Tahun 1967, saya bertemu di Yogya dengan M. Dawam Raharjo. Waktu itu Majalah “Gema Mahasiswa”, majalah mahasiswa Universitas Gajah Mada, diganti oleh pengasuh yang ditunjuk oleh Care Taker (CT) Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Dalam posisi saya sebagai salah seorang pengurus Dewan Mahasiswa dan mungkin karena menjadi Ketua Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) Cabang Yogyakarta menggantikan pendahulu saya Ichlasul Amal ( Rektor UGM dan Ketua Dewan Pers). Waktu itu, Care Taker Dewan Mahasiswa dipimpin oleh sebuah Presidium, masing-masing organisasi ekstra Universitas antara lain dari PMKRI (Persatuan Mahasiswa Khatolik Indonesia), Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Pelopor Mahasiswa Sosialis Indonesia (Pelmasi) , IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), dll.
Dawam Rahardjo dari Fakultas Ekonomi dipilih menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Gema versi baru. Sebetulnya saya telah ditunjuk sebagai pemimpin redaksi oleh Dewan Mahasiswa UGM dan permohonan Surat Izin Terbit (SIT) ke Deppen Jakarta sudah disiapkan. Tetapi Pimpinan HMI Yogya kemudian memasukkan nama M. Dawam Rahardjo. Saya yang pada waktu itu masih pada level kader dalam organisasi, tunduk pada keputusan pengurus, akhirnya menjadi wakil pemimpin redaksi. Pemimpin Umum majalah itu: Asaat Esyam dari jurusan pemerintahan Fisipol, ex offisio Ketua Presidum CT Dewan Mahasiswa. Redaksi: Abdul Hadi WM, dari Fak. Filsafat, kemudian Hadi jadi doktor dan guru besar, penyair dan ahli sufi. Amak Baljun dari Fak. Hukum (aktor teater/film dan penerbit), Arselan Harahap dari Publisistik Fisipol (Direktur LP3ES, Ketua IKAPI, Dosen Univ. Trisaksi), Abdul Rahman Saleh dari Fak.Hukum (aktor, wartawan, pengacara dan Jaksa Agung masa Presiden Abdurahman Wahid). Selain itu juga ada kontributor foto, Assegaf dari Fakultas Hukum, (sekarang pengacara kondang).
Dawam selalu datang memimpin rapat redaksi dan membicarakan kebijakan redaksi di sebuah bangunan kuno keraton pojok kanan Siti Hinggil. Tetapi ia tidak pernah ikut menyiapkan penerbitan di percetakan. Maka sayalah dan kawan –kawan redaksi “bergelut” dipercetakan setiap satu edisi akan terbit.
Majalah ini dicetak di percetakan Radya Indira, milik pemerintah daerah yang terletak di Jalan Gondomanan. Percetakan yang masih menggunakan teknologi linotype ini, pada tahun 1967 peralatannya sudah tua-tua dan renta, karyawannya pun sudah tua-tua berkacamata negative tebal.
Beberapa penerbitan bulanan, mingguan dan harian dicetak pada percetakan ini. Di sini dicetak “Harian Masa Kini”, pemimpin redaksinya Abdul Nur Adnan jebolan jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM. Terakhir berkiprah di Voice of America dan menetap di Amerika Serikat. Juga dicetak Mingguan Abadi dari Solo, Mingguan Tidar dari Magelang. Selain Majalah Gema, majalah mahasiswa lainnya yang dicetak di sini adalah Majalah Dermaha dari IKIP Yogyakarta. Salah seorang pengasuhnya adalah mahasiswa Syafei Maarif (Prof.DR) yang sering saya temui dipercetakan. Karena order yang padat dan karyawan percetakan yang tidak memadai, kami konsumen langsung ikut turun tangan mengerjakan lay out. Memerlukan waktu dua minggu menyiapkan tata letak. Sayalah yang mengambil alih tugas karyawan percetakan mengerjakan tata letak, mengambil lempengan timah panas, lalu menatanya sebaris kalimat demi kalimat dalam nampan besi. Huruf atau letter dari timah sudah banyak yang aus dan hilang. Master huruf “p” misalnya sudah kurang dan akhirnya diganti huruf “f”. Untuk kata “pada” akhirnya tertulis “fada”. Anehnya, pembaca cukup mengerti dan menyesuaikan diri membacanya, walaupun telah terjadi pelanggaran tata bahasa yang luar biasa.
Kami pengasuh majalah yang turut “nimbrung” untuk mengejar jadwal terbit, selalu berada dalam ruang percetakan panas berbau timah. Abdul Hadi WM suatu hari mengusulkan agar kami disediakan susu segar (seperti pegawai percetakan lainnya). “Untuk apa?” tanya saya. “Untuk menangkal racun tima,“ jawabnya. Di ruangan percetakan memang bising dengan suara mesin cetak yang sedang beroperasi, udara panas dan bercampur aroma tinta. Pada waktu makan siang, karena tunjangan kerja kami hanya seadanya, kami beramai-ramai pergi makan siang pada sebuah warung pinggir jalan tidak jauh dari percetakan. Pemilik warung kaki lima itu seorang perempuan muda dan berparas lumayan, kami juluki “Bibi Marsiti”, judul sebuah novel Motinggo Busye yang lagi populer ketika itu.
