MAKASSAR, PIJARNEWS.COM--Penggagas perpustakaan lorong Parangtambung, Makassar, Bachtiar Adnan Kusuma (BAK) menanggapi hasil penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan yang menempatkan Sulsel sebagai salah satu daerah yang kemampuan membacanya tergolong rendah.
Menurut BAK, dengan menempatkan posisi Sulsel sebagai urutan 15 dari 9 provinsi yang menempati posisi wilayah kemampuan membacanya tergolong baik, perlu mendapat perhatian serius dari seluruh organisasi dan komunitas literasi yang ada di Sulsel. Karena urusan membaca bukan sekadar urusan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, melainkan urusan bersama dan tanggungjawab seluruh masyarakat Sulsel.
Dengan membaca hasil riset yang digelar oleh Kementerian Pendidikan Jakarta, bagi BAK tidak perlu tersinggung dengan angka-angka itu, apalagi menyalahkan pemerintah provinsi.
“Saya setuju dengan riset itu sebagai titik kulminasi penting untuk mendapat perhatian kita semua agar sadar bahwa membangun budaya membaca sangat penting daripada membangun sarana dan prasarana jalan dan fisik di Sulsel. Apalah artinya pembangunan fisik maju di Sulsel, sementara pembangunan sumber daya manusia jauh tertinggal dari daerah-daerah lain,” tulisnya dalam rilisnya, Sabtu, 25 Mei 2019.
Dia mengatakan, Jepang, China dan Korea yang punya keterbatasan Sumber Daya Alam, mampu menempatkan negaranya sebagai sebuah negara maju karena menempatkan Sumber Daya Manusia sebagai urat nadi perubahan. Artinya, ada satu sistem pembangunan yang perlu diperbaiki. Salah satunya, menurut tokoh penggerak literasi Sulsel ini, perlunya menempatkan program membangun budaya baca sebagai program utama dan yang sangat penting dari bidang-bidang lainnya.
Menurut BAK, diperlukan sikap hati-hati dan cerdas membaca hasil riset yang digelar oleh lembaga-lembaga yang ada terkait minat baca masyarakat Sulsel rendah.
Sebagai penggerak literasi 22 tahun di Sulsel, membaca hasil penelitian minat baca rendah Sulsel, bisa saja menjadi pembakar semangat untuk lebih menggerakkan komunitas literasi di Sulsel terutama berperan serta membantu pemerintah membangun budaya baca.
Persoalannya, lanjut BAK apakah Pemerintah Provinsi Sulsel punya keinginan bersama menggalang kerja sama dengan komunitas-komunitas penggerak literasi di Sulsel. Nah, ini yang jadi problem karena pilar-pilar pemerintah dan masyarakat masih suka jalan sendiri.
Padahal, menurut penerima Kabarmakassar Award sebagai penulis produktif Sulsel ini, untuk memajukan budaya baca masyarakat diperlukan adanya kerja sama yang sehat antara pemerintah dan masyarakat.
“Sekarang ini saatnya tidak lagi memakai budaya ewuh pakewuh untuk memajukan Sulsel sebagai kota literasi di timur Indonesia,” papar BAK.
Untuk meningkatkan budaya baca dan budaya menulis, lanjut BAK haruslah bermula dari rumah tangga. Membangun kebiasaan dan minat baca yang tinggi kuncinya dimulai dari diri sendiri, rumah tangga, anak-anak, keluarga dan tetangga. Selain itu, setiap sekolah mestinya menyusun program kegiatan membaca 15 menit setiap hari. Sekarang, sekolah butuh kepala sekolah yang transformatif, pro gerakan literasi dan mampu menjadi contoh yang baik untuk membangun budaya literasi di setiap sekolah.
“Kita jangan terjebab hanya pada pseudo literasi, gerakan literasi hanya sebatas seremoni dan gagah-gagahan, tapi tidak menyentuh dan tidak melakukan dalam aksi dan tindakan,’’ lanjut ketua LPM Terbaik Kota Makassar ini.
BAK berharap Pemprov bersama Komisi E DPRD Sulsel melahirkan Perda disusul Pergub Wajib Membaca dan Menulis setiap hari di sekolah-sekolah dan setiap rumah tangga. Kalau Perda wajib baca buku hadir, maka tak ada lagi alasan tidak tumbuh budaya literasi yang baik.
“Untuk melakukan perbaikan, semua pihak harus ikut serta mendukung agar budaya literasi kita tidak berada di nomor urut sepatu,’’ harap Ketua Forum Peduli Pendidikan Sulsel. (*)
Editor: Dian Muhtadiah Hamna