OPINI, PIJARNEWS.COM — Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Pada penyelenggaraan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden 9 Juli 2014, tercatat ada 6.980 Panitia tingkat Kecamatan di dalam negeri dan 130 di luar negeri, 81.132 Desa/Kelurahan, 478.685 TPS di dalam negeri dan 498 TPS di Luar Negeri. Lebih dari 5 juta petugas dilibatkan dalam Penyelenggaran Pemilu.
Pada Pemilu 2019, jumlah pemilih di tiap TPS akan dikurangi dari sebelumnya maksimal 500 menjadi 300 pemilih, akan ada pertambahan TPS lebih dari 50 persen dan tentu saja akan mengakibatkan pertambahan personil penyelengara Ad Hoc.
Tugas–tugas dari para Badan Penyelenggara Ad Hoc ini begitu krusial sehingga diperlukan SDM yang berintegritas, berdedikasi, non partisan, dan cakap untuk mengerjakan tugas penyelenggaraan Pemilu ini, dan akan lebih baik jika memiliki nilai tambah dalam hal penampilan, ketokohan dan “good looking”.
Penyelenggaraan Pemilu 2019 berbeda dengan Pemilu sebelumnya karena Pemilihan DPR, DPD, DPRD serta Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan serentak pada hari yang sama yaitu Rabu 17 April 2019, tingkat kerumitannya meningkat karena surat suara yang bertambah. Disamping kenaikan jumlah Parpol peserta Pemilu, diperkirakan akan ada 1 milyar surat suara yang dipersiapkan untuk Pemilu 2019. Berkaca pada penyelenggaraan Pemilu di 2014, pada beberapa daerah, proses perhitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada pemilu legislatif bisa melewati hari H penyelenggaraan, apalagi dengan bertambahnya surat suara Presiden/Wakil Presiden yang kemungkinan akan mendapat prioritas lebih dahulu untuk dihitung akan menyita waktu yang tidak sedikit. Di daerah tertentu Pemilu bahkan harus diulang karena ada dugaan pelanggaran.
Tahapan Penyelenggaraan Pemilu mulai dari sosialisasi, pengadaan logistik, pendistribusian sampai kepada mengembalikan logistik sebagai Dokumen/Arsip/ Bukti Fisik akan menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi Penyelenggara Pemilu dan Pemangku Kepentingan.
UUD NRI 1945 menyebut bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga yang tetap dan mandiri sebagai penyelenggara Pemilu, di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan bahwa KPU dibentuk sampai ke tingkat Kabupaten/Kota, pada tingkatan kecamatan, Desa, Dusun dan TPS, petugas yang mengerjakan tugas-tugas kepemiluan adalah Badan Penyelenggara Ad Hoc yang sifatnya tidak menetap.
Republik Indonesia, negara yang kita banggakan, jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia (Tiongkok yang berpenduduk terbesar bukanlah negara demokrasi, dan Presidennya bisa seumur hidup) dimana Pemerintahan tertinggi ada di tangan rakyat, rakyat berhak menentukan pilihan politiknya, pilihan hidupnya dan Hak Azasinya dan semuanya itu diatur di dalam dasar negara Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah instrumen perwujudan supremasi kedaulatan rakyat. Perwakilan rakyat dan pemerintahan dari tingkat pusat (Presiden/Wakil Presiden) sampai tingkat terendah (Desa) dipilih melalui sarana Pemilihan Umum yaitu :
1. Pemilu untuk Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD;
2. Pilkada untuk Gubernur, Bupati, Walikota dan wakil-wakilnya;
3. Pilkades untuk Kepala Desa atau sebutan lainnya.
Olehnya itu sebaiknya KPU memikirkan agar Badan Penyelenggara Ad Hoc ini di bentuk bukan hanya untuk Pemilu 2019, akan tetapi juga menjadi penyelenggara Pilkada dan Pilkades. Ini demi efesiensi anggaran dan tenaga karena pada hakikatnya teknis pemilihannya sama.
Sekarang ini hampir setiap ada Pilkada dan Pilkades serentak di daerah KPU dan Pemerintah Kabupaten harus disibukkan untuk membentuk ulang Badan Penyelenggara Ad Hoc. Salah satu contoh dalam Pilkades Serentak 2018 lalu di Kabupaten Soppeng, alangkah baiknya jika penyelenggara ditingkat PPS juga bertindak sebagai PPKD karena tugas dan fungsinya sama.
