Dalam satu tahun terakhir ini, setiap saya berkunjung ke Parepare, saya selalu bertemu dengan anak-anak muda kreatif kota Parepare yang bergabung dalam komunitas “Parepare Menulis”. Saya tidak mengenal mereka satu persatu, kecuali beberapa. Ternyata mereka berasal dari berbagai profesi, ada pegawai bank seperti Ato Rachmat Saleh, Muh. Ibrahim Leman wartawan dan instruktur bahasa, Sahran yang seniman, Fadjriani Ramadan penyair, Ikhsan disainer grafis dan lain-lain. Saya selalu diundang untuk memberikan motivasi menulis, baik di Teras Empang, beberapa café, bahkan lesehan di rerumputan di Taman Jompie’. Saya pernah bertanya kepada mereka, siapa penginisiatif pertemuan ini?, Mereka jawab bahwa mereka sendiri, komunitas ini tumbuh dengan sendirinya dan dinamis. Mereka mengadakan malam puisi, pertunjukan teater, diskusi sastra, pameran karikatur. Saya selalu senang bertemu mereka, karena ini adalah pekerjaan kreatif dan inspiratif yang dilakukan anak-anak muda kota Parepare.
Saya teringat kegiatan yang sama kami lakukan di Parepare ketika kami masih remaja tahun enam puluhan, mendirikan komunitas budaya dan sastra yang kami namakan Organisasi Seniman Muda (Orsenim).
Waktu itu.. “markas” kami atau tempat kami berkumpul tiap hari pada sebuah rumah tua yang berarsitektur tahun empat puluhan di jalan Daeng Parani No 1. Rumah itu sudah tidak lagi dihuni, karena lapuk. Di sinilah pertama kali kami menerbitkan buletin empat halaman yang diperbanyak menggunakan teknologi stensil atau “roneo” yang masih jarang ditemui di Parepare ketika itu. Tidak gampang anak-anak seumur kami waktu itu menerbitkan sebuah publikasi semacam itu. Apalagi semua proses pembuatannya, kami kerjakan sendiri. Modal utama kami adalah sebuah mesin ketik tua merk “Remington”, model tahun empat puluhan peninggalan ayah saya. Karena huruf-hurufnya sudah aus dimakan usia, maka hasil ketikan pada master yang disebut sheet tidak selalu memuaskan. Untuk memperbanyak, kami menggunakan mesin stensil merk Genstener milik kantor Jawatan Penerangan Parepare. Arman Junus, salah seorang putra Kepala Jawatan Penerangan kota Parepare, pada sore hari ketika kantor sudah tutup, mengajak kami menyelusup masuk ke bagian stensil. Di situlah kami bisa menggunakan stensil, kertas dan tinta jawatan penerangan untuk menghasilkan bulletin Orsenim. Resikonya, setelah selesai, tangan kami berlumur tinta hitam yang berbau meyengat. Tetapi setiap selesai, hati kami berbunga-bunga dan bangga, seperti baru melaksanakan sebuah misi maha mulia.
Kami juga memproklamasikan motto organisasi kami “seni untuk seni” terjemahan dari “l’art pour l’art” sebuah dogma kesenian awal abad kesembilan belas. “Art for the sake of art” seni tidak untuk menjadi alat sesuatu, kecuali untuk dinikmati diri sendiri. Motto itu mendapat kritik dari senior-senior yang memerhatikan kegiatan kami. Masukan yang kami terima menyatakan motto itu terlalu individualis. Kalian tidak bisa berkarya dan menikmati sendiri karya seni itu. Jika karya kalian tidak untuk dinikmati masyarakat, apa manfaatnya? Setelah berunding, kami mengalah. Akhirnya motto itu pun kami rubah total menjadi “kami mengabdikan seni untuk masyarakat karena seni adalah cermin masyarakat”. Kepanjangan? Tidak lagi menjadi pikiran. Kami lalu mengubah sebuah lagu mars untuk mempopulerkan motto ini. Sampai sekarang lagu mars itu, tidak akan pernah dilupakan oleh eks anggota.
Pada ulang tahun pertama organisasi ini, kami rayakan dengan sebuah pagelaran seni di Gedung Taman Persaudaraan pinggir pantai disamping bakal gedung “Balai Ainun Habibie” sekarang. Atap gedung masih dari daun rumbia, dulu di masa kolonial disebut “Rumah Bola”, tempat dansa-dansi dan berlibur akhir pekan para sinyo dan noni Belanda (pernah jadi Gedung Olahraga, sekarang lapangan tennis). Pagelaran seni ini dihadiri hanya sekitar tiga puluh orang, termasuk, seorang tamu penting satu-satunya, H.Andi Makkulau, Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) kota Parepare, Datu Sawitto dan beliau pernah jadi Bupati Pinrang tahun 60-an. Beliau datang dengan berpakaian dinas resmi berikut tanda pangkat. Mengejutkan dan mendebarkan, serta sedikit panik, setelah kami tahu orang nomor satu di kabupaten Parepare itu hadir. Tetapi kehadirannya justru memberikan kami semangat tampil di atas panggung. Beliau mengikuti acara sampai selesai, sambil sesekali terseyum, terhibur melihat atraksi “seniman-seniman yang sehari-hari masih bercelana pendek” ini. Salah seorang yang membaca puisi waktu itu adalah Salim Said (Prof.Dr.Salim Said). Ia memilih puisi Chairil Anwar berjudul “Beta Pattirajawane”. Salim muncul dipanggung meniru kostum tradisional suku Ambon dan menabuh Tifa sambil membaca puisi.
