MAKASSAR, PIJARNEWS.COM–Film Sokola Rimba yang diangkat ke layar lebar enam tahun silam, gaungnya masih terasa. Film ini menceritakan kisah nyata Butet Manurung mengajarkan baca tulis anak-anak rimba di Hutan Bukit Duabelas Jambi.
Kemarin, Jumat, 28 Juni 2019, screening dan diskusi film ini berlangsung di Minihall Fisip Unismuh lt 5 Menara Iqra’.
Butet Manurung memukau ratusan audiens dari kalangan mahasiswa dan dosen. Perempuan bernama asli Saur Marlina Manurung datang bersama moderator, Mawar Lestari.
Kehadiran Butet merupakan agenda dari Makassar International Writers Festival (MIWF) 2019 dan Rumata’ Artspace. Tahun ini, Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Makassar kembali menjadi mitra penyelenggara.
Sehari sebelumnya, empat pembicara dan moderator dari tiga negara juga hadir. Mereka adalah Lily Yulianti Farid, (pendiri MIWF), John McGlynn (penerjemah asal Amerika), Abdul Rahman Shah (penulis lepas asal Malaysia) dan Zen Hae (esais dan kritikus sastra Indonesia).
Sokola Rimba, dibukukan pertama kali tahun 2007. Baru setelah enam tahun kemudian filmnya dibuat pada tahun 2013.
Jauh sebelum digarap, kisah Butet Manurung telah lebih dulu dilirik oleh sutradara asal Amerika. Namun, pilihan jatuh pada sutradara Indonesia, Riri Riza yang juga memiliki misi sama dengan Butet. Berkutat pada nilai kemanusiaan.
“Kalau film ini jadi, maka filmnya bukan hanya tentang kita tapi juga tentang orang-orang yang hidup di pedalaman dengan karakteristik mereka,” kata Butet usai screening film yang berdurasi 90 menit.
Butet banyak bercerita. Peraih penghargaan Hero of Asia versi Majalah Time (2004) ini banjir pertanyaan audiens. Banyak yang penasaran mengapa Butet “rela” keluar masuk hutan demi mengajarkan anak-anak rimba. Inspirasinya tak lekang.
“Hobi dan pekerjaan itu tidak sama. Saya pikir, saya ingin kerja tapi juga ingin bermanfaat bagi orang lain,” jawab istri Kelvin James Milne.
Butet tidak pernah lupa dengan pengalamannya ketika menjadi mahasiswa tingkat tiga dan mendaki Gunung Jayawijaya. Saat itu ia bertemu dengan antropolog, yang berusaha mendekati dua suku yang sedang berperang dengan kemampuan berbahasa daerah yang berguna.
“Saya berpikir bahwa persoalan identitas adalah PR terbesar saya. Saya takut, ketika dia sudah bisa membaca, mereka justru meninggalkan tanahnya,” tandasnya.
*Terngiang Pesan Ayah
Dedikasi Butet yang tak kenal lelah mengajarkan baca-tulis kepada Orang Rimba, suku nomaden yang tinggal di hutan Bukit Duabelas di Jambi, pada 1999 lalu memang telah melambungkan namanya.
Butet bercerita jika kiprahnya terhadap dunia pendidikan lantaran terngiang pesan almarhum ayahnya, Victor Manurung.
“Papa adalah inspirasiku. Papa selalu mengucapkan, saat kamu memberi, kamu sedang menerima,” tuturnya tersenyum. Kalimat itulah yang terus mengiringi petualangan hidupnya.
Ya, anak tertua dari empat bersaudara ini memang senang bertarung dengan alam. Sembilan tahun sebelum dia memulai mengajarkan baca tulis bagi Orang Rimba, dia kerap mendaki gunung, menelusuri gua, mengarungi sungai, atau memanjat tebing.
Sampai ketika dia bergabung di Warsi, LSM yang bergerak di isu konservasi dan bertugas sebagai fasilitator pendidikan, dia ingin mengalahkan ego diri tak sekadar “penakluk alam”.
“Banyak orang yang mengaku pencinta alam, tapi pedulikah dia pada hutan-hutan yang tengah hancur seperti ini ? Masih maukah ia berada dan menari di dalamnya?“ tanyanya.
