ESAI,- Mungkin ada sejenis hantu yang tinggal di sejumlah perpustakaan di kota saya, sampai-sampai istana buku itu selalu sepi pengunjung, lebih sering tertutup, rak buku-bukunya menjadi sarang laba-laba, atau paling tidak, pengelola perpustakaan memberi jam pelayanan sangat hemat.
Hantu, makhluk yang nongol tiba-tiba dengan pakaian putih, kehadirannya membuat bulu kuduk berdiri. Jenis dan bentuknya ada banyak. Ada yang bagian tubuhnya berlubang, ada yang berkaki dan bergigi panjang, juga ada yang sekadar ber-hi-hi-hi menebar ketakutan. Menyeramkan. Kata banyak orang, bangunan yang sering tak berpenghuni dan sunyi adalah markas hantu-hantu.
Entah hantu jenis mana yang tinggal di perpustakaan. Pocong, kuntilanak, sundel bolong, tuyul, pemustaka ngesot, si manis, hantu-hantu Karl Marx, hantu tender, pengelola dan satpam yang tidak ramah, semuanya punya kemungkinan ditakuti. Namun, saya berharap, hantu yang tinggal di perpustakaan tidak benar-benar ada. Sebab, ketakutan terhadap hantu perpustakaan berdampak jauh lebih buruk. Ia dapat menjauhkan kita dari buku. Jauh dari buku berarti memunggungi pengetahuan. Dan itu adalah pangkal kebodohan.
Kebodohan membuat kita mudah ditipu, dibohongi, dan dipaksa pasrah pada nasib. Orang-orang pandai gemar memanfaatkan hal itu untuk mencapai kepentingannya. Mereka memperalat kebodohan kita sebagai alat untuk menebar kebencian, menguasai hak-hak hidup, dan berlaku sewenang-wenang terhadap kekuasaan dan kepercayaan. Mereka leluasa mencekcoki kepala kita bahwa kebenaran hanya milik mereka.
Atau memberi iming-iming tentang kesejahteraan hidup. Walhasil, kita yang sesama bodoh akan lebih sering bertikai tentang isu-isu yang berabad-abad sebelumnya, telah pernah diselesaikan. Sedangkan lawan dari itu semua adalah menghasrati pengetahuan dengan membaca, membaca, membaca. Sayangnya, aktivitas membaca buku tidak banyak dilakukan oleh orang.
Perpustakaan laksana sumur. Sumber air keberlangsungan tumbuh kembangnya minat baca. Tempat orang-orang selalu haus akan pengetahuan. Kau tahu, membaca satu buku tidak akan menghapus haus, justru menambahnya. Para pelahap buku beranggapan, kalau perpustakaan memiliki koleksi buku yang baru, baik, layak, dan menarik adalah surga.
Umumnya, sebuah perpustakaan akan buka pada jam delapan pagi dan tutup jam lima sore. Di beberapa negara, kota, kampus, atau sekolah yang memiliki tingkat literasi yang cukup tinggi, jam buka-tutup perpustakaan mereka berimbang. Universitas Namur Belgia misalnya, membuka waktu pelayanan 24×24 jam. Sementara Universitas di Jepang memulai pelayanan pukul 08.00 hingga pukul 22.00. Serupa Jepang, 14 jam pelayanan juga dilakukan oleh Perpustakaan Daerah Kabupaten Enrekang.
Keadaan sejumlah perpustakaan di kota saya justru sebaliknya. Meskipun aturan tentang jadwal pelayanan ada, tetapi seperti siswa nakal, pengelola sering kali tidak mentaati itu. Belum lagi tatapan intimidasi para satpam, yang jauh lebih seram ketimbang bersobok kuntilanak.
Aktivitas membaca yang kurang dan pengelolaan perpustakaan yang buruk, kombinasi yang sempurna menuju kebodohan paripurna.
Saya cemas, jikalau kondisi demikian tetap dipertahankan, suatu saat hantu-hantu sungguh-sungguh menjadikan perpustakaan sebagai markasnya. Jadi, kita harus melakukan pembenahan, pencegahan, dan perlindungan sesegera mungkin. Tapi, oleh siapa? Bagaimana?
Saya pikir, sebagaimana lazimnya mengusir hantu, kita butuh perukiah. Yang perlu kita obati terlebih dahulu adalah kepekaan hati pemangku jabatan dan pegawai perpustakaan. Kalau hati mereka telah bersih, titik berangkat mereka adalah kepedulian. Dengan begitu, para pekerja lebih militan bekerja.
Langkah selanjutnya adalah menyusun program yang terarah pada penciptaaan kondisi akan kebutuhan bacaan dan habituasi. Guru atau dosen merupakan ujung tombak menciptakan hal tersebut. Di samping itu, partisipasi dari pegiat literasi non-pemerintah juga tidak kalah pentingnya dalam membentuk kebiasaan membaca.
Januari 2017, pemerintah kota saya, melalui Dinas Lingkungan Hidup Kota Parepare berniat membangun perpustakaan yang berlokasi di sebelah Taman Syariah. Proyek itu, bahkan telah dianggarkan sebesar Rp 850 juta. Ah, Parepare. Saya bersyukur, peletakan batu pertama bangunan itu belum terealisasi.
Bagi saya, ketimbang menambah kuburan buku, ada baiknya memaksimalkan perpustakaan yang telah ada. Sebagai pustakawan di sekolah dasar, saya punya dua tawaran:
Pertama, menambah koleksi buku. Ini penting. Sebab, rata-rata koleksi perpustakaan universitas di kota ini didominasi oleh skripsi. Sementara perpustakaan sekolah, koleksi bacaan anak-anak juga kurang memadai. Sekolah tempat saya mengabdi misalnya, hanya memiliki bacaan untuk anak-anak 184 judul dari 4400 buku.
Selanjutnya ialah penambahan dan peningkatan kualitas pegawai perpustakaan. Sejumlah perpustakaan, baik itu sekolah maupun universitas, rata-rata pengelola bukanlah jebolan akademisi perpustakaan, sudah tua dan bukan pecinta buku. Meskipun demikian, kita tetap perlu memahlawankan mereka.
Saya tahu, tidak banyak orang dapat bertahan berjam-jam berhadapan dengan buku setiap hari. Mendekatkan diri dan berintim-intim dengan buku, hingga mencintai perpustakaan adalah hak pribadi masing-masing individu. Akan tetapi, pengentasan kebodohan, menuju tujuan luhur negara mencerdaskan bangsa, adalah tanggung jawab pemerintah dan institusi pendidikan. Keseriusan ke arah itu dapat dinilai dari bagaimana suatu institusi merawat dan mengembangkan ilmu. Secara kasatmata dapat diukur, apakah keberadaan perpustakaan dianggap vital.
Kalau pemerintah dan institusi pendidikan tidak mampu memberi penanganan terhadap nasib perpustakaan, membiarkannya menjadi markas hantu-hantu, maka hanya ada satu kalimat bagi kalian pegiat literasi: ‘Sudah Waktunya Perpustakaan Kita Rebut!’.
Parepare, 2017.
Tulisan ini telah dimuat janang.id dan medium.com
Penulis:
Ilham Mustamin, menulis esai dan cerpen. Berdomisili di Parepare. Aktif di komunitas Parepare Menulis, Teater Kokoh, dan Bumi Manusia.