OPINI, PIJARNEWS.COM — Beberapa waktu yang lalu, penulis bertemu dengan seorang anak yang putus sekolah. Sewaktu penulis bertanya kenapa adek tidak sekolah. Dia menjawab bahwa sekolah tidak menjamin kesuksesan, bos tempatnya bekerja sebagai buruh hanyalah tamatan SD, namun sekarang mampu mempekerjakan puluhan sarjana. Bahkan, kakaknya yang serjana justru hari ini belum bekerja.
Anak ini hanyalah salah satu diantara puluhan anak yang bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik penggilingan roti dipinggiran Kota Makassar. Mereka semua tidak bersekolah, dan menganggap sekolah hanya membuang-buang waktu dan uang. Lebih baik sejak dini bekerja dan berharap suatu saat bisa bernasib seperti Menteri Susi yang hanya tamatan SMP namun bisa menjadi Menteri.
Sebagai anak-anak, apa yang mereka sampaikan tentu diluar kesadaran mereka sendiri. Ibarat seekor burung Beo, mereka hanya mengulang-ulangi apa yang mereka dengar dari orang tua, keluarga, tetangga dan teman sebaya dilingkungan mereka.
Mengutip Lacan, anak ini hanyalah cermin yang memantulkan setiap bayang yang mereka serap dari lingkungannya.
Sangat sulit membayangkan seorang anak yang memiliki hak untuk belajar dan diajar memiliki konsep diri yang ditanamkan kepada mereka, bahwa sekolah saat ini tidak menjamin kesuksesan dimasa depan. Dengan mengambil contoh langsung kepada realitas seorang pejabat tinggi di Negeri ini bisa sangat sukses namun hanya berbekal ijasah SMP.
Dengan paradigma seperti ini, maka wajar saja jika program pendidikan gratis yang menjadi “jualan” andalan pemerintah gagal terlaksana di tingkat masyarakat kelas bawah. Pendidikan atau sekolah gratis justru hanya dinikmati oleh masyarakat kelas menengah. Nampaknya, aparat pemerintah harus lebih sering turun langsung ke masyarakat untuk mengukur kesuksesan program pendidikan gratisnya.
Sebagai pemerhati masyarakat tentu perubahan paradigma masyarakat terkait pendidikan ini harus diperhatikan. Karena jika konsep tentang pendidikan tidak menjamin kesuksesan seseorang telah mengakar kuat dalam alam bawah sadar seorang anak, maka motivasi anak tersebut untuk bersekolah akan hilang sama sekali seperti yang terjadi terhadap anak yang disebut diatas.
Nampaknya, Penjelasan Sigmound Freud mengenai Konsep Fiksasi menjadi relevan untuk didikusikan. Freud Mengatakan bahwa Fiksasi adalah hambatan kejiwaan yang dialami oleh seseorang ketika dia sangat mengingikan sesuatu, tapi tidak bisa dipenuhi. Ketika keinginan tersebut tidak terpenuhi maka akan terjadi stress, depresi yang berujung pada kegilaan. Namun, manusia memiliki mekanisme pertahanan diri yang dapat mencegah dari kegilaan. Yaitu melahirkan sejumlah konsep-konsep baru yang menjadi antithesis dari keinginanan yang tidak dapat terpenuhi tersebut.
“Sekolah tidak menjamin kesuksesan” merupakan gagasan baru yang lahir dari ketidak mampuan sesorang untuk mengakses dunia pendidikan itu sendiri. Ketidak mampuan mengakses tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor. Dan faktor utama biasanya adalah terkendala biaya. Orang-orang yang tidak dapat mengakses pendidikan pun harus terpinggirkan dalam arti fisik maupun dalam arti dalam kehidupan sosial.
Berangkat dari penjelasan ini, maka kecendrungan untuk menyalahkan korban (blame the victim) seperti mengatakan bahwa orang miskin itu karena malas baik malas bekerja maupun malas disekolah harus ditiadakan. Karena pada dasarnya, konsep mereka tentang pendidikan tidak memberikan kesuksesan adalah gagasan yang lahir dari kondisi mereka atas ketidak mampuan mengakses sarana pendidikan itu sendiri.
Penulis.
Andi Faisal Mortheza.
Peneliti Muda Yayasan Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (YKMP) Sulsel.