Berbicara mengenai kosa kata “saudagar”, saya teringat buku karangan William Shakespeare “The Merchant of Venice” yang diterjemahkan menjadi “Saudagar dari Venesia” oleh sk.dt. Pamoencak pada tahun 50-an. Sebuah roman yang menarik tentang seorang Yahudi serakah. Kalau kita membuka kamus besar Bahasa Indonesia, kosakata saudagar artinya “orang yang memperdagangkan sesuatu dalam jumlah besar; pedagang besar. Atau mungkin bisa diartikan, mereka yang berdagang bukan lagi barang klontongan dan barang-barang seperti di pasar kaki lima.
Kosa kata “saudagar” sebenarnya hampir hilang dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia dan digantikan dengan kosa kata yang hampir sama artinya, seperti: “pedagang’, “pengusaha”, “pebisnis”, “wirasaswata”. Karena itu, sangatlah dihargai kosa kata “saudagar” dipakai lagi dalam pertemuan tahunan saudagar Bugis-Makassar ini.
Perhelatan “Pertemuan Saudagar Bugis Makassar” yang memakai kosakata “saudagar”, mengingatkan saya dengan suasana dunia bisnis di Sulawesi Selatan selepas kemerdekaan sampai tahun 50-an. Pada masa itu, para pelaku usaha besar, masih sering di sebut sebagai “saudagar”. Sebelumnya, aktivitas usaha orang-orang lokal di daerah Bugis disebut “pakkampilo” atau penjaja keliling, selain mereka yang berkiprah dalam usaha pelayaran rakyat, grosir-grosir hasil bumi untuk diantarpulaukan, begitu pula dengan hasil hutan. Tokoh saudagar yang tenar waktu itu, misalnya: Najamuddin Daeng Malewa sebelum menjadi Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT), Syamsuddin Daeng Mangawing, Andi Ronda dari group Maskapai Kapal Sulawesi Selatan (MKSS) lalu berobah menjadi perusahaan pelayaran Sulawesi Selatan (PPSS), Haji Lala, Haji Mattalitti, Haji Yahya, Nonci Beddu (Nobed), Muhammadong, Arsyad dan beberapa nama saudagar yang dikenal tahun 50-an. Mereka itulah yang dikenal kelompok saudagar dari etnis Bugis Makassar. Beberapa perusahaan yang mereka dirikan, ada yang bertahan sampai 70-an. Tetapi dengan berbagai masalah manajemen, usaha kaum saudagar ini perlahan hilang ditelan waktu.
Pada masa orde lama dan orde baru, sebagaimana layaknya bangsa yang baru merdeka dan berkembang, pemerintah menganut strategi pembangunan “growth strategy” (W.Rostow), strategi pertumbuhan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar mungkin. Strategi ini mengutamakan “big push” dengan perlunya investasi skala besar dalam bidang industri untuk peningkatan pangsa pasar. Negara lain yang melaksanakan strategi ini (Pakistan-Korsel, dll) memang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Indikator ekonomi GNP (gross national product) negara itu melonjak. Di Indonesia, yang awalnya menganut strategi ini, telah menghasilkan industri dan jasa skala besar yang hanya bisa dinikmati oleh pemodal besar atau penanaman modal asing. Kelompok pengusaha lain (umumnya warga asli Indonesia) tidak bisa memanfaatkan kesempataan ini dalam negerinya sendiri. Konsolidasi politik dalam negeri yang memerlukan stabilitas politik, menciptakan penguasa yang totaliter, melengkapi diskriminalisasi dalam kebijakan politik-ekonomi dalam negeri. Dari sini kemudian lahirlah pengusaha-pengusaha besar tetapi dimonopoli oleh warganegara keturunan yang dijuluki “taipan”. Bahkan sekarang turunannya terkenal “9 taipan” yang menguasai lapangan usaha di indonesia dari hilir ke hulu.
Strategi pembangunan seperti yang ikut dianut oleh Indonesia ini, mengakibatkan kepincangan dalam ekonomi dan mendapat kritikan dan reaksi dari sejumlah pemikir ekonomi pembangunan. Bahwa kebijakan ekonomi seperti ini tidak adil, karena tidak memberikan “trickle down effects”. Kue hasil pembangunan hanya dinikmati oleh sekelompok kecil orang yang kaya dan mereka yang miskin makin miskin. Tidak ada pembagian pendapatan yang merata dan hilangnya kesempatan kerja bagi masyarakat banyak.
Koreksi atas strategi pertumbuhan menyatakan bahwa perhatian pembangunan, tidaklah semata-mata ditujukan pada kemajuan ekonomi-sosial negara “an sich”, tetapi perlunya pembangunan, yang berorietasi pada “keadilan dan pemerataan”. Strategi pembangunan seperti ini kembali dianut oleh sejumlah negara–negera yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Hal ini telah diantisipasi oleh Presiden Soeharto dengan “trilogi pembangunan”, dengan mencanangkan: stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Pada masa orde baru, memang pertumbuhan ekonomi Indonesia pernah mencatat rata-rata 7,8% pertahun. Tetapi dalam hal keadilan dan pemerataan, masih terjadi ketimpangan (inequality), bahkan pada tahun 1976, terjadi ketimpangan yang sangat mencolok. Itu terjadi karena kita hanya mengacu pada indikator ekonomi. Belum menyentuh aspek social, yaitu keadilan dan pemerataan dalam pembangunan.
Pada kesempatan inilah, kita mengharap kepada “saudagar-saudagar” Bugis-Makassar, agar pertemuan tahunan ini, jangan hanya terbatas pada usaha memperkuat sinergi internal untuk pertumbuhan usaha antar saudagar Bugis-Makassar. Strategi pertumbuhan ekonomi telah menyisakan ketimpangan pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. kita terpanggil, untuk mengiring motivasi pertemuan ini, juga tertuju untuk memikirkan pembentukan manusia-manusia entrepreneaur lain, supaya terjadi “trickle down effects”, dalam membentuk manusia pembangunan. Lahirkan pemikiran-pemikiran dalam hal, bagaimana meningkatkan rendahnya produktivitas rata-rata para penduduk, bagaimana membuka lapangan kerja. Karena tanpa masuknya pekerja asing, seperti yang terjadi akhir-akhir ini, banyak pencari kerja yang masih merintih mencari kerja hanya untuk sesuap nasi. Membuka lapangan kerja sama bagi saudara-saudara kita, akan meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengikis masalah kemiskinan dan kemelaratan absulut. Percuma pembangunan infrastruktur fisik jika tidak diimbangi pembangunan software; “manusia indonesia”. Selamat berdiskusi para saudagar-saudagar Bugis-Makassar!
Andi Makmur Makka
Pengurus The Habibie Centre