SIDRAP, PIJARNEWS.COM — Berkebun cengkeh menjadi penghasilan utama masyarakat Dusun Pasangridi, Desa Leppangeng, Kecamatan Pitu Riase Kabupaten Sidrap. Namun berkebun cengkeh ini hanya bisa dinikmati setiap satu kali setahun.
Masyarakat di desa yang berjarak sekitar 90 kilometer dari ibu Kota Kabupaten Sidrap ini harus mencari pekerjaan alternatif. Salah satu pekerjaan alternatif yang dilakoni masyarakat Desa Leppangeng khususnya di Dusun Pasangridi adalah membuat gula merah.
Gula merah yang dibuat ini bahan dasarnya adalah tuak dari pohon enau. Saat berkunjung ke Dusun Pasangridi ini, rombongan Sekretaris Kecamatan Pitu Riase, Jemmy Harun bersama seorang kepala seksinya, menyempatkan diri mengikuti proses pembuatan gula merah tersebut.
Pagi-pagi sekali Jemmy dan bersama salah seorang kepala seksinya mengikuti salah seorang warga pembuat gula merah, Saripi. Jam masih menunjukkan pukul 06.35 wita saat mengikuti Saripi.
Berjalan sekitar 50 meter dari jalan utama Saripi terlihat mendekati sebuah pohon enau yang pertengahan barangnya terlihat sangat bersih. Dari dalam batang keluar buah berbentuk butir dengan gagang bulat yang terlihat kokoh. Pada bagian lain terlihat gagang buah yang sudah terpotong. Pada bagian ujung terlihat jerjen nenempel dan diikat agar tidak terjatuh. Pada permukaan lubang jerjen yang dibuat lebih lebar terlihat sengaja ditutupi ijuk yang diambil dari batang pohon enau itu sendiri.
Pada bagian batang terlihat tangga dari bambu yang bagian ujungnya persis berada pada bagian dimana jerjen tadi menempel. Perlahan Saripi menghampiri batang pohon enau tersebut. Persis di depan tangga Saripi tidak langsung naik. Ada semacam kulit kayu yang ia pukul-pukul dengan parang untuk selanjutnya kulit kayu tersebut dimasukkan ke dalam jerjen kosong yang selanjutnya ia tenteng memanjat pohon enau melalui tangga yang sudah ia buat.
Persis di batang tempat jerjen bergantung, Saripi berhenti. Perlahan ia melepas jerjen tersebut kemudian dikaitkan di tangga agar tidak terjatuh. Selanjutnya Saripi mengeluarkan parangnya dan kengiris ujung gagang buah tempat jerjen tadi beberapa kali irisan. Kemudian jerjen kosong yang ia bawa dipasang persis seperti pemasangan jerjen sebelumnya.
Setelah memperbaiki ikatannya dan memastikan bahwa jerjen tersebut tidak akan jatuh meski penuh air tuak, Saripi selanjutnya menuruni tangga secara perlahan sambil menentang jerjen yang sudah penuh dengan tuak manis tersebut.
“Jerjen ini saya pasang kemarin sore. Sekarang sudah hampir penuh sehingga kita ganti lagi dengan jerjen yang kosong. Pergantiannya memang setiap pagi dan sore setiap harinya,” ungkap Saripi dalam bahasa setempat. Masyarakat setempat menggunakan bahasa daerah menyerupai bahasa Enrekang.
Air tuak yang sudah diambil tadi dari pohon enau oleh Saripi selanjutnya dibawah pulang untuk dimasak. Saat penulis mengikuti Saripi, ternyata tuak tersebut bukannya dibawah pulang ke rumahnya, melainkan ke sebuah gubuk-gubuk kecil di tengah kebun tidak jauh dari pemukiman warga.
Lokasinya berjarak sekitar 700 meter dari rumah Saripi. Tidak ada perumahan didekat tempat memasak tuak ini. Untuk menuju gubuk tempat memasak tuak ini harus menelusuri jalan setapak yang menurun. Penulis sempat terjatuh saat menuruni jalan setapak ini. Untungnya lokasi terjatuh dipenuhi rumput yang lebat dengan tekstur tanah yang lembek sehingga terasa jatuh di atas matras.
Sampai di gubuk tempat memasak tuak ini, terlihat sebuah tungku besar yang sudah disiapkan. Di bagian luar gubuk terlihat tumpukan kayu bakar. Dalam gubuk terdapat balai-balai kecil tempat menyimpan gula merah yang sudah masak dan alat cetakan gula merah. “Sengaja kita bikin tempat masak gula jauh dari pemukiman untuk mengantisipasi kebakaran. Karena memasak gula merah itu apinya harus menyala terus. Artinya kita tidak bisa terus berada disamping tungku. Sesekali Kita hanya kenyalakan api kemudian kita tinggalkan sejenak, “jelas Saripi.
Diperlukan waktu beberapa jam agar tuak manis tadi bisa berubah wujud menjadi gula merah.” Biasanya setelah dimasak terus menerus dari pagi, biasanya setelah shalat Duhur sudah bisa kita cetak menjadi gula merah,” lanjutnya.
Gula merah hasil kerjajinan tangan Saripi dan masyarakat setempat umumnya berbentuk segi empat. Tidak ubahnya seperti batu bata di belah dua. Dalam sehari, Saripi mampu membuat 2 sampai 5 ikat. Dalam satu ikat berisi 10 biji.” Biasanya kalau lagi mujur, terutama saat pengambilan tuak masih Awal-awal setiap pohonnya masih bisa kita dapat sampai 5 ikat, tapi kalau sudah lama biasanya airnya juga sudah mulai berkurang makanya kadang sisa 2 atau 3 ikat saja,” terang Saripi.
Harga jual untuk satu ikat lanjut Saripi biasanya dihargai oleh pedagang sekitar 50 sampai 55 ribu perikat.
Sekcam Pitu Riase, Jemmy Harun mengaku kagum dengan kreatifitas yang ditunjukkan masyarakat di Dusun Pasangridi Desa Leppangeng tersebut. “Saya bangga dengan hasil bumi dan hasil kreatifitas warga setempat. Memang perlu perhatian pemerintah agar akses jalan kesini bisa semakin bagus. Tapi memang harus bertahap. Sekarang sudah pengerasan, semoga ke depan bisa di beton,” tandasnya. (*)
Citizen Report : Hamzah
Editor : Alfiansyah Anwar