OPINI — Memasuki masa kampanye Pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2018 ini, lagi-lagi banyak janji kebaikan-kebaikan yang kembali diumbar oleh para calon kepala daerah. Entah kenapa banyak pertanyaan yang menggelayut di benakku setelah membaca berita yang saya harus edit di meja redaksi, memang dalam beberapa hari terkhir ini, berita yang berseliweran didominasi dengan janji-janji program yang menurut mereka adalah program unggulan yang akan bermuara pada kesejahteraan rakyat.
Adakah kesemua itu dapat terukur dari bingkai ketulusan, keikhlasan, dan kesungguhan dari para calon kepala daerah tersebut? Hadirkah energi sufistik atau energi patriotik yang mau berkorban untuk agama, orang lain serta bangsa ini, dan bukan untuk kepentingan sendiri serta para kroni-kroninya yang tentu juga punya kepentingan dengan calon yang ia unggulkan?. Adakah hadir bisikan yang terus bernyanyi religi dari napas keseharian yang membungkus segala ambisi yang terus mengejar?.
Setiap individu pastilah memiliki obsesi dan ambisi, yang penting tidak ambisius. Sebab, sangatlah wajar kalau misalnya, saat ini kita punya motor lantas ingin memiliki mobil, wajar kalau kemarin punya rumah sekarang ingin memiliki apartemen mewah, wajar kalau hari ini kita jadi rakyat biasa dan kemudian kita ingin jadi Gubernur, Wali Kota, atau Bupati.
Akan tetapi, jangan lupa tanya pada hatimu bahwa adakah kewajaran-kewajaran itu tidak berlebihan dan bukan hanya dilandasi dorongan birahi politik dan kecintaan buta yang tanpa menghadirkan pendekatan hati dan akal yang logis?. Karena, jika kita menyimak secara bijak, maka kita akan mengetahui segala obsesi yang kita tanamkan ke dalam otak kita untuk bisa diwujudkan, Karena hal itu tidak akan bisa terjawab bila kita tidak berada pada bingkai keikhlasan dan kesungguhan itu tadi.
Bukankah beerbuat baik menjadi petaka, ketika itu dilakukan dengan pamrih. Kehendak baik menjadi jalan ke neraka, ketika ia dilumuri dengan kepentingan kotor. Ini terjadi, karena orang yang berbuat baik tidak memiliki kejernihan pikiran. Pikirannya dilumuri dengan perhitungan untung rugi dan nafsu jahat.
Enomiya-Lasalle, Zen Master dari Jerman, menegaskan, bahwa kejernihan hanya mungkin, jika orang sudah memahami jati diri sejatinya. Jati diri sejati terletak sebelum segala bentuk pikiran, bahasa dan konsep. Seluruh ajaran filsafat, mistik dan agama di seluruh dunia mengajarkan kita untuk menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia. Sayangnya, kita lebih terpaku pada ajaran moral dan ritual, daripada jati diri sejati kita sebagai manusia.
Semestinya para calon kepala daerah sekarang ini, harus melakukan rasionalisasi kampanye yang tidak berabau sesaat, bukankah kita manusia sebagai mahluk sosial diciptakan untuk selalu berbuat baik tanpa dinodai dengan niat yang lain selain keikhlasan dan ketulusan. Semoga saja anda para calon bisa instropeksi diri dan merenung! apakah anda memang benar-benar pantas untuk duduk sebagai pemimpin kami?.