Menjadi pertanyaan saya kemudian,“virus” apa yang tiba-tiba menjangkiti kami, sehingga kami memiliki minat yang sama dalam dunia kesusasteraan dan teater? Apa yang memengaruhi mobilitas sosial remaja tanggung ini? Pertama, pasti bukan seperti gaya Kaisar Byzantium yang menuntut setiap anak mengamati pekerjaan orang tua mereka, supaya mereka bisa mewarisi bakat orang tua mereka. Karena orangtua kami punya latar belakang profesi yang berbeda. Bukan pula gaya Kaisar China yang mewajibkan setiap anak muda melewati ujian untuk cemerlang dalam bidang pekerjaan dan kelak melahirkan perubahan sosial. Mungkin tepat jika meminjam teori ilmu sosial mengenai munculnya “mentalitas kolektif”. Kami semua memiliki “mentalitas kolektif” ingin sebuah perubahan dengan melihat reputasi individu dan kelompok senior-senior kami.
Kedua, kami semua punya kegemaran membaca buku sastra. Buku pada tahun lima puluhan di Parepare, merupakan barang luks karena langka, apalagi bacaan yang bermutu. Untuk memenuhi selera baca, kami terpaksa meminjam buku di perpustakaan Jawatan Pendidikan Masyarakat di kota itu (sekarang kantor KNPI). Pustakawannya seorang perempuan yang memakai kebaya yang sangat ramah dan murah senyum. Dia penuh dedikasi dan ramah mengatur sirkulasi pinjaman buku-buku yang membuat kami betahdan senang untuk datang dan datang. Di sini kami bisa meminjam buku-buku terjemahan dan karangan pengarang Indonesia terbitan Balai Pustaka dan Dian Rakyat.
Ketiga, “virus” yang ditularkan oleh kawan-kawan seniman senior kami di Makassar, di akhir tahun 50-an. Di sinilah nama Rahman Arge tidak bisa kami lupakan. Makassar bagi kami, di tahun limapuluhan terentang sebuah jarak. Sebuah jarak secara alamiah dan sebuah jarak intelektual. Jarak alamiah, karena Makassar tidak bisa kami capai dari daerah manapun di Sulawesi Selatan dalam seketika seperti sekarang ini. Selain karena infrastruktur yang jelek, transportasi masih langka, juga masalah keamanan. Makassar bagi kami juga terentang “jarak” intelektual, karena di Makassar bermukim ilmuan-ilmuan dan cerdik cendekia yang terkenal. Karena itulah, kami merasa sebagai “anak pedalaman” yang tinggal di “feri-feri” (waktu itu) tanah Bugis. Makassar sebuah kota besar, yang menjadi jendela kami untuk melihat cakrawala lain dan memulai pengembaraan intelektual. Mengapa perhatian kami sangat besar kepada hal-hal seperti ini? Seseorang yang punya obsesi terhadap sesuatu yang ingin dicapainya, pantaslah perhatiannya besar pula pada sesuatu yang identik dengan obsesinya.
Coba lihat, di Makassar berdiri Universitas Hasanuddin yang semula berafiliasi dengan Universitas Indonesia Jakarta. UNHAS perguruan tinggi negeri satu-satunya di Sulawesi pada waktu itu. Di Makassar, terbit majalah kebudayaan “Sulawesi”. Di majalah ini,kami membaca nama seorang sastrawan nasional bernama J.E.Tatengkeng penyair “Rindu Dendam” itu. Ada seorang profesor ternama, Sutan Muh. Syah. Jabatan profesor sebuah prestasi ilmiah yang masih langka di tanah air. Melalui majalah Sulawesi dan media pers, kami membaca tulisan budayawan Arsal Alhabsyi, esei-esei Indra Chandra yang berwawasan luas, Hamzah Daeng Mangemba. Sederet nama sastrawan bergensi seperti Rahman Arge, A.Adam, Hisbuldin Patunru, Rosadi Sani, Ramto, Willy Rissakota. Kami membaca pementasan Arge yang selalu ramai dibicarakan oleh media. Kami “anak pedalaman” tambah berdecak ketika kami tahu telah terbit sebuah kumpulan puisi berjudul “Jalanan Tiga Orang”, karya tiga penyair senior, Arsal Alhabsyi, Hisbuldin Patunru dan Rosadi Sani. Sebuah buku lainnya berbentuk esai, “Gema Revolusi”, tulisan A.Baso Amier. Buku-buku sastra biasanya hanya terbit di Jakarta pada waktu itu, terutama oleh penerbit Balai Pustaka.
