Oleh: Safiatuz Zuhriyah, S. Kom
(Aktivis Dakwah Muslimah)
Para wakil rakyat di Senayan kembali membuat kontroversi. Di tengah maraknya korupsi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terhormat malah memilih untuk segera mengesahkan revisi UU KPK. Alih-alih memantapkan kedudukan KPK, revisi ini justru menjadi pintu pelemahan lembaga antikorupsi. Disinyalir, banyak koruptor akan lepas dari jeratan hukum bila Undang Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ini direvisi.
Setidaknya ada 7 poin revisi yang digarisbawahi oleh para aktivis dan kelompok masyarakat yang dianggap sebagai bentuk pelemahan lembaga antikorupsi ini. Yaitu:
Pertama, perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Pasal ini dinilai bermasalah karena berpotensi menghilangkan independensi pegawai KPK (termasuk para penyidik) dalam menangani kasus korupsi.
Kedua, perubahan status KPK menjadi lembaga pemerintah pusat atau masuk dalam jajaran eksekutif. Revisi pada pasal tersebut menjadikan KPK tidak lagi sebagai lembaga negara independen yang mengawasi tiga pilar demokrasi.
Ketiga, KPK perlu meminta izin penyadapan, penyitaan dan penggeledahan kepada dewan pengawas. Dikhawatirkan, dalam penanganan kasus akan ada intervensi dari dewan pengawas.
Keempat, penyidik KPK berasal dari kepolisian, kejaksaan dan ASN. Implikasinya, tidak ada lagi penyidik independen sehingga dikhawatirkan akan makin banyak kasus sprindik yang bocor.
Kelima, penuntutan harus koordinasi dengan kejagung. Dengan revisi ini, KPK tidak lagi punya kewenangan otonom dalam penuntutan.
Keenam, perkara yang menjadi perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Implikasinya, KPK akan sulit mengusut kasus suap yang biasanya berjumlah kurang dari Rp 1 miliar.
Ketujuh, KPK berwenang mengeluarkan SP3. Dikhawatirkan, kasus-kasus besar, seperti Century, Hambalang, e-KTP, BLBI, dll berpotensi didesak untuk dikeluarkan SP3.
KPK, yang dulunya dibentuk untuk meningkatkan upaya pemberantasan korupsi, saat ini malah dikebiri. Seharusnya, penanganan perkara atau penindakan yang dilakukan KPK merupakan sebuah prestasi. Namun prestasi ini bisa jadi akan semakin turun pasca pengesahan revisi UU KPK.
Dilansir dari www.bbc.com, pada periode 2014 – 2018, komisi antikorupsi telah menyelamatkan uang negara Rp1,5 triliun. Seluruh kerugian negara baik dalam bentuk aset fisik maupun nonfisik hasil korupsi telah disita dan digunakan pemerintah. Penahanan para koruptor pun lebih besar jumlahnya dibanding periode sebelumnya. Sementara itu, latar belakang profesi yang ditangani KPK hingga Juni kemarin berasal dari Anggota DPR/DPRD (255 perkara), Kepala Daerah (30 perkara), Pimpinan Partai Politik (6 perkara), dan Kepala Lembaga/Kementerian (27 perkara).
Banyaknya anggota DPR dan pejabat pemerintahan yang tertangkap KPK, bisa jadi membuat ketar-ketir para pemangku jabatan di negeri ini. Bila dilanjutkan, maka tidak menutup kemungkinan, lambat-laun mereka pun akan menyusul.
Secara umum, demokrasi adalah sistem politik berbiaya mahal. Menurut Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) KPU, PDIP, partai dengan dana terbesar, telah menggelontorkan dana senilai Rp345 M untuk kampanye pileg dan pilpres 2019. Sedangkan dana kampanye terkecil berasal dari Partai Garuda sebanyak Rp3 M. Konsekuensinya, Partai Garuda tidak lolos ke Senayan karena perolehan suaranya di bawah ambang batas parlemen yang sebesar 4 persen.
Mahalnya biaya kampanye, tidak bisa tertutupi dengan gaji mereka selama 5 tahun menjabat. Hal ini kemudian mendorong para pejabat terpilih untuk melakukan cara yang tidak benar, yaitu korupsi. Hampir semua kontestan melakukan hal itu. Dengan revisi UU KPK, tampak ada upaya untuk melindungi korupsi supaya pelakunya tidak sampai terseret ke jeruji besi. Mimpi rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi pun menjadi utopis. Tak akan terwujud.
Dalam Islam, korupsi dianggap sebagai tindak kriminal yang harus diberantas. Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu maka itu merupakan ghulul (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Karenanya, negara berusaha memberantas kriminalitas ini dengan serius. Di antara cara yang dilakukan adalah:
1. Meletakkan ketakwaan individu sebagai hal utama.
Pejabat dalam Islam dipilih dari kalangan orang-orang bertakwa yang tidak diragukan lagi integritasnya. Dengan konsep pahala dan siksa, membuat seorang individu akan sangat berhati-hati dalam melakukan aktivitas agar tidak masuk dalam kubangan dosa.
2. Menumbuhkan kepedulian antar anggota masyarakat.
Aktivitas amar makruf nahi munkar dianggap sebagai pelaksanaan kewajiban dari Allah. Bukan menjadi sesuatu yang tabu, apalagi dikriminalisasi.
3. Upaya antisipasi dan hukuman berat bagi pelaku yang dilakukan oleh negara.
Upaya antisipasi ini meliputi: pemberian gaji layak bagi pejabat negara dan ASN, larangan menerima suap, serta penghitungan kekayaan pejabat secara berkala. Selain itu, negara juga memberlakukan hukuman berat bagi pelaku. Berupa ta’zir (hukuman berdasarkan kebijakan hakim) sesuai dengan besarnya kerugian negara yang ditimbulkan. Bahkan yang terberat bisa sampai dihukum mati. Hal ini dimaksudkan untuk memberi efek jera bagi koruptor sekaligus mencegah masyarakat umum melakukan tindak pidana korupsi.
Dan yang terpenting, sistem politik Islam berbiaya murah. Tidak perlu biaya kampanye besar untuk bisa memangku jabatan, karena mereka dipilih berdasarkan ketakwaan dan kiprahnya di tengah masyarakat. Bukan orang yang baru muncul ketika terjadi suksesi sehingga harus diorbitkan profilnya dengan politik uang. Para pejabat itu dipilih rakyat untuk menerapkan hukum Islam atas mereka. Bukan hukum buatan manusia yang bisa diubah sesuai kepentingan pembuatnya. Karena itu, tidak ada politik balas budi, karena hukum yang berlaku harus digali dari Alquran dan Assunnah.
Dengan demikian, praktik korupsi bisa diberantas sampai ke akar-akarnya dengan penerapan syariat Islam kafah dalam seluruh segi kehidupan masyarakat. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan