OPINI-Perjalanan dalam melakukan Asesmen Lapangan di Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong (UNIMUDA) yang ada di Tanah Papua, tepatnya di Kab. Sorong, Papua Barat Daya, memberikan satu pengalaman yang begitu berkesan. Di sana, saya menemukan sebuah pembiasaan menarik yang menjadi bagian dari budaya kampus mereka, yaitu pemuliaan dan membahagiakan setiap orang yang datang—baik tamu, masyarakat, mahasiswa, terlebih calon mahasiswa. Kedua kata ini begitu melekat dalam keseharian warga kampus, mulai dari rektor hingga staf paling bawah, mereka mengimplementasikannya dengan tulus. Ada apa sebenarnya dengan kedua kata tersebut? Mari kita simak lebih dalam.
Pemuliaan: Menghargai Setiap Insan dengan Ketulusan
Pemuliaan bukan sekadar soal memberi penghormatan formal, seperti sambutan hangat atau sapaan sopan. Lebih dari itu, pemuliaan adalah bagaimana kita memandang setiap orang sebagai pribadi yang memiliki nilai dan martabat tinggi. Di UNIMUDA Sorong, saya melihat bagaimana para dosen, staf, hingga mahasiswa saling menghargai tanpa memandang jabatan atau latar belakang. Tamu disambut dengan senyum tulus, pelayanannya cepat tanggap, dan setiap interaksi penuh dengan perhatian. Bukan basa-basi, tapi benar-benar dari hati.
Yang menarik, budaya pemuliaan ini tidak hanya berhenti pada tataran formalitas. Misalnya, ketika seorang petugas keamanan dengan penuh hormat membuka pintu untuk seorang tamu sambil berkata, “Selamat datang di kampus kami, semoga Bapak/Ibu merasa nyaman di sini.” Kalimat sederhana ini diucapkan bukan karena kewajiban, tetapi lahir dari ketulusan hati untuk membuat orang lain merasa dihargai. Bahkan dalam ruang diskusi akademik, pemuliaan tercermin dari bagaimana dosen menghargai pendapat mahasiswa, mendengarkan dengan seksama tanpa memotong, dan memberikan umpan balik yang membangun tanpa merendahkan.
Di sini saya belajar bahwa pemuliaan bukan hanya soal bagaimana kita bersikap kepada mereka yang kita anggap “lebih tinggi” secara status, tetapi juga kepada siapa saja, termasuk mereka yang seringkali tidak terlihat dalam hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Seorang petugas kebersihan, misalnya, mendapatkan perlakuan penuh hormat yang sama seperti tamu penting. Mereka dipanggil dengan sapaan penuh hormat, diajak berbincang santai, bahkan dihargai pendapatnya dalam berbagai kesempatan.
Inilah esensi sejati dari pemuliaan—bukan tentang siapa yang kita hadapi, melainkan bagaimana kita memandang setiap orang sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki kehormatan dan martabat yang sama. Sikap ini tidak hanya membuat orang lain merasa dihargai, tetapi juga membangun hubungan yang lebih hangat, penuh empati, dan saling menghormati. Dari UNIMUDA, saya belajar bahwa menghargai orang lain dengan ketulusan bukan hanya memberi manfaat bagi orang yang kita muliakan, tetapi juga menjadi sumber keberkahan dalam hidup kita sendiri.
Membahagiakan: Memberi Lebih dari yang Diharapkan
Jika pemuliaan adalah soal menghargai, maka membahagiakan adalah langkah berikutnya—memberi rasa nyaman, senang, dan dihargai. Bukan hanya soal pelayanan yang ramah, tapi juga bagaimana membuat orang merasa berarti. Saya ingat betul, ada seorang petugas kebersihan yang dengan penuh semangat membantu menunjukkan arah ke ruangan, sambil tersenyum dan berkata, “Semoga Bapak nyaman di kampus ini.” Kalimat sederhana, tapi penuh makna.
Jika pemuliaan adalah tentang bagaimana kita menghargai seseorang dengan tulus, maka membahagiakan adalah langkah berikutnya—yaitu menghadirkan kebahagiaan di hati orang lain dengan memberi lebih dari yang mereka harapkan. Membahagiakan bukan sekadar memenuhi kebutuhan dasar atau melakukan sesuatu karena kewajiban. Ini tentang menambah sentuhan kecil yang membuat orang merasa istimewa, dihargai, dan diingat.
Di UNIMUDA Sorong, saya merasakan bagaimana budaya membahagiakan ini diterapkan dengan penuh kesadaran. Misalnya, saat seorang tamu datang untuk urusan formal, mereka tidak hanya disambut dengan prosedur standar seperti registrasi dan pengisian daftar hadir. Sebaliknya, tamu tersebut dijamu dengan penuh keramahan, diberikan minuman segar, dan bahkan diajak berbincang ringan untuk memastikan mereka merasa nyaman. Para staf tidak hanya menjawab pertanyaan, tetapi juga menawarkan bantuan tambahan seperti menunjukkan langsung lokasi ruangan, memastikan tamu tidak kebingungan, bahkan memberikan saran tempat makan atau wisata lokal bagi tamu yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Sorong.
Membahagiakan orang lain memang tidak selalu tentang hal besar. Terkadang, perhatian kecil yang tulus justru lebih berkesan. Seperti saat seorang dosen mengingat nama mahasiswa di kelasnya atau bertanya, “Bagaimana kabarmu hari ini?” Ini mungkin terdengar biasa, tetapi bagi yang menerimanya, itu adalah tanda bahwa mereka dianggap penting.
