Kampanye Anda tahu, pada prinsipnya adalah mengkomunikasikan sesuatu. Sudah tentu, berharap memengaruhi orang banyak.
Memasang foto pada baliho atau spanduk di pinggir dan sudut simpang jalan hanya mengotori kota. Itu menurut sejumlah politikus. Saya sependapat dengan mereka. Memang apa yang bisa diberikan oleh foto yang mejeng seperti … di pinggir jalan? Sama sekali, tidak menunjukkan kualitas seorang wali kota apalagi gagasannya. Hanya pedagang kaki lima berusia lanjut saja yang barangkali dapat kita temui kini memandang foto baliho kandidat wali kota. Lumayan, buat dinding warung, pikirnya mungkin saja.
Begitu pun dengan strategi memasang stiker di pintu dan jendela rumah. Biasanya ini dilakukan di tengah malam oleh tim pendukung politisi saat penghuni rumah sedang di ranjang. Barangkali mereka tidak pernah merasakan, juga membayangkan bagaimana repotnya mengelap jendela dan pintu di malam-malam hari raya.
Dan hal paling konyol yang sering calon wali kota lakukan saat berkampanye adalah berbagi baju kaus bergambar foto mereka. Syukur, jikalau mereka terpilih, juga selama menjabat dikenang baik. Bagaimana kalau tidak? Siapa yang mau memakainya coba? Jadi lap barangkali pun enggan!
Di zaman now politikus semestinya melawan kampanye ala nenek moyang. Nenek moyang belum mengenal internet, ponsel pintar, apalagi media sosial. Para kandidat wali kota seharusnya bertarung secara gagasan. Mereka bisa memanfaatkan pengguna ponsel pintar yang lebih banyak tunduk ketimbang bercakap hadap-hadapan. Bukan pamer-pameran gaya foto laksana model iklan pasta gigi, jualan kopiah, jas, dan lain sebagainya.
Bertarung secara gagasan akan lebih mudah menarik orang untuk membaca, lalu menganalisis, mengkritisi, dan mendialogkannya. Keterbukaan dalam ini wajib. Toh, pemilih didominasi oleh orang-orang yang sudah mampu membaca bukan.
Sebagai pemilih, kita hanya perlu tahu sedikit hal tentang riwayat kandidat wali kota. Ini mudah. Informasi dapat ditemukan di sekitar tempat tinggal, keluarga, sekolah, teman, dan organisasi. Kita harus sedikit lebih aktif memang!
Sebaliknya, calon wali kota yang harus tahu banyak dan banyak tahu hal tentang kita yang akan dipimpinnya. Harus tahu kebutuhan kita sebagai masyarakat. Lingkungan tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, dan perlakuan hukum misalnya. Bukan rajin menghadiri majelis zikir yang secara temporal. Bukan menyantuni fakir, anak yatim, dan korban bencana alam untuk bahan berita pencitraan. Hal-hal seperti itu tidak layak diinformasikan. Sebab, tangan kiri tanpa diberi tahu akan tahu. Orang baik melakukannya secara rahasia.
Dengan menghimpun pengetahuan ihwal masyarakat yang hendak dipimpin, sang calon selanjutnya dapat mengemas visi dan misi politisnya—mengutamakan kepentingan masyarakat. Barang tentu, pekerjaan ini tidak mudah. Ia mesti ripuh menampung, memilah, dan mengutamakan hajat orang banyak secara realistis. Kecakapan menjadi makhluk meruang inilah yang mungkin dapat menghindarkan kepala daerah terjebak dalam nafsu kekuasaaan. Dengan kata lain, seorang wali kota harus membunuh ego kekuasaan dan pemuasan individualnya. Memperjuangkan kepentingan masyarakat seperti isi khotbah. Kalimat sedetik yang lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan.
Pemasangan alat peraga tidak dapat memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Hal serupa juga terjadi pada surat suara pemilihan. Lagi-lagi, kita hanya dihadapkan pada foto, bukan gagasan calon wali kota. Mengapa? Sebagai catatan, membaca lebih mudah merangsang kesadaran menentukan pilihan.
126.511 orang Parepare memiliki hak pilih. Itu data bulan Desember 2017. Untuk memilih wali kota yang baik, Anda harus tahu tentangnya. Apa yang ia perjuangkan? Ke mana arah gagasannya? Dan mengapa ia mengarah dan memperjuangkan idenya?
Sejumlah jawaban atas pertanyaan tersebut di atas harus termaktub dalam strategi kampanye seorang kandidat wali kota. Jika ketiga asas itu hilang, yakinlah, ia adalah kandidat kepala daerah yang buruk. Sebab, seorang wali kota yang baik harus belajar mati sebelum ia menjabat. Dan mati, tepat saat namanya terpilih sebagai pemegang amanat masyarakat.
Penulis: Ilham Mustamin