Di situlah, mula dia berjuang untuk mengajarkan baca tulis bagi suku terasing, Orang Rimba. Baginya, baca tulis setidaknya akan memberikan mereka lebih banyak pilihan. Lewat pendidikanlah mereka mampu memposisikan diri terhadap dunia luar dan dengan merdeka menentukan arah pembangunannya sendiri.
“Mau tidak mau ini harus dilakukan karena modernitas sudah mulai menohok ke dalam kehidupan rimba,” tandas putri dari ibu bernama Anar Tiur Samosir itu.
Keteguhan Butet memang diuji kala mengajar di hutan. Meski tantangan kerap mengadang seperti terbirit-birit dikejar beruang, ketakutan diancam perambah hutan, ambruk terserang malaria, hingga suka-duka dalam budaya yang sama sekali berbeda dengan kehidupan metropolis. Namun, dia tak surut.
“Jika lelah, saya membayangkan senyum takjub murid-murid saya karena mereka berhasil membaca dan menulis. Itu obat yang membuat saya terus bersemangat,” tuturnya antusias.
Butet mengalami pelbagai transformasi sejak 1999. Dari pencinta petualangan, pendukung konservasi, pendidik, pendamping komunitas, dan menjadi aktivis pejuang HAM masyarakat adat.
“Tahun-tahun terakhir saya sadar bahwa harus beralih medan perang. Bukan hanya sekadar di rimba. Namun mulai mengampanyekan di setiap kesempatan untuk mengetahui betapa penting bagi Orang Rimba atau komunitas adat di manapun di dunia ini untuk mendapatkan kesempatan menentukan jalan hidupnya sendiri,” tandas alumni Jurusan Antropologi Terapan dan Pembangunan Partisipatif, di Australian National University, Canberra.
Dia melanjutkan, perlu bagi Orang Rimba dan komunitas adat berbicara atas dirinya sendiri, mendapatkan informasi yang lengkap atas setiap elemen pembangunan yang terjadi di sekitar tempat hidup mereka atau istilahnya disebut Free, Prior and Informed Consent.
“Di dunia masih ada 300-500 juta anggota komunitas adat dari penduduk dunia yang jumlahnya enam miliar. Namun merekalah yang hidup dan memelihara 80 persen keanekaragaman hayati dan kekayaan budaya. Mereka harus self-empowerment atau membangun kekuatan sendiri,” kata Butet, serius.
Inti Sokola Rimba adalah Critical Thinking.
Film ini digarap tiga minggu. Tapi selama satu tahun, kru film sudah melakukan riset panjang, termasuk belajar bahasa, dll.
Rajuddin, mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Unismuh terkesan dengan keteguhan Butet.
“Saya terkesan dengan jiwa kesabarannya yang selama enam bulan ditolak oleh suku di sana. Ia rela meninggalkan pekerjaannya hanya demi anak-anak itu,” ujar Rajuddin yang terinspirasi mendirikan sekolah pesisir di desanya di Takalar.
Dekan Fisip Unismuh Makassar, Ihyani Malik, saat penutupan nobar dan diskusi film menyampaikan ucapan terima kasih kepada penyelenggara acara MIWF 2019.
“Keberhasilan dan kesukseskan pada profesi apa pun termasuk dalam dunia pendidikan sangat ditentukan oleh dedikasi dan cinta akan profesi yang ditekuni dan dijalani, ” kata doktor Administrasi Publik PPs-UNM ini.
Kehadiran Butet Manurung di kampus memang memberi penghargaan bagi Fisip Unismuh Makassar.
Ihyani Malik juga menyampaikan harapan agar tiga jurusan di Fisip tidak hanya jadi menara gading di satu tempat, tapi harus membumi di lingkungan sekitar.
Saat ini ada tiga prodi di Fisip Unismuh yaitu S1 Ilmu Administrasi Negara, S1 Ilmu Pemerintahan dan S1 Ilmu Komunikasi. Dua prodi, Administrasi Negara dan Ilmu Pemerintahan telah meraih nilai akreditasi A dari BAN-PT dan Ilmu Komunikasi terakreditasi dari BAN-PT. (*)
Penulis dan Editor: Dian Muhtadiah Hamna