Oleh: Anugrah Ramadhani
(Mahasiswi Jurusan Hukum Pidana Islam IAIN Parepare)
Dalam era modern saat ini, banyak orang tua yang terlibat dalam kegiatan politik dan seringkali melibatkan anak-anak mereka dalam berbagai kegiatan politik, termasuk dalam pemilihan umum atau pemilu. Namun, apakah melibatkan anak dalam pemilu merupakan tindakan yang sah? Apakah melibatkan anak dalam pemilu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum?
Berdasarkan UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, itu dianggap sebagai pelanggaran yang melanggar hukum. Semua anak berhak atas perlindungan terhadap kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan, termasuk dalam hal politik. Menurut Pasal 4 Ayat (1) dan (2) melibatkan anak dalam pemilu, baik dalam bentuk penggunaan anak sebagai alat kampanye maupun sebagai pemilih, dapat dipandang sebagai tindakan yang merugikan hak-hak anak tersebut.
Pelibatan anak dalam pemilihan umum merupakan suatu bentuk eksploitasi yang merugikan mereka sebagai individu yang masih dalam masa pertumbuhan. Pelibatan anak dalam pemilu juga dapat dianggap sebagai bentuk pelecehan atau eksploitasi terhadap anak. Karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman akan politik yang tepat, anak-anak tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dan hak-haknya harus dihormati tanpa diskriminasi, menurut Konvensi Hak Anak PBB.
Selain terkait dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, Pasal 280 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 secara eksplisit menyatakan bahwa anak-anak usia 17 tahun ke bawah tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik. Hal ini menjadi konkret pemerintah dalam melindungi hak-hak anak dan mencegah potensi eksploitasi mereka dalam konteks proses politik. Sebagaimana diatur dalam Pasal 493 UU Pemilu. Bahwa pelanggaran terhadap aturan ini dapat mengakibatkan saksi penjara selama satu tahun dan denda sebesar 12 juta.
Hal ini menunjukkan keputusan legislatif untuk memberikan sanksi yang tegas sebagai upaya preventif guna mencegah penyalahgunaan keterlibatan anak dalam kampanye politik.
Pelibatan anak dalam pemilihan umum tidak hanya melanggar hak asasi manusia anak, tetapi juga merusak integritas dan legitimasi proses demokrasi itu sendiri. Pelibatan anak dalam pemilu dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari pemaksaan untuk memberikan suara, hingga menggunakan identitas anak untuk melakukan pemalsuan suara.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak, tanggung jawab orang tua dan masyarakat untuk melindungi anak-anak mereka dari pengaruh politik. Akibatnya, melibatkan anak-anak dalam pemilu dapat dianggap sebagai pelangaran hukum. Sebagai generasi penerus, anak-anak perlu dilindungi dan diberikan perlindungan penuh agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa tekanan politik yang dapat merugikan mereka.
Praktik ini tidak hanya merugikan anak secara langsung, tetapi juga mengancam keabsahan hasil pemilu dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Sebagai mahasiswa, kita harus sadar akan pentingnya menjaga integritas pemilu dan melindungi hak asasi manusia anak. Kita harus mengambil sikap tegas dalam menentang segala bentuk pelibatan anak dalam pemilhan umum.
Oleh karena itu, jelas bahwa pelibatan anak dalam pemilihan umum adalah pelanggaran hukum yang tidak dapat diterima. Kita harus selalu memprioritaskan kepentingan dan perlindungan anak-anak untuk memastikan bahwa anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dalam lingkungan yang aman dan mendukung.
Melibatkan anak dalam pemilu adalah pelanggaran hukum dan tidak boleh dibiarkan terjadi dalam masyarakat yang beradab dan beradil.
Seperti yang dikatakan oleh Nelson Mandela, “Anak-anak adalah sumber daya terpenting yang kita miliki untuk membangun dunia yang lebih baik.” Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama melindungi hak-hak anak demi masa depan yang lebih baik. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.