Setiap akan terbit dan naskah belum cukup untuk mengisi kolom, saya singgah menemui Dawam yang mondok di Asrama Mahasiswa Masjid Suhada Kota Baru. “Baik, saya akan siapkan“, besoknya naskah saya jemput lagi. Dalam setiap pembicaraan kami, Dawam akan berseri-seri wajahnya jika kami berbicara soal puisi. Saya tahu Dawam juga sering menulis puisi semasa tinggal di Solo. Penyair asal Sulawesi tahun 50-an yang dikaguminya adalah Husain Landitjing. Ia tidak henti-hentinya menyebut nama penyair itu jika kami bertemu. Mungkin karena saya berasal dari pulau yang sama. Selain penyair Tuty Aminah Azis dan Tuty Alawiyah (Tokoh Perempuan Pengasuh Pondok Pesantren Assyafiiyah, menteri dalam Kabinet Reformasi Pembangunan). Dawam pun senang menyambung pembicaraan mengenai penyair Pakistan Allama, Muhammad Iqbal, filosuf Santayana. Saya tahu bacaannya luas, tetapi saya kurang tertarik mendengarnya. Satu hari, kampus UGM dilanda demonstrasi melawan kebijakan Rektor UGM Soeroso. MA. HMI kontra Rektor, saya datang menemui Dawam dan mengatakan Majalah Gema harus memutuskan sikap sebagai pihak yang melawan Rektor. Dawam setuju dan mengatakan dia yang akan menulis naskahnya. Majalah Gema milik mahasiswa UGM akhirnya menyatakan sikap anti rektor pada edisinya yang terakhir. Sejak itu, berakhirlah karier kami sebagai pengasuh Majalah Gema.
Tiba masanya saya pindah ke Jakarta, saya bersilaturahim dengan beberapa kawan. Saya antara lain melakukan silaturahim ke Dawam di tempat kerjanya di Bank of America, disektitar Istana Negara, saya kira ini tempat kerjanya yang pertama setelah pindah ke Jakarta.
Pada tahun 1989, saya bertemu Dawam ketika saya mendampingi BJ Habibie menerima kunjungan Dawam, Imanuddin Abdurakhim, Syafei Anwar dan Erick Salam cs, mahasiswa pemrakarsa Simposium dan Muktamar Cendekiawan Muslim di Malang. Dawam, Imanuddin dkk, adalah delegasi yang datang menemui BJ Habibie di ruang kerjanya di Jalan Thamrin untuk meyakinkan BJ Habibie agar bersedia menjadi Ketua Umum ICMI yang akan diputuskan dalam muktamar tersebut.
Setelah ICMI terbentuk, sejumlah kalangan menghendaki agar dalam struktur ICMI, Ketua Umum didampingi oleh seorang Sekretaris Jenderal dan calon sekjen tersebut adalah Dawam Rahardjo. Pak Habibie yang telah diberikan hak penuh menjadi ketua formatur menyusun pengurus, berpendapat lain. Karena saat awal ICMI berdiri , ICMI berhadapan dengan penuh tantangan, polemik dan pro dan kontra . Bahkan beberapa anggota Kabinet Pembangunan yang tidak senang atas kehadiran ICMI. Karena ICMI harus segera membuat terobosan dalam perjalanan “long march” yang tidak ada batasnya untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan dan umat Islam yang berada di depan. Maka BJ Habibie menempuh jalan praktis. Ia memilih didampingi seorang birokrat dan administrator berpengalaman, untuk segera melaksanakan roda administrasi. Wardiman Djojonegoro yang menjadi deputi di BPPT dipilih sebagai sekretaris pelaksana. Struktur organisasi dengan seorang Sekjen tidak dipakai, gantinya adalah sekretaris pelaksana. Kalangan yang menghendaki Dawam menjadi Sekjen kecewa, tetapi Dawam hanya melampiaskan dengan menulis artikel bernada satire “Jika saya menjadi Sekjen ICMI”. Tidak berapa lama, dalam sebuah pertemuan ICMI, BJ Habibie dan Dawam Raharjo berpelukan erat, pipi dan pipi beradu dengan senyum, diabadikan beberapa orang wartawan. Posisi Dawam Rahardjo di ICMI akhirnya sebagai Dewan Pakar. Sebuah jabatan terhormat dalam kepengurusan saat itu. Persoalan sekjen dan sekretrais pelaksana selesai. Belakangan Dawam sendiri mengakui bahwa “kelompok birokrat yang bergabung di ICMI, malah mempekuat ICMI”.
