OPINI — Akhir-akhir ini kata hijrah begitu booming di kalangan umat, khususnya kalangan muda Islam milenial. Pertanyaan yang patut diajukan adalah apa makna, bagaimana wujud dan mengapa mesti hijrah? Hijrah, memang menempati posisi strategis dalam sejarah kenabian dan merupakan jalan hidup bagi para nabi, baik kehidupan fisik terlebih kehidupan ruhani mereka.
Ayat-ayat hijrah pun mewarnai konfigurasi huruf-huruf Alquran. Sebutlah misalnya kisah Nabi Nuh ‘alaihissalâm dan Nabi Yusuf ‘alaihissalâm. Tema sentral dua kisah tersebut sama, yaitu “hijrah dari satu tempat ke tempat yang lain”. Nabi Nuh ‘alaihissalâm berbekal kapalnya, hijrah ke negara antah berantah (ada penemuan ilmiah menyatakan bahwa bahtera Nabi Nuh ‘alaihissalâm terdampar di Gunung Judi, sebuah tempat di Armenia sebelah selatan, berbatasan dengan Mesopotamia); dan Nabi Yusuf ‘alaihissalâm hijrah besar-besaran ke tanah Mesir.
Tujuan Allah mengonfigurasi huruf-huruf hijrah itu di dalam Alquran tak lain agar Nabi Muhammad saw. dan terutama para sahabat beliau kuat secara fisik, mental dan spiritual menerima perintah hijrah ke Yatsrib. Kisah mengenai bahtera Nabi Nuh a.s. dan keluarga Nabi Yusuf a.s. yang berakhir happy ending (bahagia) amat dibutuhkan oleh Nabi Muhammad saw. apalagi penyiksaan fisik dan psikis orang-orang kafir Mekah semakin menjadi-jadi, dengan target besar dan persekongkolan utamanya adalah membunuh Nabi Muhammad saw.
Hijrah Nabi Muhammad saw. ke Yatsrib, perlu di-underline bahwa bukan karena takut mati. Hijrah beliau merupakan perjuangan menyelamatkan akidah umat. Perjuangan menegakkan kebenaran dan mengalahkan kebatilan. Penyebutan kisah itu diperlukan agar Nabi dan para sahabatnya mantap hatinya untuk hijrah, meninggalkan kampung halaman merantau ke negeri orang.
Pesan moral yang hendak Allah bluebooth ke alam bawah sadar sahabat, termasuk kita umatnya, dalam konteks membincang fenomena hijrah, adalah kesabaran. Ini penting Allah tekankan kepada sahabat karena sebagian besar dari mereka adalah orang asli Arab yang tidak bisa menerima secara cerdas pelecehan dan penghinaan. Walaupun ditemukan sejumlah bukti bahwa sikap-sikap arogan bangsa Arab sejatinya didasari oleh dua sifat luhur: “solidaritas” dan “kehormatan diri”.
Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya sebelum hijrah mengalami penyiksaan fisik dan nonfisik. Karenanya, hijrah juga mesti melibatkan nalar dan spiritual. Sebutlah misalnya “hijrah substansial” atau “hijrah sebenar-benarnya hijrah”. Bukan hanya fisik dan tampilan luar atau “hijrah formal” atau “hijrah seolah-olah”.
Ayat-ayat Alquran apabila dibaca secara saksama yang berbicara tentang hijrah, misalnya dalam QS. al-Tawbah [9]:20, maka ditemukan bahwa ada dua hal yang mesti menyertai hijrah, yaitu keimanan dan jihad. Keimanan 24 karat dan jihad sebenar-benarnya jihad. Berikut terjemahan ayat yang dimaksud.
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwa mereka, adalah lebih agung derajatnya di sisi Allah; dan itulah mereka orang-orang yang beruntung.”