Pada rubrik sastra “Lembaga” surat kabar Marhaen di Makassar, setiap minggu kami menemui tulisan-tulisan sastrawan senior Makassar. Di sini, kami membaca tulisan-tulisan Arge dan kawan-kawan. Puisi-puisi kami waktu itu belum “sekelas” puisi-puisi Arge. Kami membaca resensi pementasan drama “Nona Maryam”, karya Kirjomulyo dan “kemudian hari ada drama “Yang Gelap di Luar” karya Rahman Arge, dipentaskan di Gedung Kesenian. Kami sendiri tidak pernah membayangkan bagaimana bentuk Gedung Kesenian di Makassar itu?
Di Makassar ada pelukis terkenal bernama Mustafa Djalle, Ali Walangadi. Ada penyanyi nasional yang bernama Murtini Slamet, Sam Samalo, Djayadi Djamain. Penyiar RRI yang terkenal bernama Andi Razaf, Ramlah Hiola, L. Duni, Andi Pudja Syamsuddin Amin, Kenapa saya menyebut penyiar RRI? Maklum, RRI Makassar adalah media informasi dan hiburan satu-satunya bagi masyarakat. Sekali waktu, kami bisa menguping rubrik sastra RRI Pusat asuhan Abdul Mutalib dan mendengar pembacaan sajak Rondang Erlina Marpaung. Selain itu nihil.
Selain itu, kami terpesona dengan prestasi sastrawan “nun jauh” di Pulau Jawa sana. Di Yogyakarta, kami baca mengenai pengarang Nasyah Djamin, populer dengan novelnya “Sekelumit Nyanyian Sunda”, “Hilanglah si Anak Hilang”, penyair dan penulis naskah drama Kirjomulyo menulis naskah drama yang terkenal “Nona Maryam”, “Penggali Intan”, “Saat Sungai Barito Kering”. W.S.Rendra menghasilkan kumpulan sajak “Rendra dan 4 kumpulan Sajak”, “Ballada Orang Orang Tercinta”, Motinggo Busye sudah menghasilkan karya-karya spektakuler “Malam Djahanam”, “Malam Pengantin di Bukit Kera”. Dari Jatiwangi Ajip Rosidi menghasilkan novel “Perjalanan Penganten”, “Sebuah Rumah Buat Hari Tua”. Ramadhan KH mencul dengan kumpulan puisi yang memenangkan hadiah BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Indonesia) “Priangan si Jelita”. Tidak ada satu pun karya ini yang bisa kami temui di kota Parepare, sebuah kawasan “feri-feri” di tanah Bugis ini. Tetapi kami mengikutinya perkembangan sastra nasional dari berbagai bacaan.
Begitu kontras dengan keadaan kami di Parepare, pada tahun-tahun yang sama, di belantara kegiatan sastra Indonesia. Kemana teman-teman seangkatan kami di Parepare dulu itu? Ada yang telah dipanggil oleh Sang Khaliq, selebihnya sudah lelah dan pena mereka sudah kering. Diantara mereka memang masih ada yang berkarya, tetapi selebihnya mereka merintis profesi yang lain. August Parengkuan kemudian hari menjadi salah seorang pendiri koran terbesar Harian Kompas, Direktur TV7 dan Duta Besar di Itali, Salim Said (Prof.Dr) kemudian hari menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, sebuah kiblat kesenian Indonesia dan menjadi doctor dan guru besar, Alwi Hamu menjadi, pimpinan Group Media Fajar, “taipan” surat kabar di Indonesia, sejumlah lainnya kemudian hari menjadi pejabat eselon I dan II di pemerintahan, baik di daerah maupun di pusat. Belum terhitung mereka yang berkiprah di legislatif, pebisnis, organisasi profesi dan olahraga. Memang semua ini prestasi pribadi, tetapi yang membangkitkan jiwa kreatif mereka bermula dari kota Parepare. Dari kota ini mereka mulai bersosialisasi mengasah kecerdasan dan kreativitas. Mereka tumbuh dan berkembang sebagai intelegensia kota.
Suatu ketika ada kawan yang ingin menghidupkan kembali organisasi kami dulu melalui estafet ke generasi muda. Tetapi yang lain mendebatnya bahwa hal itu tidak mungkin lagi terjadi, karena masa itu sudah berlalu digilas teknologi dan lingkungan masyarakat sudah berobah.
Ini sebagai contoh sebuah komunitas intelegensia kota Parepare yang rata-rata berhasil membina karier mereka. Karena itu, anak-anak muda Parepare yang kini muncul seperti dalam komunitas Parepare Menulis seharunsya diapresiasi. Fasilitasi mereka dengan sarana di mana mereka bisa mengekspresikan bakatnya, dalam teater, sastra, seni lukis. Berikan mereka sarana untuk berdiskusi, berdebat untuk mempertajam intelegensia, beradu ide untuk mengembangkan kreativitas, sehingga Parepare menjadi kota inspiratif dan kreatif bagi warganya.
Andi Makmur Makka