Namun tentunya perlu ada kordinasi lintas sektor antara Pemerintah Daerah dan KPU Kabupaten untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi aturan perundang-undangan terkait pemilihan kepala desa.
Tingkat keberhasilan suatu penyelenggaraan Pemilihan adalah besarnya partisipasi dari pemilih Hak Pilih, walaupun tidak memilih (Golput) adalah hak demokrasi, tetapi tingkat Partisipasi Pemilih adalah salah satu indikator keberhasilan Penyelenggaraan Pemilu.
Di dalam penyelenggaraannya, dibutuhkan petugas untuk mengerjakan tugas-tugas terkait Pemilihan dimaksud mulai dari tingkat Pusat sampai dengan daerah, hal-hal yang berkaitan langsung dengan Pemilih seperti Pendataan Daftar Pemilih, penyampaian undangan memilih sampai pada saat pengggunaan hak pilih di Tempat Pemungutan Suara, dilakukan oleh Badan Penyelenggara ad hoc yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) ditambah dengan Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih) dan Relawan.
Merekalah yang bersentuhan langsung dengan sasaran Pemilu yaitu rakyat sebagai pemilik Hak Suara, hanya dalam beberapa elemen saja, KPU sebagai penyelenggara yang bersifat tetap bersentuhan langsung dengan masyarakat sebagai Pemilik Hak Pilih seperti sosialisasi, Forum Diskusi dan interaksi sosial formal dan informal di media mainstream dan media sosial.
Melihat pada porsi pekerjaannya, Badan Penyelenggara Ad Hoc lah yang menjadi ujung tombak penyelenggaraan Pemilu, celah terjadinya kecurangan Pemilu ada di tingkat TPS, sehingga tentu dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni untuk mengerjakan tugas-tugas kepemiluan. Tidak hanya sekedar cakap, tetapi juga harus rajin, bersedia bekerja penuh waktu, berdedikasi dan memiliki integritas.
Rekrutmen PPK, PPS dan KPPS yang benar akan menghasilkan penyelenggara Ad Hoc Pemilu yang berkualitas, terhitung pada tanggal 7 Maret 2018 yang lalu, KPU Kabupaten/Kota selesai merekrut PPK dan PPS, namun masih banyak kritikan dari hasil rekrutmen PPK dan PPS tersebut khususnya terkait banyaknya ASN dalam hal ini Guru yang diakomodir menjadi PPK dan PPS.
Padahal jika kita melihat tingkat partisipasi pendaftar masih banyak kalangan dari tokoh pemuda yang lebih potensial dibandingkan dengan mengakomodir ASN/Guru yang mempunyai beban kerja yang cukup tinggi di Sekolahnya.
Selanjutnya perekrutan KPPS, dibutuhkan ketelitian dan pola rekrutmen yang mendasarkan kebutuhan untuk mendapatkan SDM yang tepat pada penyelenggaraan Pemilu kali ini, disamping persyaratan dasar yang telah ditetapkan oleh UU, perlu dilihat tingkat partisipasi dan motivasi dari calon-calon anggota KPPS, ada diantaranya yang sedang menganggur dan membutuhkan pekerjaan sehingga menganggap sebagai profesi saja, ada yang merupakan titipan caleg tertentu, ada yang sudah memiliki pekerjaan dan menganggap hal ini sebagai pengabdian atau aktualisasi diri, ada menjadi KPPS karena keterbatasan SDM di daerahnya.
Tantangan lainnya adalah kondisi sosial, rentan gratifikasi, ketidaknetralan, mengatasi konflik di TPS serta tanggung jawab, terkadang Bimtek yang dilakukan KPU tidak cukup untuk membekali para penyelenggara Ad Hoc, apalagi rekrutmen KPPS baru dilakukan 70 hari sebelum pelaksanaan Pemilu 2019, sehingga rekrutmen yang benar di awal akan menghasilkan para Penyelenggara Ad Hoc yang tepat dan berdedikasi untuk keberhasilan Pemilu 2019.
Terkadang faktor non teknis seperti penampilan dan kesan “good looking” akan menjadi nilai tambah bagi para penyelenggara, menempatkan orang yang mudah senyum pada bagian pendataan pemilih dan front line di TPS akan meningkatkan partisipasi Pemilih yang menjadi salah satu parameter dalam menentukan keberhasilan Pemilu. (*)
Penulis : Rusdianto Sudirman, S.H, M.H
Pengamat/Pengajar Hukum Tata Negara IAIN Parepare (HP/WA 0811-4105-237)
__________________________________________________________________________________
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.