Ibu kita Kartini
Putri sejati, putri Indonesia, harum namanya
Ibu kita Kartini pembela bangsa
Pembela kaumnya untuk merdeka
OPINI — Lagu karangan W.R. Supratman tersebut tentulah sangat familiar di telinga anak-anak Indonesia. Juga kita yang beranjak remaja, bahkan orang tua sekali pun. Saat masih di bangku sekolah, lagu itu sering kita dengar, atau bahkan kita nyanyikan dengan penuh semangat.
Bahkan di setiap tanggal 21 April, senantiasa diperingati sebagai Hari Kartini. Dan itu sudah berlangsung sekira 56 tahun semenjak Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres No.108 Tahun 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini tanggal 21 April diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Dalam hampir setiap peringatan itu, ada banyak lomba digelar: Lomba Baju Kebaya, Sanggul Terbaik, Fashion Show, Baca Puisi, Lomba Memasak, dan seterusnya. Dan seingat penulis, bukan hanya anak sekolahan yang sibuk di hari itu. Melainkan juga para orang tua, khususnya Ibu, yang semenjak pagi buta sudah mendandani “Sang Putri” dengan sanggul atau pun pakaian kebaya.
Dan tidak hanya itu. Berbagai organisasi kewanitaan juga ikut memperingati Hari Kartini tersebut melalui sejumlah perlombaan atau kegiatan-kegiatan kewanitaan lainnya. Pokoknya, semangat kebangsaan di setiap tanggal 21 April itu kembali dirajut melalui tema peringatan Hari Kartini.
Tapi, sudah tepatkah kita mengenang jasa-jasa Raden Adjeng Kartini dengan menggelar acara-acara seperti tersebut? Apakah memang itu yang menjadi garis dasar perjuangan Kartini? Lantas, di tengah pandemi COVID-19 sebagaimana kondisi hari-hari ini, bagaimana kita selaiknya memperingati Hari Kartini?
Haus Ilmu
Hampir bisa dipastikan, bahwa gelaran peringatan Hari Kartini di tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan sangat mungkin kita tidak akan menyaksikan adik-adik kita berjalan di atas catwalk untuk peragaan busana kebaya. Juga tak ada pembacaan puisi, atau pun paduan suara. Peringatan Hari Kartini tahun ini adalah peringatan yang hening.
Kebijakan physical distancing sebagai respon terhadap wabah COVID-19 telah mengharuskan kita semua berada di-rumah-saja. Jangankan perlombaan, proses perkuliahan saja semuanya dilakukan dengan cara daring. Juga perkantoran dan kegiatan bisnis. Apa boleh buat. Barangkali memang kita membutuhkan semacam pause atau jeda: untuk secara jujur mengevaluasi jarak langkah yang telah terukir selama ini. Sudah ia berada di track yang diharapkan Sang Pencipta? Tentu bukan hanya dalam hubungan sebagai sesama hamba, melainkan juga terhadap alam dan lingkungan.
Dalam periode pause itu, mungkin saja kita juga bisa memaknai perjuangan Kartini justeru dengan cara terbaik. Di mana saat ini kita sedang “dipingit” oleh COVID-19 melalui ‘di-rumah-saja’ sebagaimana dulu Kartini dipingit setelah menyelesaikan sekolah
Tingkat Dasar di ELS (Europese Lagere School). Saat itu usia beliau baru 12 tahun, dan sebagaimana kelaziman pada waktu itu, ia pun dipingit di rumah. Tak boleh melanjutkan pendidikan, sambil menunggu datangnya jodoh.
Di sinilah cerita tentang Kartini bermula. Ia menolak. Tentu dengan cara seorang perempuan Jawa yang “halus”. Ia lalu banyak menghabiskan waktu dengan membaca surat kabar atau majalah berbahasa Belanda. Di usia ke 20, buku karya Louis Coperus, Van Eeden, Augusta de Witt sudah dilahapnya, tanda Kartini haus ilmu. Termasuk juga buku Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli. Semua ini menggambarkan kepedulian Kartini atas literasi dan pendidikan.