Keberhasilan hijrah Nabi dan para sahabatnya di-backup oleh dua konsep yang sesungguhnya saling kait-mengait. Peristiwa hijrah didahului oleh iman dan diboboti dengan jihad yang sesungguhnya. Ungkapan sederhananya, hijrah berbalut iman dengan melibatkan tiga komponen jihad/perjuangan sungguh-sungguh: (1) jihâd fisik; (2) ijtihâd intelektual; dan (3) mujâhadah spiritual. Pertama, “jihâd fisik” nabi bersama sahabatnya dapat dipotret saat Nabi dan para sahabatnya menempuh perjalanan melelahkan dari Mekah ke Yatsrib/Madinah -+320 km dan membutuhkan 8 hari 8 malam yang sebelumnya transit di Gua Tsur selama 3 malam. Belum lagi medan dan cuaca yang sangat ekstrem.
Kedua, “ijtihâd intelektual” Nabi yang dimaksud adalah betapa strategi yang dirancang sungguh sangat jitu dan mampu melumpuhkan bahkan merontokkan strategi busuk kaum kafir Mekah saat itu. Strategi jitu itu antara lain ketika Nabi meminta Sayyidana Ali bin Abi Thalib menggantikan beliau di tempat tidur dengan tetap menggunakan selimut hijau Nabi saw. Saat Nabi bersama Sayyidina Abu Bakr di dalam Gua Tsur lagi-lagi menyusun strategi jitu untuk ‘mengelabui’ musuh dengan memerintahkan Amir bin Fuhairah untuk menggembalakan domba di sekitar gua dengan tujuan menghilangkan jejak telapak kaki Fatimah yang bertugas memasok makanan dan bertindak sebagai ‘pemadam kelaparan’ Nabi dan Abu Bakr di dalam gua. Ketika Nabi dan sahabat Abu Bakr keluar dari gua, Nabi keluar ke arah selatan padahal secara geografis Yatsrib berada di posisi utara Mekah. Ini sebuah strategi yang tentu saja melibatkan nalar.
Ketiga, “mujâhadah spiritual” dalam peristiwa hijrah Nabi adalah tatkala Nabi keluar dari kamar dengan selamat tanpa terlihat oleh algojo yang siap menghunuskan pedang ke leher Nabi. Saat Nabi keluar dengan berbekal îmân dan tafwîdh kepada Allah, melalui media pasir yang ditaburkan ke wajah dan badan, para algojo itupun tertidur pulas.
Peristiwa lain ketika di dalam gua sahabat Abu Bakr digigit ular berbisa. ‘Hanya’ dengan terapi air liur Nabi beserta doanya, bisa ular itu hilang sekejap dan bekas gigitan ular berbisa itu sembuh total. Bahkan seorang kafir Mekah, Suraqah berhasil mengintai dan mengikuti jejak perjalanan Nabi ke Yatsrib. Setiap kali kuda Suraqah mendekati Nabi, pada saat yang sama kaki kuda Suraqah seolah tertanam di tanah tidak bisa melangkah dan Suraqah pun terjatuh. Ini semua buah dari “mujâhadah spiritual” Nabi saw.
Itu sebabnya, hijrah Nabi dengan berbekal iman dan jihad yang melibatkan 3 (tiga) komponen: jihâd fisik, ijtihâd intelektual, dan mujâhadah spiritual dengan mudah mengubah Yatsrib yang sebelumnya “berpradaban jahili” menjadi Madinah Munawwarah, sebuah kota dengan peradabannya yang islami; menjunjung tinggi nilai-nilai keilahian dan kemanusiaan.
Keberhasilan besar ini pulalah yang kemudian menginspirasi Nabi untuk mengubah nama Yatsrib menjadi Madînaturrasûl atau Madînatunnabiyy atau al-Madînah al-Munawwarah. Perubahan ini dilakukan Nabi karena Yatsrib dapat bermakna lokus atau kondisi atau komunitas yang kehidupannya terbiasa saling mencerca dan mem-bully, yang intinya “de’ namalebbî warekkadâna, de’to namakkeâde’ ampêna” (tidak santun dalam bertutur, dan tidak sopan dalam berprilaku).
Ruh atau spirit hijrah seperti inilah yang mesti diperkenalkan dan diwariskan kepada generasi milenial agar fenomena dan makna hijrah tidak hanya berhenti pada bungkus dan melupakan isi. (*) HP/WA Budiman Sulaiman : 0852-5502-8555