PAREPARE, PIJARNEWS.COM — Serangan teror yang terjadi beberapa waktu lalu banyak melahirkan banyak spekulasi, dan kampus adalah lembaga yang berpotensi terpapar faham radikal dan ideologi yang keliru.
Kehidupan kampus adalah kehidupan pencarian, pembentukan, dan membangun karakter ukhuwah dalam toleransi ideologi dan keberagamaan, kehidupan kampus menjadi sebuah wacana penting dalam menangkal radikalisme.
Penelitian Badan Intelijen Negara (BIN) pada 2017 mencatat 39 % mahasiswa di 15 provinsi di Indonesia yang menjadi responden terindikasi tertarik pada faham radikal. Hal ini diperkuat oleh keterlibatan seorang lulusan PTN yang terlibat teror di Jakarta beberapa waktu lalu.
Sejatinya kecerdasan sosial adalah sikap yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan bertoleransi, ditinjau dari segi psikologis sikap tidak toleran atau intoleransi disebabkan karena pengetahuan yang dangkal dan menimbulkan sikap picik, cenderung menyerang orang lain yang berbeda pendapat dengannya, dan orang yang intoleransi memiliki pengetahuan yang dangkal.
Kasus-kasus intoleransi juga terjadi akibat adanya sikap ekslusivitas dari kelompok tertentu termasuk dalam bentuk yang mudah mengkafirkan orang lain atau takfiri, penyesatan dan pengkafiran adalah bentuk kekerasan teologis. Kemudian diikuti kegiatan fisik dan berdampak serius terhadap kebebasan beragama.
Pengetahuan dasar basic knowledge Agama, wawasan kebangsaan dan kebhinekaan dalam bingkai NKRI harus dimiliki oleh setiap mahasiswa, sehingga tidak mudah terprovokasi faham yang radikal (radikalisme) dan gerakan keagamaan yang reaksioner (fundamentalisme).
Menteri Riset, Tekhnologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohammad Nasir dalam kunjungannya ke Universitas Bandar lampung, Senin, 14 Mei 2018 meminta perguruan tinggi tegas dalam menolak berkembangnya faham radikalisme.
“Saya ingin kampus menjadi pintu utama menangkal radikalisme, kampus harus menjadi pusat ilmu pengetahuan, kampus harus menolak radikalisme dan intoleransi, meminta para pemimpin perguruan tinggi dan mahasiswa untuk memiliki empati dan rasa yang mendalam tentang tragedi bom di surabaya,” ungkapnya.
Mentransformasi ideologi radikal menjadi tidak radikal (deradikalisasi) merupakan proses kognitif atau memoderasi pemikiran dan keyakinan melalui sentuhan literasi sosial, agama dan budaya secara aktif, memfasilitasi mahasiswa dengan pengetahuan yang genuine dan selektif dalam memilah-milah arus globalisasi, keterbaruan informasi dan pemahaman terhadap kearifan lokal (local wisdom) yang beragam yang diwariskan bangsa ini mampu membentengi watak generasi sehingga tidak mudah terprovokasi oleh informasi dan narasi provokatif yang berkembang di media sosial dan memiliki toleransi ideologi yang islami.(*)