Oleh: Ahmad Rizki Alimudin
(Direktur Eksekutif SALAM Institute 2022-2024)
Tantangan yang dihadapi oleh generasi muda, khususnya Generasi Z, dalam mengakses kepemilikan rumah semakin terasa di tengah kompleksitas kondisi ekonomi global dan kebijakan pemerintah yang sering kali tak berpihak pada kelompok marginal. Fenomena keterpinggiran ini terjadi karena ketidakmampuan generasi muda mengimbangi harga rumah yang terus melonjak, sementara pendapatan mereka stagnan. Meskipun ada beberapa inisiatif pemerintah yang mencoba menawarkan solusi, salah satunya melalui model koperasi, keberhasilannya masih diragukan. Kritik terhadap pendekatan ini bahkan mengingatkan kita pada argumen Marx mengenai koperasi dan hubungan dengan negara yang mengontrolnya.
Generasi Z dalam Bayang-Bayang Ketimpangan
Generasi Z dihadapkan pada tantangan yang kian berat dalam mengakses kepemilikan rumah, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Harga properti yang meroket membuat mimpi memiliki hunian pribadi semakin jauh dari jangkauan. Menurut data Bank Indonesia, keterjangkauan KPR oleh generasi muda menurun secara signifikan, terutama disebabkan oleh syarat uang muka yang besar dan suku bunga yang tinggi. Tidak hanya itu, generasi ini juga dibebani dengan utang pendidikan yang besar, sementara peluang karier yang mereka hadapi sering kali tidak menawarkan kestabilan pendapatan yang cukup untuk mempermudah proses pembiayaan rumah.
Dari perspektif ekonomi politik, fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural antara kelas pekerja dan elit ekonomi yang menguasai sektor properti. Kepemilikan lahan dan rumah semakin terkonsentrasi di tangan segelintir orang, memperlihatkan dominasi oligarki dalam pasar perumahan. Meskipun pemerintah berusaha menciptakan program-program yang bertujuan memudahkan akses generasi muda ke pasar perumahan, upaya tersebut sering kali gagal karena tidak menyentuh akar masalah—yaitu ketidaksetaraan distribusi kekayaan dan peluang ekonomi.
Koperasi Multi Pihak yang Mandek
Salah satu terobosan yang dicoba pemerintah untuk mengatasi masalah ini adalah model Koperasi Multi Pihak (KMP), yang diatur dalam Peraturan Menteri No. 8 Tahun 2021. Model ini didesain untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan—masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta—untuk bekerja sama memenuhi kebutuhan kolektif, termasuk perumahan. Teori di balik KMP sangat menarik: melalui mekanisme ekonomi kolektif, biaya kepemilikan rumah dapat ditekan dan diakses oleh kelompok yang sebelumnya tersingkir dari pasar properti.
Implementasi KMP menunjukkan hasil yang jauh dari harapan. Meskipun inisiatif ini dibentuk berdasarkan riset panjang, banyak koperasi yang terbentuk justru lesu dan tidak berkembang sesuai harapan. Kritik yang sering muncul adalah kurangnya partisipasi aktif dari anggota, tata kelola yang buruk, serta minimnya transparansi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun koperasi secara legal diakui sebagai instrumen penguatan ekonomi kolektif, praktik di lapangan sering kali tidak mencerminkan idealisme tersebut. Sebagai alat intervensi negara, koperasi gagal menciptakan kemandirian ekonomi bagi pekerja dan masyarakat kelas bawah yang menjadi sasarannya.
Marx berpendapat bahwa koperasi hanya bernilai jika dibangun secara mandiri oleh para pekerja, tanpa campur tangan negara atau kaum borjuis. Jika koperasi didirikan melalui bantuan negara, hal itu hanya menunjukkan bahwa pekerja belum siap untuk memerintah, dan mereka tetap bergantung pada kekuasaan negara yang sesungguhnya masih dikendalikan oleh kelas borjuis. Pandangan ini mencerminkan kegagalan koperasi seperti KMP yang dibiayai dan dikelola negara, yang justru menghambat gerakan emansipasi ekonomi dari bawah.
Kemandirian Ekonomi dan Solidaritas
Jika generasi Z ingin mengatasi krisis kepemilikan rumah ini, mereka tidak bisa semata-mata mengandalkan inisiatif pemerintah yang kerap mandek. Solusi yang lebih berkelanjutan dapat dicapai melalui pendekatan yang menekankan pada kemandirian ekonomi dan solidaritas lintas sektor. Koperasi, dalam bentuk yang ideal, dapat menjadi jalan keluar dari keterasingan di pasar properti, namun koperasi ini harus dibangun dari bawah, oleh masyarakat pekerja itu sendiri, tanpa terlalu mengandalkan intervensi negara.
Model ekonomi alternatif seperti perumahan komunitas yang dikelola kolektif (co-living) atau koperasi yang benar-benar mandiri bisa menjadi solusi nyata bagi generasi Z yang semakin terpinggirkan. Di beberapa negara, model perumahan komunitas ini telah terbukti efektif dalam menurunkan biaya hidup dan meningkatkan akses terhadap hunian layak bagi kelompok marginal. Selain itu, generasi Z juga perlu mengembangkan jaringan solidaritas yang kuat untuk menekan pemerintah agar menciptakan kebijakan perumahan yang lebih adil dan pro-rakyat.
Krisis kepemilikan rumah yang dihadapi oleh generasi muda merupakan cerminan dari ketimpangan sosial-ekonomi yang lebih luas. Meskipun ada beberapa inisiatif baik seperti KMP, keberhasilan model koperasi sebagai solusi bergantung pada sejauh mana koperasi tersebut mampu mandiri dan berfungsi sebagai instrumen emansipasi ekonomi, bukan sebagai alat kontrol negara. Generasi Z harus bergerak bersama untuk menciptakan solusi alternatif yang berakar pada prinsip kemandirian dan solidaritas, agar mimpi memiliki rumah tidak lagi menjadi hak istimewa segelintir orang, tetapi hak yang dapat diakses oleh semua kalangan. (*)