Di UNIMUDA, budaya membahagiakan ini juga tercermin dalam bagaimana mereka memperlakukan mahasiswa dari berbagai latar belakang. Tidak ada perbedaan perlakuan antara satu suku dengan suku lainnya. Semua diberi ruang untuk berkembang, semua diberi peluang yang sama untuk bersinar. Bahkan, mereka yang mungkin merasa minder karena berasal dari daerah terpencil justru mendapatkan perhatian lebih dalam bentuk pendampingan akademik dan dukungan emosional.
Membahagiakan bukan berarti harus selalu memberi materi atau hadiah. Memberikan waktu untuk mendengarkan, menunjukkan empati saat seseorang bercerita tentang kesulitannya, atau sekadar hadir saat dibutuhkan, adalah bentuk kebahagiaan yang tak ternilai. Dari UNIMUDA, saya belajar bahwa membahagiakan orang lain sejatinya adalah bentuk kebaikan yang akan kembali kepada diri kita sendiri. Ketika kita membuat orang lain tersenyum, hati kita pun ikut hangat. Dan itulah salah satu kunci keberkahan hidup—menjadi sumber kebahagiaan bagi orang lain tanpa mengharapkan balasan.
Kombinasi yang Mengubah Suasana
Bayangkan jika kita hidup di lingkungan yang penuh dengan pemuliaan dan upaya membahagiakan. Suasana pasti terasa hangat, penuh kedamaian, dan jauh dari ketegangan. Inilah yang saya rasakan di UNIMUDA. Mereka tidak hanya sekadar mengucapkan salam atau menyapa, tapi benar-benar hadir dengan sikap yang menghormati dan membuat orang lain merasa diterima.
Lebih dari Sekadar Budaya Kampus Pemuliaan dan membahagiakan bukan hanya milik UNIMUDA atau budaya kampus semata. Ini adalah nilai universal yang seharusnya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam keluarga, menghormati orang tua, pasangan, dan anak-anak adalah bentuk pemuliaan. Membahagiakan mereka dengan perhatian kecil, seperti mendengarkan cerita mereka atau memberi pelukan hangat, bisa menjadi sumber kebahagiaan sederhana namun bermakna.
Kerukunan dalam Keberagaman: UNIMUDA sebagai Miniatur Indonesia
Apa yang membuat UNIMUDA begitu istimewa bukan hanya budaya pemuliaan dan membahagiakan, tetapi juga bagaimana mereka membangun kerukunan dalam keberagaman. Di kampus ini, saya melihat mahasiswa dari berbagai suku, agama, dan latar belakang hidup berdampingan dengan harmonis. Yang paling menarik adalah bagaimana UNIMUDA memberi ruang yang sama kepada semua orang, tanpa diskriminasi, termasuk kepada mahasiswa dari suku Papua.
Kesempatan untuk berkembang diberikan secara adil—dalam hal beasiswa, kegiatan organisasi, bahkan dalam kepemimpinan mahasiswa. Tidak ada sekat-sekat eksklusif yang membatasi peran siapa pun. Mahasiswa Papua aktif terlibat dalam berbagai kegiatan kampus, menjadi pemimpin di organisasi kemahasiswaan, dan berkontribusi nyata dalam menciptakan suasana inklusif. Hal ini menunjukkan bahwa UNIMUDA bukan sekadar tempat belajar, melainkan juga wadah untuk merajut persaudaraan dalam keberagaman.
Mengapa Ini Penting?
Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan dasar untuk dihargai dan dicintai. Ketika seseorang merasa dimuliakan, mereka akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang kuat. Ketika seseorang merasa dibahagiakan, mereka cenderung memiliki energi positif yang bisa menular ke orang lain. Inilah kunci keberkahan hidup—memberi tanpa pamrih dan menciptakan kebahagiaan bersama.
Contoh dalam Kehidupan Sehari-hari
Bayangkan saat kita pergi ke warung kecil dan penjualnya melayani dengan penuh senyum, menanyakan kabar, atau bahkan mengingat pesanan favorit kita. Rasanya sederhana, tapi membekas. Atau saat kita di kantor, atasan yang tidak hanya memberi instruksi tetapi juga mengapresiasi kerja keras kita, itu adalah bentuk pemuliaan yang membahagiakan.
Belajar dari UNIMUDA: Menghargai Setiap Identitas
Pelajaran dari UNIMUDA mengajarkan bahwa perbedaan bukan untuk dijadikan alasan berjarak, melainkan peluang untuk saling mengenal dan menghargai. Setiap mahasiswa diajarkan untuk tidak hanya bertoleransi, tetapi juga saling menghormati dan merayakan perbedaan. Itulah mengapa suasana kampus terasa begitu harmonis, karena semua orang merasa dihargai apa adanya, tanpa harus mengorbankan identitas mereka.
Keberkahan yang Mengalir dari Sikap Sederhana
Apa yang terjadi jika kita konsisten melakukannya? Keberkahan hidup akan mengalir tanpa kita sadari. Hubungan menjadi lebih harmonis, rezeki datang dari arah yang tak terduga, dan yang terpenting—hati kita dipenuhi ketenangan. Karena sejatinya, kebahagiaan yang kita berikan kepada orang lain, akan kembali kepada diri kita sendiri dalam bentuk yang berlipat ganda.
Akhirnya, Pilihan Ada di Tangan Kita
Apakah kita ingin hidup biasa-biasa saja atau menjadi pribadi yang membawa keberkahan bagi sekitar? Jawabannya ada dalam dua kata sederhana ini: pemuliaan dan membahagiakan. Mari kita mulai dari hari ini, dari hal kecil, dan rasakan bagaimana hidup kita berubah menjadi lebih bermakna. Jika sebuah kampus di Tanah Papua bisa menjadi contoh harmoni dalam keberagaman, mengapa kita tidak bisa melakukannya di lingkungan kita masing-masing?.
Wallahu a’lam