OPINI — Perkara Djoko Tjandra tak ubahnya magnet yang berkekuatan raksasa yang mampu menyedot semua tatapan mata bangsa ini, sekaligus menjadi buah bibir pada semua lapisan masyarakat aroma busuk penegakan hukum, kian lama meracuni kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi apa hendak dikata, masyarakat miskin khususnya, sungguh tak memiliki kemampuan apa-apa selain kata pasrah dalam kebisuan. Bahkan sekalipun suaranya melengking hingga ke-ujung langit, berharap akan tegaknya hukum yang berkeadilan, siapa sudi menyambutnya.
Pelarian Djoko Tjandra sungguh sangat menyudutkan institusi Polri bahkan 3 orang oknum jenderalnya menjadi korban. (Bukan bermaksud membenarkan tindakan jenderal tersebut). Adapun rentetan proses hukum Djoko Tjandra mulai dari di PN Jaksel September 1999 sampai Agustus tahun 2000, kasasi JPU September tahun 2000, dan MA menolak kasasi JPU Juni tahun 2001. Sungguh tak terduga JPU/ Jaksa Agung Oktober tahun 2008 mengajukan PK dan Juni tahun 2009 MA menjatuhkan vonis terhadap Djoko Tjandra dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun. Tapi bila kita menelaah secara cermat, teliti dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum tehadap rentetan proses hukum tersebut, maka pandangan dan kesimpulan kita mungkin berbeda.
Penulis hanya terbatas menelaah pada proses penegakan hukum perkara Djoko Tjandra. Penulis sendiri sepakat bahwa koruptor itu mutlak dihukum berat. Tapi sepatutnya disadari bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beradab, terlebih lagi negara kita adalah negara hukum, maka seburuk apapun kejahatan pelaku semestinya proses penegakan hukum itu tetap konsisten berdasarkan hukum yang berlaku. Sungguh ironis bila tujuan yang mulia menegakkan hukum dan keadilan, justeru yang terjadi pembusukan sistem hukum yang menuai puncak ketidak-adilan yang tak berkesudahan.