Oleh: Muhammad Suryadi R
(Founder LSAF Annahdliyyah/Sekretaris Perpustakaan Komunitas Iqra Takanitra
Keberadaan Mahkamah Pidana International genap berusia 26 tahun. Tanggal 17 Juli adalah hari dimana Statuta Roma diadopsi di Roma, Italia pada tahun 1998. Momentum ini sekaligus menjadi cikal bakal berdirinya ICC (International Criminal Court). Kendati baru efektif dan berlaku pada tanggal 01 Juli 2002, kehadiran mahkamah pidana internasional ini menjadi tonggak penegakan keadilan dan perdamaian di dunia internasional.
ICC sejak dididirikannya mendapatkan kepercayaan dunia internasional sebagai lembaga pengadil tindakan kriminal yang dilakukan oleh pemimpin negara atau pejabat negara.
Pada dasarnya Statuta Roma memberlakukan penegakan kejahatan yang bersumber dari kejahatan atas kemanusiaan, genosida, dan kejahatan agresi. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana peran ICC dalam menyelesaikan masalah kejahatan kemanusiaan dan genosida yang terjadi sebagai misal antara Palestina dan Israel, Rusia dan Ukraina, yang secara mata telanjang berakibat pada banyaknya korban berjatuhan, bangunan dan gedung-gedung rata dengan tanah, dan tanah berwarna darah disesaki mayat-mayat manusia yang tumbang akibat serangan rudal dan misil.
Mahkamah peradilan terkesan alpa ketika Palestina berteriak kala dibombardir tanpa amnesti oleh pasukan Netanyahu, Israel! Putin yang menjadi target untuk diadili -yang sebelumnya menjadi target penangkapan oleh jaksa Karim Khan- belum juga ditangkap! Dalam kasus ini para jaksa mahkamah pidana internasional kelihatan tidak independen. ICC dinilai hanya tegas kepada Putin dan mempersalahkannya atas peristiwa perang Rusia-Ukraina yang berarti perlakuan diskriminasi untuk Moskow.
Standar Ganda
Apa yang dilakukan ICC terhadap Rusia adalah indikasi penerapan standar ganda bagi suatu negara (Rusia) yang secara politik berseberangan dengan Gedung Putih, Amerika Serikat. Tak sedikit yang menduga bahwa ICC digunakan AS sebagai alat politik untuk melumpuhkan Rusia dari kancah geopolitik global dan untuk tujuan mempercepat peralihan status Ukraina menjadi negara anggota ke-33 NATO.
Menariknya lagi adalah ketika Barat menuduh Rusia sebagai aktor meletusnya perang di Ukraina, namun tidak berlaku bagi dirinya sendiri (Amerika Serikat) sebagai pemimpin Barat untuk tidak diadili dan dijatuhi sanksi atas kejahatan dan dosa-dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu.
Serangan Israel ke Gaza yang dilancarkan sejak Oktober tahun 2023 yang menewaskan kurang lebih 38.345 orang dan melukai 88.295 orang belum juga ditangkap, kendati jaksa ICC telah menghukum Israel bersalah atas genosida yang terjadi di Palestina dan memerintahkan penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu. Dan juga serangan Hamas ke Israel yang membunuh 1.139 orang dan menyandera 250 orang sejak Oktober tahun 2023 kandas pada proses penangkapan Yahya Sinwar, Mohammed Al-Masri, dan Ismail Haniyeh.
Fakta ini tentu menyisakan masalah besar dalam konteks penegakan kejahatan internasional, yakni lemahnya supremasi hukum atas kekuasaan. Mahkamah peradilan internasional kelihatan tidak tegas dan mengulur-ulur waktu. Bahkan, ICC terkesan tidak berani menangkap Putin karena Rusia bisa saja melakukan serangan balik dan Netanyahu yang selalu bersembunyi di bawah ketiak AS.
Penerapan standar ganda oleh Barat kepada ICC mempertegas ketidaknetralan, sehingga melemahkan tindakan penegakan hukum bagi mahkamah pidana internasional.
Masalah Ratifikasi
Sejak diratifikasi oleh 124 negara, Statuta Roma sepenuhnya belum dilegitimated oleh seluruh negara di dunia. Peta negara yang meratifikasi keanggotaannya di ICC yakni sebanyak 33 negara dari Afrika, 19 negara dari Asia Pasifik, 19 negara dari Eropa Timur, 28 negara dari Amerika Latin dan Karibia, dan 25 negara dari Eropa Barat (tirto.id). Negara yang menolak keanggotaan ICC yaitu Amerika, Rusia, China termasuk Israel bahkan Indonesia per tahun 2024 belum meratifikasi Statuta Roma.
Persoalan sebagian negara yang menolak meratifikasi Statuta Roma menjadi alasan lemahnya kekuatan mahkamah melakukan penangkapan pelaku kejahatan internasional. Negara sekuat Amerika Serikat, Rusia dan China jelas akan menolak yuridiksi yang ditetapkan oleh ICC karena dalih bukan negara anggota mahkamah. Netanyahu bahkan memperlihatkan gestur tidak akan menuruti kemauan dan tidak senang dengan jaksa ICC setelah menyebut dirinya sebagai otak genosida di Gaza, Palestina, karena itu tadi, Israel tidak termasuk negara yang meratifikasi Statuta Roma.
Jika saja para mahkamah peradilan internasional itu benar-benar serius menegakkan keadilan dan menindak tegas pelaku kejahatan internasional, maka para jaksa tidak perlu teori hukum yang njlimet dan ribet. Yang dibutuhkan para jaksa hanyalah keberanian dan logika hukum yang kuat. Kendati dalam konteks Rusia dan Ukraina, Israel Palestina, masalahnya harus diakui sangat ribet, sebab berhubungan langsung dengan geopolitik yang bisa berakibat pada kedaulatan suatu negara, tak terkecuali negara anggota. Sehingga jaksa ICC harus berhati-hati dalam mengadili dan menangkap pelaku kejahatan internasional.
Logika hukum yang mesti dibangun oleh jaksa mahkamah peradilan internasional adalah tidak perlu menunggu seseorang menjadi anggota atau pengurus suatu lembaga hukum untuk menangkap pelaku kejahatan. Pelaku kejahatan tetap pelaku kejahatan yang harus diadili berdasarkan pelanggaran yang dilakukan. Tidak peduli ia angggota atau bukan. ICC tentu tidak kekurangan data untuk menganalisis kasus kejahatan yang terjadi di Israel dan Palestina misalnya.
Apalagi memang dalam klausul Statuta Roma bahwa setiap negara yang menjadi anggota berkewajiban melaksanakan yuridiksi hukumnya untuk pelaku kejahatan internasional. Sebab itu, para jaksa hanya perlu memerintahkan setiap negara anggotanya menangkap pelaku yang sedang berada di negaranya.
Berkaca dari kasus Vladimir Putin yang oleh ICC memerintahkan Afrika Selatan menangkap Putin apabila ia bertolak ke negaranya dalam agenda KTT BRICS Agustus tahun 2023 lalu. Dan ICC tidak perlu terjebak dalam pusaran geopolitik yang terjadi, karena dengan begitu mahkamah tetap netral dan independen. (*)