Dengan kata lain, Kartini membangun “sekolah” di dalam jiwanya. Di “sekolah” itulah ia kemudian banyak melakukan korespondensi dengan sahabatnya di Eropa. Tanpa lelah, ia menulis tentang banyak hal seputar lingkungan masyarakatnya dan pandangan-pandangannya. Surat-suratnya itu kemudian dihimpun menjadi buku, dan diterjemahkan Armijn Pane menjadi “Habis Gelap, Terbitlah Terang”.
Hamba Allah
Ada sebuah pertemuan yang jarang diungkap, juga dalam surat-surat yang dikirim Kartini ke Eropa itu. Pertemuan itu terjadi di kediaman Pangeran Ario Hadiningrat, Bupati Demak, yang tak lain paman Kartini. Hari itu, sebuah pengajian dilangsungkan dan Kartini hadir di situ. Penceramahnya adalah Muhammad Salih ibn Umar Al-Samarani, seorang tokoh ulama yang lebih dikenal dengan nama Kyai Sholeh Darat. Julukan itu disematkan karena beliau membina pesantren di daerah Darat, Semarang.
Materi yang dibahas adalah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini begitu antusias mengikutinya. Itu karena baru kali ini ia memperoleh penjelasan mengenai makna dan tafsir Al-Fatihah. Sebelumnya hanya bisa membaca saja tanpa paham maksud ayat tersebut. Dan seusai pertemuan, Kartini meminta pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat.
Melihat kegigihan ponakannya, Bupati Demak itu pun tak bisa berbuat selain memenuhi permintaannya. Dan saat bertemu Kyai Sholeh Darat, terjadilah dialog yang secara sangat baik ditulis Teguh Setiawan (Harian Republika, 1 April 2012), sebagai berikut.
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” tanya Kartini.
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya, setelah beberapa saat tertegun.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Getaran sanubari: apa gerangan yang ditandainya? Mungkin pertanda rasa syukur kepada Sang Pencipta. Atau jawaban atas kegelisahan Kartini selama ini. Yang jelas, Kyai Sholeh pun tertegun mendengarnya.
“Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?,” ujar Kartini selanjutnya.
Teguh Setiawan kemudian mengutip Nyonya Fadhila Sholeh yang menyebut Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali Subhanallah. Pertanyaan (atau pernyataan) Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar, yakni menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Sehingga setelah pertemuan itu, Kyai Sholeh tergugah menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Pekerjaan itu ia lakukan hingga menghembuskan nafas terakhir –saat baru sampai 13 Juz.
Ketika Kartini menikah pada 12 November 1903, sebanyak 13 juz terjemahan itu diberikan sebagai hadiah pernikahan. Kartini menerimanya dengan mata berkaca-kaca, lalu menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia. Tak pelak lagi, pertemuannya dengan Kyai Sholeh Darat dan 13 Juz terjemahan Al-Qur’an, telah memengaruhi perjalanan transformasi spiritual Kartini.
Gambaran pengaruh itu bisa dilihat dalam berbagai suratnya yang ia kirim setelah pertemuannya dengan Kyai Sholeh. Ia mulai mempertanyakan anggapan masyarakat Eropa sebagai yang sempurna. Tampak pula keinginannya untuk memperbaiki citra Islam yang kerap menjadi sasaran fitnah. Bahkan dalam surat tertanggal 1 Agustus 1903, yang ditujukan ke Ny Abendanon, Kartini menulis: “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah”.
Bagi Kartini, menjadi Hamba Allah, dalam pengertian sesungguhnya, merupakan cita-cita tertinggi. Cita-cita itu ia bawa menjumpai Rabbnya pada 17 September 1904, hanya empat hari setelah melahirkan anak pertamanya. Wallahu a’lam bisshawab.
*Aktivis HMI dan Mahasiswi Fakultas Hukum Unhas, Makassar. Peserta Parlemen Remaja Tahun 2017.