OPINI- Pernikahan Dini
Bukan cintanya yang terlarang
Hanya waktu saja belum tepat
Merasakan semua
Masih ingat lirik lagu “Pernikahan Dini” yang pernah dipopulerkan Agnes Monica? Makna lagu ini memberikan peringatan dini kepada kita, jangan mudah tergiur menikah di usia yang terlalu muda.
Catatan UNICEF per akhir tahun 2022, saat ini Indonesia berada di peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN, dengan total hampir 1,5 juta kasus. Belum lagi, Data Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) RI, pengadilan agama menerima 55.000 permohonan dispensasi pernikahan usia dini di sepanjang 2022, atau hampir dua kali lipat jumlah berkas serupa pada tahun sebelumnya.(https://kumparan.com/beritaanaksurabaya/unicef-indonesia-peringkat-8-dunia-banyaknya-kasus-pernikahan-dini-20eMLxG2FyL/1).
Fenomena pernikahan dini masih marak terjadi di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. (Yandi and Maulana 2024).
Kategori pernikahan dini di Indonesia ditentukan berdasarkan usia, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berusia di bawah 19 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, batas usia minimum untuk menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan (Iswahyuni and Imaduddin 2024).
Oleh karena itu, jika seseorang menikah sebelum mencapai usia tersebut, pernikahan tersebut dianggap sebagai pernikahan dini.
Di beberapa daerah, banyak masyarakat yang menganggap bahwa menikah di usia muda adalah hal yang wajar, bahkan dianjurkan. Salah satu daerah tersebut adalah Kalimantan Selatan dengan tingkat pernikahan dini tertinggi di Indonesia (Munirah 2022).
Terjadinya pernikahan dini tersebut dilatarbelakangi oleh alasan ekonomi, pendidikan, lingkungan, budaya, keyakinan, dan akibat pergaulan bebas. Meninjau fenomena tersebut, pernikahan dini di Kalimantan Selatan dipengaruhi baik oleh adat istiadat maupun tren yang muncul dalam masyarakat.
Usia pubertas sering kali dianggap sebagai penanda kedewasaan yang cukup untuk menikah. Selain itu, faktor ekonomi dan sosial juga menjadi pendorong utama pernikahan dini. Orang tua dengan kondisi ekonomi yang sulit kadang mengaggap bahwa menikahkan anak adalah salah satu cara untuk meringankan beban keluarga. Namun, dalam praktiknya, pernikahan dini sering kali berakhir dengan berbagai tantangan yang sulit diatasi oleh pasangan muda.
Salah satu tantangan terbesar dari pernikahan dini adalah kurangnya kesiapan fisik dan mental. Pernikahan pada usia muda sering kali melibatkan anak perempuan yang belum sepenuhnya siap secara biologis untuk menghadapi kehamilan. Hal ini dapat menyebabkan risiko kesehatan serius, seperti komplikasi kehamilan, kelahiran prematur, dan bahkan kematian ibu dan bayi.
Perlunya Usia Matang
Usia matang untuk melangsungkan pernikahan di Indonesia, menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), ditetapkan pada 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Penetapan usia ini bertujuan untuk menghindari pernikahan dini yang dapat menimbulkan risiko tinggi terhadap kesehatan fisik dan mental pasangan, serta untuk memastikan kesiapan mereka dalam menjalani kehidupan berumah tangga.
Dari segi mental, usia muda sering kali tidak disertai dengan kemampuan untuk menghadapi tekanan emosional yang muncul dalam kehidupan pernikahan. Kurangnya pengalaman hidup dan kedewasaan emosional dapat memicu konflik dalam rumah tangga, yang pada akhirnya meningkatkan risiko perceraian.
Usia matang memainkan peran penting dalam membentuk fondasi pernikahan yang sehat dan harmonis karena pada tahap ini individu cenderung telah mencapai perkembangan fisik yang optimal. Hal ini menjadi aspek krusial, terutama bagi perempuan, untuk menghadapi tantangan biologis yang terkait dengan kehamilan dan persalinan secara lebih aman.
