahun bangsa Indonesia yang menyatakan akan menjadi ‘boomerang’ dan ancaman bila generasi penerus diusai produktif tidak disiapkan dan diantisipasi sedari dini; Indonesia Emas terwujud bila SDM dan tata kelola IKN melalui perspektif top-down dan buttom-up secara kolektif dan kolegial.
Referensi:
Abdhy, W. S., Muhammad, S. D. A., & Habib, F. F. (2022). Penerapan Konsep Forest City dalam Upaya Mencapai Carbon Neutral pada Pembangunan Ibu Kota Negara. Jurnal Studi Kebijakan Publik, 1, 1–12. https://doi.org/https://doi.org/10.21787/jskp.1.2022.1-12
Albino, V., Berardi, U., & Dangelico, R. M. (2015). Smart cities: Definitions, dimensions, performance, and initiatives. Journal of Urban Technology, 22(1), 3–21. https://doi.org/10.1080/10630732.2014.942092
Ignasi, C. (2015). Smart city or Smart Citizens? The Barcelona Case. Journal of Strategy and Management, 8(3). https://doi.org/Permanent http://dx.doi.org/10.1108/JSMA-03-2015-0030
Kirimtat, A., Krejcar, O., Kertesz, A., & Tasgetiren, M. F. (2020). Future Trends and Current State of Smart City Concepts: A Survey. IEEE Access, 8, 86448–86467. https://doi.org/10.1109/ACCESS.2020.2992441
Moser, S. (2017). Forest city , Malaysia , and Chinese expansionism Forest city , Malaysia , and Chinese expansionism. Urban Geography, 00(00), 1–9. https://doi.org/10.1080/02723638.2017.1405691
Mouchili, M. N., Aljawarneh, S., & Tchouati, W. (2018). Smart city data analysis. ACM International Conference Proceeding Series. https://doi.org/10.1145/3279996.3280029
Penulis : Wahyuddin