JAKARTA, PIJARNEWS.COM– Presiden RI Joko Widodo resmi menekan atau menandatangani UU Nomor 3 tahun 2024 mengenai Desa pada, Kamis (25/4/2024). UU tersebut merupakan perubahan atas UU Nomor 6 tahun 2014.
Di dalam UU lama yang diterbitkan 2014 silam, kades bisa mengisi jabatan selama enam tahun dengan maksimal masa jabatannya tiga periode, artinya kepala desa bisa menjabat 18 tahun lamanya.
Soal penambahan masa jabatan ini, sudah menjadi tuntutan kepala desa kepada pemerintah. Mereka bahkan sering berunjuk rasa di depan gedung DPR demi mendesak aspirasinya dikabulkan oleh pemerintah.
Dalam UU Nomor 3 Tahun 2024 yang baru diatur soal masa jabatan kepala desa tadinya enam tahun berubah selama delapan tahun dan dapat dipilih lagi untuk periode kedua, sehingga total masa jabatan kades bisa mencapai 16 tahun.
Pro dan kontra terkait perpanjangan masa jabatan kepala desa itu pun jadi pembahasan publik. Akademisi Hukum Tata Negara IAIN Parepare Rusdianto Sudirman, misalnya menilai perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun jadi delapan tahun bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi.
Seharusnya, kata dia, sebagai negara demokratis, masa jabatan para pemimpin, termasuk di level daerah, dibatasi agar tak terlalu lama. Apalagi, salah satu prioritas semangat reformasi adalah pembatasan kekuasaan.
Namun, faktanya, ketika mayoritas pemimpin seperti presiden dan wakil presiden, bupati, dan wali kota masa jabatannya di kisaran lima tahun, kepala desa yang lingkup kerjanya lebih sederhana justru dapat menjabat hingga delapan tahun. “Terlalu lama berkuasa potensi penyimpangannya juga besar,” tandasnya, kepada Pijarnews.com, Sabtu (4/5/2024).
Lebih lanjut, Rusdianto menilai, penambahan masa jabatan kades menjadi delapan tahun rawan menimbulkan penyimpangan. Menurut dia, potensi korupsi semakin terbuka lebar jika kepala desa diberi kekuasaan dalam kurung waktu yang panjang dapat menyebabkan tata kelola pemerintahan dengan uang yang besar itu akan tidak efisien dan efektif. “Bahkan berpotensi ke penyimpangan, korupsi dan penyalahgunaan kewenangan,” tegasnya.
Kondisi ini dipersulit dengan minimnya kompetensi kepala desa dalam mengelola keuangan desa. Namun, hal ini sulit dihindari lantaran kepala desa merupakan jabatan politis yang ditentukan oleh rakyat.
Demikian pula dengan perangkat desa, umumnya adalah orang-orang yang sebelumnya turut mensukseskan kepala desa dalam pemilihan, tapi miskin pengetahuan pengelolaan pemerintahan. “Jadi kompetensi kemampuan administratif boleh dikatakan lemah. Padahal ini menyangkut tata kelola. Jadi kekuasaan yang lama delapan tahun, miskin kompetensi, kita bisa prediksi bagaimana hasilnya,” kata Rusdianto.
Ia menambahkan, sebenarnya, masalah utama yang harus di selesaikan di desa adalah sumber daya manusianya (SDM). Bukan hanya kepala desa, akan tetapi perangkat desanya, karena tupoksi masing perangkat desa sudah diatur secara detail dalam peraturan perundang-undangan. “Kehadiran pendamping desa pun sering kali disepelekan, padahal pendamping desa direkrut untuk membantu pemerintah desa agar penggunaan dana desa tepat sasaran dan tidak menimbulkan kerugian negara,” jelasnya.
Kemudian, kata dia, sering kali ada oknum di dinas pemberdayaan desa kabupaten yang sering intervensi kepala desa untuk menganggarkan kegiatan atau pengadaan barang dan jasa tertentu. “Praktik-Praktik seperti ini sangat lazim terjadi di desa. Misalnya program penyuluhan/pelatihan di anggarkan Rp 10 juta per desa dan dilaksanakan di cafe atau hotel, padahal jika dilaksanakan di desa biayanya hanya Rp 2 atau Rp 3 juta saja. Bayangkan jika seratus desa anggarkan kegiatan Rp10 juta hanya untuk penyuluhan/pelatihan, tentu merupakan pemborosan, dan berpotensi terdapat mark up anggaran dalam pelaksanaannya,” bebernya.
“Jadi UU Nomor 6. Tahun 2014 tentang desa sebenarnya sudah sangat efektif, cuman implementasinya yang butuh pengawasan dan kolaborasi dengan berbagai stakeholder. Semoga saja masa jabatan delapan tahun tidak menumbuh suburkan praktek korupsi dan penyalahgunaan kewenangan di desa,” tutup Rusdianto. (why)