Pada tahun 1992, saya kembali intens bertemu Dawam Rahardjo ketika Hr. Republika akan didirikan oleh ICMI. Saya waktu itu berada dalam seksi pengurusn SIUPP dalam persiapan penerbitan Republika. Rapat-rapat rutin diadakan di ruangan rapat Wardiman Djojonegoro, sekretaris pelaksana ICMI dan koordinator persiapan penerbitan Harian Republika. Dawam Rahardjo duduk pada bidang redaksi bersama antara lain Parni Hadi, Adi Sasono. Pada awalnya calon pemimpin redaksi yang mencuat di kalangan ICMI adalah Dawam Rahardjo dan ia pun sudah menyatakan kesediannya. Namun menurut Anif Punto Utomo dalam buku “17 Tahun Republika Melintas Zaman”. Dalam satu kesempatan, tim koran yang dipimpin oleh Wardiman Djojonegoro berangkat dari BPPT menuju ke kantor Deppen. Dalam rombongan itu selain Dawam Raharjo ada pula Amin Aziz, Sutjipto Wirosardjono, Parni Hadi, dan Yayan Sofyan. Setelah basa basi, Harmoko langsung berkomentar tentang pemimpin redaksi di koran yang akan terbit ini. “Saya rasa Pak Dawam kok kurang cocok. Koran itu bukan hanya harus dipelototi dari pagi sampai malam, tapi juga ngurus sirkulasi, iklan. Pak Dawam membesarkan Ulumul Qu’ran saja, nanti kita bantu,” kata Harmoko. Ucapan Harmoko itu merupakan isyarat bahwa Dawam tidak diizinkan menjadi pemimpin redaksi. Tidak dijelaskan alasan detailnya, tapi barangkali karena selama ini Dawam sebagai orang yang aktif di LSM dinilai terlalu kritis terhadap pemerintah. Dan di zaman Orde Baru, orang kritis tidak boleh diberi tempat yang leluasa untuk menyalurkan kekritisannya.
Maka gagallah Dawam Rahardjo menjadi calon pemimpin redaksi. Setelah Republika terbit dan saya menggantikan Parni Hadi jadi pemimpin redaksi (1997) Dawan Rahardjo masih dalam posisi Anggota Dewan Redaksi. Setiap rapat Dewan Redaksi pada hari Jumat, Dawam Rahardjo rajin hadir. Ia selalu memberikan pandangan yang kritis pada pemberitaan Republika seminggu terakhir. Satu hal yang tidak saya lupakan, ketika ia mengatakan “tidak ada satu pun tulisan yang telah dipublikasikan di Republika, bisa saya klipping”. Artinya, tidak berita dan artikel Republika yang menarik baginya. Lawan debat satu-satunya Dawam dalam rapat Dewan Redaksi Republika adalah Adi Sasono. Anggota lainnya kebanyakan mendengar jika Dawam berbicara. Setelah rapat dewan redaksi, saat akan makan siang dan kami memilih menu, Dawam selalu minta nasi uduk favoritnya dengan lauk daging empal. Tidak semua yang hadir senang dengan nasi uduk, namun akhirnya mereka ikut memesan nasi uduk. Secara rutin Dawam juga menulis Analisis Ekonomi sekali seminggu. Walaupun dalam kesibukannya ia selalu membuat redaktur pelaksana gelisah, karena Dawam selalu menyerahkan analisisnya lewat tenggat waktu pemasukan naskah
Tahun 2000-an,pada suatu acara tujuh belas agustusan di The Habibie Center, kami mengadakan pembacaan puisi dengan semangat kemerdekaan. Saya tahu Dawam penyair dan pecinta puisi. Saya telpon Dawam dan setelah berbincang tentang sastra dan puisi, saya mengundang dia untuk turut mengisi acara tersebut dengan kawan-kawan seniman penyair lainnya antara lain; Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Ahmadun Y Herfada, Jose Rizal Manua, Biru Langit. Dawam sangat tertarik dan minta disediakan puisi untuk dibaca. Dan benar, Dawam datang dan semangat membacakan puisi yang disediakan. Seingat saya, itulah terakhir kalinya Dawam datang ke kantor The Habibie Center.
Walaupun tidak selamanya sepakat dengan pendirian BJ Habibie dalam ICMI, hubungan Dawam dengan BJ Habibie selama ini tetap baik. Ia pernah membuat tulisan mengenai Habibie sebagai salah seorang diaspora Bugis Makassar yang berhasil. Tulisan panjang lainnya yang sangat menarik mengenai “Strategi Pembangunan Habibie” dari pandangan seorang ekonom. Ia sangat setuju strategi pembangunan yang digagas BJ Habibie, Dawam memberikan apresiasi pada gagasan tsb. Ketika naskah itu saya minta agar kami muat kembali pada Jurnal terbitan The Habibie Center, ia setuju. Saya katakan kami akan sediakan imbalan yang pantas. Ia segera menjawab, “Baguslah, saya memang perlu uang sekarang jawabnya”.
Kini kawan kita M. Dawam Rahardjo telah tiada. Selamat jalan kawan, kau hanya mendahului kami.
Andi Makmur Makka
The Habibie Center