SUMBA, PIJARNEWS. COM–Daerah yang Terluar, Terdepan dan Tertinggal (3T) menjadi tantangan berat khususnya pembangunan bidang pendidikan.
Misalnya sekolah belum teraliri listrik, letaknya jauh dari kampung penduduk, belum terkoneksi internet atau jaringan telepon. Tapi semua tantangan seperti itu tidak menyurutkan para guru yang berkiprah di daerah seperti itu tetap konsisten menerapkan pembelajaran modern yang menyenangkan, mampu menumbuhkan rasa percaya diri siswa, mampu bekerja sama dalam tim, dan kritis. Model pembelajaran yang dikenal dengan nama pembelajaran aktif. Hal tersebut diutarakan Sarvina Mbali Rima, sejak tahun 2004 mengabdi sebagai guru honorer kelas satu di SD Kadahang, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Salah satu kabupaten terluar, terdepan dan juga dinilai tertinggal.
“Berkat penerapan pembelajaran aktif, kini anak-anak bertambah berani. Mereka berebutan untuk maju ke depan menjawab pertanyaan atau presentasi kecil-kecilan. Tidak seperti dahulu saat saya mengajar dengan metode kebanyakan ceramah. Mereka pemalu, takut-takut dan jarang berani yang maju,” ujar Risma kepada pijarnews via WA, Senin ,16 September 2018.
Ia menerapkan cara baru dalam mengajar anak-anak berbahasa ibu Bahasa Kapunduk tersebut. Satu jam pelajaran pertama menggunakan bahasa ibu dan ketika anak sudah paham dengan materi, baru pada jam kedua mengulangi kembali pelajaran dengan Bahasa Indonesia. Metode baru tersebut, terbukti efektif membuat siswa menyerap pelajaran lebih baik.
Sementara itu, di Sumba Barat Daya, Heronima Gole Rere, guru kelas dua yang mengabdi sebagai honorer sejak tahun 2011 di SDN Potogena, juga aktif menggunakan pendekatan pembelajaran aktif yang menyenangkan dalam menunjang kemampuan literasi anak.
Sekolahnya terletak di padang savana yang jauh dari kampung sekitarnya. Gajinya yang kecil yang cuma Rp200 ribu sebulan tak pernah menyulutkan dirinya berkorban berangkat mengajar walau kadang harus berjalan dua kilo meter untuk pergi ke sekolah.
Menurutnya, berkat pembelajaran aktif dia menjadi tahu memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar. Misalnya, bagaimana menjadikan binatang-binatang ternak seperti kambing dan babi yang sering menerabas masuk ke sekolahnya menjadi sumber belajar.
Awalnya kehadiran binatang-binatang tersebut dia rasa amat mengganggu. Tapi kini, memudahkannya mengajar anak-anak untuk mengenal kosa kata. Para siswa diajak untuk mengamati binatang-binatang tersebut sambil belajar menuliskan nama-namanya dan anggota tubuhnya. Dengan cara langsung bersentuhan dengan objek, para siswa ternyata lebih senang belajar dan dua kali lipat lebih cepat menguasai suku kata dan kata.
Ini adalah sekelumit contoh-contoh para guru di daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal yang saat ini mulai mengenal cara mengajar menggunakan metode pembelajaran aktif berkat hadirnya program Inovasi di daerah tersebut. Program pendidikan kerja sama antara Kemendikbud, Kemenag, Pemerintah Australia dan pemerintah setempat yang telah dijalankan semenjak awal tahun 2018 ini telah banyak mengubah cara guru mengajar dan cara pandang guru terhadap profesi mereka.
“Kalau kemarin saya mengajar sesuai apa yang terdapat di pikiran saja. Tanpa persiapan, tanpa perencanaan. Bahkan saya sering menyalahkan anak kalau tidak bisa menjawab. Ternyata sumbernya saya sadari sekarang karena kesalahan guru yang kurang menguasai metode mengajar,” ujar Heronima.
Mereka berdua juga tampil pada acara Diskusi Temu Inovasi yang digelar di Jakarta hari Kamis lalu, 13 September 2018.
*Butuh Dukungan Kebijakan Pemerintah
Agar pembelajaran aktif ini berjalan baik, maka dibutuhkan media pembelajaran sebagai media diskusi dan belajar. Servina tidak hanya mengandalkan buku paket yang diterbitkan Kemendikbud. Menggunakan media buatan sendiri yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai bisa lebih sesuai konteks daerah dan lebih mampu membuat siswa terlibat.
“Kalau menggunakan buku paket terus menerus, pembelajarannya menjadi membosankan bagi siswa, tidak lagi menyenangkan. Jadi kita harus kreatif membuat media belajar sendiri,” ujar Sarvina.
Menurut Sarvina, karena harus sering harus menggunakan media pembelajaran, dukungan pemerintah sangat dibutuhkan. “Efek model pembelajaran ini sangat kentara. Namun model ini juga butuh lebih banyak pendanaan terutama untuk membuat alat peraga, media pembelajaran dan hasil karya siswa,” ujarnya.
Sebenarnya ia sering membuat sendiri dari bahan-bahan bekas seperti kardus dan sebagainya, namun sering kali tetap butuh alat tulis menulis seperti spidol, kertas plano, kertas post it dan lain-lain.
Yohanna Lingu Lango, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sumba Barat Daya sangat mendukung realokasi dana APBD untuk pembelajaran yang menurutnya saat ini lebih banyak digunakan untuk manajemen.
Ia juga sangat mendukung program Inovasi ini didiseminasi ke sekolah-sekolah lain.
“Model ini telah memberikan harapan pada kami, bahwa ketertinggalan, kemiskinan dan keterbatasan yang kerap menjadi isu besar di daerah ini, bukan penghalang bagi guru-guru untuk memunculkan ide-ide kreatifnya dalam mengajar di sekolah. Kami akan mendiseminasikan ke 333 guru SD lainnya dengan memakai dana APBD,” jelas Yohanna.
Umbu Lili Pekuwali, Bupati Sumba Timur, menyatakan bahwa saat ini FPPS (Forum Perduli Pendidikan Sumba) tengah menyiapkan rapat Steering Committee program Inovasi yang rencananya dilaksanakan di Waingapu, 20 September 2018 mendatang. Dalam kegiatan tersebut, Umbu Lili akan meminta dukungan dari seluruh pemangku kepentingan se daratan Sumba agar program Inovasi terus berlanjut di Sumba. (*)
Editor: Dian Muhtadiah Hamna