Selain kesiapan fisik, usia matang juga memberikan ruang bagi individu untuk mengembangkan stabilitas emosional yang lebih baik. Stabilitas ini sangat penting dalam menghadapi dinamika hubungan rumah tangga, memungkinkan pasangan untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang lebih bijaksana dan dewasa.
Tidak hanya itu, usia yang lebih matang juga membuka peluang bagi individu untuk menyelesaikan pendidikan dan memulai karier. Dengan adanya stabilitas ekonomi, pasangan dapat mengurangi tekanan finansial yang sering menjadi pemicu konflik dalam pernikahan.
Pernikahan di usia matang juga memungkinkan pasangan untuk memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang peran masing-masing dalam rumah tangga. Pemahaman ini mendorong terciptanya hubungan yang dilandasi oleh kesetaraan, saling menghormati, dan kerja sama. Kesetaraan dalam peran rumah tangga bukan hanya menjadi landasan keharmonisan keluarga, tetapi juga meningkatkan kepuasan emosional antara pasangan.
Dilema Penegakan Hukum dan Tradisi Lokal
Hukum memiliki peran penting dalam melindungi hak dan kepentingan anak dari resiko pernikahan dini. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan telah menetapkan batas usia minimal untuk menikah. Kebijakan tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa pasangan memiliki kesiapan fisik, mental, dan ekonomi sebelum menikah.
Namun, pelaksanaan hukum ini sering kali menghadapi tantangan, terutama di daerah-daerah yang masih kuat dipengaruhi oleh tradisi lokal. Dalam beberapa kasus, mekanisme dispensasi nikah sering kali disalahgunakan, sehingga anak-anak tetap bisa menikah di bawah usia minimal yang ditetapkan.
Oleh karena itu, diperlukan upaya lebih lanjut untuk memperketat pengawasan dan memastikan bahwa dispensasi hanya diberikan dalam situasi yang benar-benar mendesak dan demi kepentingan terbaik anak.
Meskipun usia tidak selalu menjadi satu-satunya penentu kematangan seseorang dalam berpikir dan mengelola rumah tangga, ada banyak faktor yang memengaruhi kemampuan tersebut. Pengalaman hidup, seperti interaksi sosial, pendidikan, dan tantangan yang dihadapi, dapat membentuk cara berpikir dan sikap seseorang; mereka yang telah mengalami berbagai situasi sulit cenderung lebih matang dalam menghadapi masalah.
Menunda pernikahan hingga usia matang memiliki banyak manfaat, baik bagi individu maupun masyarakat. Pertama, pasangan yang menikah di usia matang cenderung memiliki hubungan yang lebih stabil dan harmonis. Dengan kesiapan fisik, mental, dan ekonomi, mereka dapat menghadapi tantangan pernikahan dengan cara yang lebih dewasa.
Kedua, menunda pernikahan juga memberikan kesempatan bagi individu untuk mengejar pendidikan dan karier, yang pada akhirnya berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang lebih maju. Ketiga, pernikahan di usia matang membantu mengurangi risiko konflik rumah tangga dan perceraian, yang dapat berdampak negatif pada anak-anak dan keluarga secara keseluruhan.
Selain penegakan hukum, edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat juga sangat penting dalam mengatasi masalah pernikahan dini. Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh agama memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat tentang dampak negatif pernikahan dini dan pentingnya usia matang. Kampanye kesadaran ini harus melibatkan pendekatan yang komprehensif, termasuk penyediaan akses pendidikan yang lebih baik, program pemberdayaan ekonomi untuk keluarga miskin, dan dukungan psikologis bagi anak-anak yang rentan terhadap pernikahan dini.
Pernikahan adalah keputusan besar yang membutuhkan kesiapan fisik, mental, dan ekonomi. Usia matang adalah kunci utama untuk menciptakan keluarga yang harmonis dan berkelanjutan. Dengan menunda pernikahan hingga usia matang, individu memiliki kesempatan untuk mencapai potensi terbaik mereka, baik sebagai pasangan maupun sebagai anggota masyarakat. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan