ESAI,- Jika ada tanya, “Apa yang paling ditakuti seorang penyair sebagai warga kota?” jawaban paling cepat -bisa jadi- ialah walikota yang rutin berdzikir tapi lupa membaca puisi.
Ini bukan soal jawab benar salah, hanya kegelisahan saya mengenai keberadaan penyair yang tersisih di kotanya. Ruang apresiasi puisi yang minim, dialog karya dan proses kreatif yang belum nampak dan institusi Dewan Kebudayaan dan Susastra Kota yang entah kenapa tidak terlihat gaungnya, sejak lama. Tri Astoto Kodarie penulis ‘Hujan Meminang Badai’ dan momentum hari puisi sedunia yang dirayakan setiap 21 Maret bisa jadi ruang indah membincangkannya, dari hati ke hati.
Puisi sangat mungkin menggerakkan sebuah masyarakat untuk menegaskan dan mendapatkan kembali identitasnya. Hal ini menjadi alas berpijak UNESCO di 1999 menggagas tahun puisi sedunia di Paris. Bagaimana dengan Parepare (atau di kota mu) yang rindu identitasnya sejak pertama. Di sinilah alasan mengidentifikasi para penyair di kota, adakah ia di garda terdepan menemui identitas kota?
Pada sebuah acara bertajuk SeruSeni, sebuah kegiatan mandiri, gotong royong, digagas dan diprakarsai Pak Sahran Himamaru dan kolega, di akhir tahun 2018 lalu, Tri Astoto Kodarie, sastrawan kelahiran Jakarta ini, mengajak semua elemen kota untuk melahirkan kantong-kantong budaya. Sebuah interpretasi maju berbasis kearifan lokal mengenai visi kota, smokeless industry city. Tetapi redup sebab ia bukan politisi bukan pengusaha, hanya seorang penyair.
Dan umumnya ajakan masyarakat untuk bergerak, sepi, gagasan kantong budaya pada akhrinya tenggelam oleh bising kota. Tak adanya institusi yang mapan dan membumi, misal dewan kesenian kota atau dermawan yang tak pamrih, menyebabkan wacana kantong-kantong budaya tak pernah lagi ada kabarnya. Beruntunglah Parepare memiliki warung kopi yang tidak sedikit.
Bagi penyair, kopi adalah vitamin imaji. Ngopi di warung kopi sambil menikmati nyanyian senja adalah aktivitas yang menyehatkan tubuh imaji. Imajilah yang mengantar puisi-puisinya. ia percaya kegagalan pemilihan diksi akan merusak bangunan puisi itu sendiri. dan siapa yang kuasa menolak ajakan ngopi seorang penyair berbakat?
Sastrawan yang juga kepala sekolah ini memiliki porto folio dan rekam jejak yang menawan. Sejak SMP bergumul dengan dunia tulis-menulis. coretan dan gagasannya wara wiri di Koran nasional di akhir 1980an hingga awal 2000an. Koleganya, Pak Badaruddin menyimpan baik dokumen kepenulisan Tri Astoto Kodarie. Amiruddin Jaya, penyair dan juga host RRI Pro 2 menyebut Tri Astoto Kodarie sebagai sastrawan generasi ke-2 yang dimiliki Sulawesi Selatan. Jangan tanya mengapa ia bisa digelar demikian dan Anugerah Seni di bidang sastra dari Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS) di tahun 2000 menjadi ukuran obyektif.
Lahir di Jakarta, 1961 silam, karya-karyanya terpublikasi di beberapa media regional dan nasional: puisi, cerpen dan esai. Media itu antara lain: Masa Kini (Jogja), Swadesi (Jakarta), Sinar Harapan (Jakarta), Suara Karya (Jakarta), Kompas (Jakarta), Media Indonesia (Jakarta), Minggu Pagi (Jogja), Bernas (Jogja), Jogja Post (Jogja), Suara Merdeka (Semarang), Cempaka (Semarang}, Horison (Jakarta), Suara Pembaharuan (Jakarta), Nusa Tenggara (Denpasar), Fajar (Makassar), Pedoman Rakyat (Makssar). Bahkan ia pernah menjadi kolumnis tema pendidikan di koran lokal Parepare, harian ParePos, kota yang menemukannya dengan tambatan hati.
Aktifitas rutin sebagai Aparat Sipil Negara tidak menghalangi aksi dan jejaknya dalam dunia susastra. Yang paling sulung, sehimpun puisi mengenai laut ia lahirkan, “Kitab Laut” diterbitkan penerbit lokal dan indie, Yayasan Biharul Ulum Maarif (YBUM Publisher).
Bukan penyair jika tidak ada kontroversi, dan selain menulis, ia memprovokasi anak-anak muda menjadi kegemarannya yang lain. Provokasi positif tentu saja, ajakan unjuk pena. Di sebuah pentas seni dan budaya, beberapa waktu lalu ia mengajak anak-anak muda di Kota Parepare membangun kantong-kantong budaya. Sebuah gerakan membangun budaya bangsa melalui kearifan lokal yang terkikis modernitas. Sunggguh disayangkan sebab hanya sedikit generasi muda yang tertarik dan terprovokasi. Pengalaman dan karya tidak menjadi subtitle yang membantu membaca sosok Pak Tri kecuali perbincangan kecendrungan dan kepentingan, entah. Mengenal Tri Astoto Kodarie sebagai kepala sekolah dibanding sebagai sastrawan, seperti yang dikeluhkan Ilham Mustamin (founder Komunitas Bumi Manusia) adalah realita yang tak dapat dimungkiri.
Kembali ke hari puisi sedunia, momentum yang diperingati setiap 21 Maret 2019 ini oleh dokumen PBB menyebut puisi sebagai tradisi lisan selama berabad-abad, yang dapat mengomunikasikan nilai-nilai paling batin dari beragam budaya. UNESCO mengakui kemampuan unik puisi untuk menangkap semangat kreatif dari pikiran manusia. Di sini, kita bisa melihat kembali keberadaan penyair dan memandangnya dengan penuh tanya, “semangat apa bisa ia bagi untuk kita, generasi muda?”
Sambil menikmati segelas kopi, pertanyaan relevan barusan bisa dijawab dengan satu kata, karya. Pagi di Bacukiki jauh dari disebut buku, tetapi saya bangga sebab jejak Pak Tri, yang dikutuk menjadi seorang penyair walau terasing, nyata adanya. Mengutip bait puisi Tri Astoto Kodarie, “laut adalah puisi yang menjelma dari batu karang tegar dan penuh ganggang dicengkeram jemari ombak dalam debur yang abadi”.
Selamat Hari Puisi
Penulis:
Ahmad Kohawan