OPINI — Tulisan ini termotivasi dari sekian narasi yang berseliweran di media internet dengan beragam tulisan yang tidak lain hanya untuk menggambarkan eksistensi warga net (netizen) yang merasa terpanggil ataupun wajib untuk beropini, memberitakan, menukil dan menshare bahkan sampai pada eksistensi paling ringan yaitu melike dan memfollow up.
Corona virus disease 2019 yang dikenal dengan Covid-19 mengisi setiap sendi kehidupan, mengguncang dunia sains kedokteran, dunia penelitian, memporak porandakan perekonomian dunia bahkan nilai rupiah seakan terkena virus corona, dunia literasi menghangat, merilis Jakarta Ayobandung.com buku novel thriller “The Eyes of Darkness” karya Dean Koontz tahun 1981 mendadak menjadi bacaan istimewa yang laris di pasaran dan menjadi bestseller.
Berdasarkan penelusuran kantor berita Reuters diketahui bahwa memang benar Koontz menulis soal virus bernama Wuhan 400 dalam novelnya dan mengacu pada Kota Wuhan, tempat muasal virus corona Covid-19 meskipun dengan latar dan gejala yang berbeda dengan yang terjadi di Wuhan saat ini.
Orang sehebat perdana Menteri Inggris Borris Johnson berani menantang perang Covid-19 dengan teori Herd Immunity atau kelompok kebal dengan langkah mengamankan kelompok lansia dan anak anak kemudian melewati fase infeksi virus ini sehingga di Inggris saat ini aktivitas berjalan seperti biasa, namun strategi get it alone yang memuat konsep Herd Immunity ini mendapat kecaman dari pemimpin oposisi dan pejabat di luar negeri. (Kompas.com)
Covid 19 juga menggiring orang nomor satu di Amerika, Donald Trump berdebat tentang jenis pemusnah yang belum pasti uji klinis tentang obat klorokuin yang diklaim mampu menyembuhkan penyakit Covid-19, walaupun itu harus berhadapan dengan komisaris Food and Drugs Administration (FDA) Dr Stephen Hahn yang tidak mengizinkan penggunaan klorokuin.
Lihat saja pada hal sederhana urusan narasi, “Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO yang dipimpin Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus resmi mengganti istilah “social distancing” atau jarak sosial dalam penanganan virus corona atau Covid-19. Sebagai gantinya, WHO menerapkan istilah “physical distancing” atau jarak kewilayahan. Membuat nama saja untuk media tanding Covid-19 butuh kematangan? Apakah Covid-19 yang punya kemampuan menempel dan hanya berukuran 400-500 micro akan kerasan di muka bumi ini hanya untuk urusan membasmi ummat manusia?
Pasca membantai Italia dan Korea Selatan yang nyata secara popularitas memiliki standar kesehatan dan kesiapan tenaga medis yang mumpuni, melansir laman Smh.com Selasa (24/3/2020) “Dari semua negara di Asia Tenggara, Indonesia yang paling mengkhawatirkan Indonesia memiliki populasi terbesar namun lemah di sisi birokrasi, penanganan yang buruk di Indonesia akan membuat negara terpapar semakin buruk,” ujar Dosen Griffith University LeeMorgenbesser (ahli politik Asia Tenggara).
Kekhawatiran itu memuncak seiring kondisi Indonesia saat ini yang hanya memiliki 321.544 tempat tidur rumah sakit. Itu artinya sekitar 12 tempat tidur per 10.000 orang. Sementara Korea Selatan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), memiliki 115 per 10.000 orang.
Pada 2017, WHO menemukan Indonesia memiliki empat dokter per 10.000 orang. Italia memiliki 10 kali lebih banyak, berdasarkan per kapita. Korea Selatan memiliki dokter enam kali lebih banyak.
Menakar kemampuan dan fasilitas medis nasional, dan sosial budaya kerja masyarakat yang mayoritas pekerja harian maka pilihan lockdwn adalah pilihan terakhir, pemerintah pusat dalam hal ini presiden memilih social distancing atau menjaga jarak sosial mengikuti himbauan WHO.
Covid-19 menjadi pandemi yang membuat ummat manusia bergerak di luar alami, nuansa literasi covid tumbuh dan menyentuh semua rutinitas keilmuan, ikut eksis dengan upaya yang beragam namun satu tujuan bahwa kita harus literat terhadap Covid-19 ini. (*)