PINRANG, PIJARNEWS. COM–Pantang pulang sebelum padam, itulah tagline petugas Pemadam Kebakaran (DAMKAR). Sebuah profesi yang penuh dengan tantangan, bahkan hingga mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan harta bahkan jiwa sesama.
Di masa kini Damkar tidak hanya memiliki fungsi memadamkan api, tetapi juga turut mengatasi kesulitan masyarakat lainnya, seperti evakuasi ular, tawon bahkan turut dalam operasi kemanusiaan saat banjir.
Setidaknya itu yang dialami Sudirman, seorang komandan damkar yang telah mengabdikan dirinya selama 15 tahun. Dia mengungkap bagaimana timnya menghadapi berbagai tantangan saat menjalankan tugas di lapangan. “Kami bukan hanya memadamkan api,” katanya membuka cerita. “Evakuasi ular, tawon, hingga membantu distribusi air bersih saat banjir adalah bagian dari tugas kami, ” bebernya.
Menjadi petugas Damkar ternyata lebih banyak duka dibandingkan suka.
“Kalau ditanya suka duka, lebih banyak dukanya. Kami baru bisa merasa selamat kalau sudah sampai di lokasi kejadian dan pulang dengan selamat. Di jalan, kami sering ngebut untuk mengejar waktu, tapi terkadang banyak pengguna jalan yang tidak memberi kami prioritas. Pernah, mobil kami terbalik karena oleng, pada tahun 2014, menewaskan rekan kami, alm. Narum,” kenangnya dengan suara lirih.
Selain tantangan di jalan, medan kebakaran juga penuh resiko. Luka bakar, tertimpa bara api dari atas, pecahan kaca, tertusuk paku, hingga sesak napas karena asap tebal adalah ancaman nyata. Bahkan, kecelakaan kerja bukan hal asing. Ali Topan, yang kurang lebih 11 tahun menjadi petugas damkar, pernah mengalami insiden mengerikan itu. “ Saya pernah mengalami kecelakaan kerja pada saat bertugas, dan tertimpa besi pada saat saya berada diketinggian 15 meter, alhasil saya terkena saraf tulang belakang,” ujar Ali.
Meski risiko tinggi dan kesejahteraan minim, kecintaan pada profesi membuat mereka tetap bertahan. “Meskipun kesejahteraan kami di bawah UMR, tapi kami sudah ikhlas. Jiwa damkar itu sudah mendarah daging. Kami bangga bisa membantu masyarakat,” ujar Sudirman.
Usran, salah satu pengemudi armada damkar, menegaskan hal serupa. “Motivasi terbesar saya adalah dukungan keluarga dan rasa bangga saat bisa menyelamatkan nyawa. Tapi, kendala di jalan sering menghambat kami. Masih banyak pengendara yang tidak memberi kami jalan,” ungkapnya.
Dulu, tim damkar pernah bekerja sama dengan tim medis yang siap memberikan pertolongan pertama saat terjadi kecelakaan kerja. Namun, setelah pandemi COVID-19, layanan ini dihentikan. Kini, mereka harus bertahan tanpa dukungan medis langsung, menghadapi segala risiko dengan kemampuan yang ada.
Meski dengan keterbatasan alat yang masih manual dan tidak secanggih kota-kota besar, para petugas damkar tetap memberikan yang terbaik. Mereka berharap pemerintah memberikan perhatian lebih, baik dalam hal kesejahteraan maupun penyediaan alat yang lebih modern.
Sudirman juga menitipkan pesan untuk generasi muda yang ingin bergabung. “Menjadi petugas damkar itu bukan hanya soal fisik, tapi juga keberanian, skill, dan jiwa pengabdian. Ini pekerjaan yang penuh risiko, tapi juga penuh kebanggaan, ” ucapnya.
Dalam setiap langkah mereka, ada nyawa yang dipertaruhkan. Namun, seperti kata Sudirman, “Kami layaknya pahlawan tanpa tanda jasa. Berhasil tak dipuji, gagal dimaki-maki. Tapi kami tetap bangga, karena tugas kami adalah menyelamatkan orang lain,” ungkapnya.
Cerita ini mengingatkan kita semua bahwa di balik tragedi kebakaran, ada para petugas damkar yang bekerja tanpa lelah, dengan satu tujuan: melindungi kehidupan orang lain, meski sering kali harus mengorbankan diri mereka sendiri.
Reporter: Atika Qatira