Penulis: Abdillah MS (Pemimpin Redaksi Pijarnews.com – Koordinator Perhimpunan Jurnalis Ajatappareng (PIJAR)
PIJAR OPINI — Menggambarkan atau melukiskan kegelisahan sosial disekitar tempat kita berpijak dalam sebuah karya sastra berupa puisi atau tulisan esai maupun opini, mungkin adalah hal yang biasa kita lakukan.
Lantas bagimana jika kegelesihan sosial itu kita gambarkan dalam bentuk karikatur, hal ini merupakan kegemaran saya akhir-akhir ini, kendati karya pertamaku ini jauh dari kata sempurna, atau mungkin lebih tepat hampir persis dengan karya anak PAUD, namun ternyata kegelisahan yang kita tuangkan dalam karya karikatur punya sensasi tersendiri.
Dalam karikatur kali ini jelas sangat tergambar peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh tim sapuh bersih pungli (saber pungli), yang mana sampai sekarang ini, kita belum tau ujung pangkal dalam penanganan beberapa kasus yang terjaring OTT itu, seperti tertangkapnya oknum pegawai honorer kantor Disdukcapil yang diduga melakukan pungli dalam pengurusan berkas kependudukan, dan terakhir paling santer adalah kasus OTT pejabat ULP yang kini statusnya ditangguhkan sebagai tahanan.
Hal yang sangat wajar ketika publik bertanya-tanya, sudah sejauh mana penanganan kasus OTT ini? Bukankah menurut pemahaman kami orang yang awam tentang penegakan hukum, dimana saat dilakukannya OTT, itu berarti unsur melawan hukumnya sangat kuat misalnya ditemukannya orang yang melakukan tindak pidana seperti korupsi atau pungutan liar yang disertai dengan sejumlah barang bukti berupa uang haram yang mereka terima.
Pada kasus OTT yang diduga dilakukan oleh beberapa orang pejabat ULP ini, dari awal penanganan kasusnya sudah menimbulkan tanda tanya besar bagi sejumlah kalangan, sebab pasal yang dikenakan pada mereka adalah ‘penyuapan’ pertayanyannya, kok ada yang ditetapkan tersangka penyuapan sementara yang menyuap tidak diapa-apakan???. Prediksi banyak kalagan tentu akan terjawab pada bolak baliknya berkas perkara dari penyidik kepolisian ke pihak kejaksaan.
Padahal menurut perundang-undangan yang berlaku di negara kita sangat jelas disebutkan, suap adalah dua pihak saling bekerja sama dan berkonspirasi, ada yang memberi dan ada yang menerima untuk tujuan tertentu.
Mengenai konstruksi hukumnya, pungli ini terkait dengan UU No. 20 Tahun 2001 Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), khususnya Pasal 12 huruf e. Pasal itu berbunyi, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau oang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Ancaman pidana minimal empat tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
Mungkin penanganan beberapa kasus OTT bisa menjadi perenugan mendalam juga bagi kita para pelaku media massa, sebab kasus-kasus seperti ini biasanya kita angkat sebagai headline hanya pada tataran peristiwa penangkapannya saja, atau dengan kata lain hanya berbau bombastinya saja, namun kelanjutan kasusnya, kita seakan larut dan tergerus pada pola yang ‘mereka’ perankan.
Bukankah korupsi dan pungli itu masuk dalam kategori kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime, sehingga negara membentuk lembaga KPK dan Saber pungli, seharusnya pelaku kejahatan korupsi atau suap itu kita ibaratkan sampah yang harus kita bersihkan lalu kemudian kita masukkan ke keranjang dan diangkut dengan menggunakan truk sampah seperti yang tergambar dalam gambar karikatur kali ini.
Harapan besar kita, tentu penegakan hukum itu berlaku bagi siapa pun, bukankah hukum itu untuk keadilan, bukan hukum untuk siapa ? (*)