OPINI–Sejumlah pegiat pemilu memperkirakan Pilkada 2020 di beberapa daerah hanya diikuti satu pasangan calon (paslon) atau calon tunggal yang melawan kotak kosong. Meskipun begitu pilkada dengan satu paslon tetap sah karena teknis pelaksanaannya sudah diatur dalam PKPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang pilkada dengan satu pasangan calon, yang kemudian direvisi dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2018.
Untuk diketahui, jumlah calon tunggal terus meningkat dari Pilkada ke Pilkada. Di Pilkada 2015, ada 3 daerah yang bercalon tunggal. Di Pilkada 2017 angkanya naik menjadi 9 daerah. Sementara di Pilkada 2018 ada 16 daerah yang diikuti calon tunggal. Dan salah satunya memenangkan kotak kosong yakni seperti yang terjadi di Pilwali Kota Makassar .
Berdasarkan data dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), calon tunggal melawan kotak kosong diperkirakan akan terjadi di 31 daerah pada Pilkada 2020. Daerah potensial itu terdiri dari 26 kabupaten dan lima kota dari 270 daerah yang menggelar pilkada serentak tahun ini.
Dari 31 daerah, 20 di antaranya menunjukkan kecenderungan calon tunggal yang kuat. 20 daerah itu antara lain Kota Semarang, Kota Surakarta/Solo, Kebumen, Grobogan, Sragen, Wonosobo, Ngawi, Wonogiri, Kediri, Kabupaten Semarang, Kabupaten Blitar, Banyuwangi, Boyolali, Klaten, Gowa, Soppeng, Pematang Siantar, Balikpapan, dan Gunung Sitoli.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada Pasal 54C ayat 1 menetapkan kondisi yang harus dipenuhi saat pelaksanaan pilkada dengan calon tunggal. Kemudian, pilkada satu paslon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolom, kolom yang memuat foto paslon dan kolom kosong yang tidak bergambar.
Pemilih dapat mencoblos salah satunya dari dua pilihan kolom tersebut. Apabila perolehan suara paslon kurang 50 persen dari suara sah, paslon yang kalah boleh mencalonkan lagi dalam pilkada berikutnya. Sementara, pemerintah menugaskan penjabat kepala daerah karena belum adanya paslon terpilih.
Dari sudut pandang politik, sebenarnya melawan kotak kosong merupakan cara mudah untuk memenangkan pilkada, namun tentu harus disertai dengan figur atau Kandidat yang mempunyai rekam jejak yang mumpuni, punya integritas ,Kapabilitas, serta kinerja yang selama ini mampu memuaskan masyarakat.
Sebaliknya jika yang di usung merupakan figur yang hanya bermodalkan popularitas dan kemampuan ekonomi. Justru berpotensi dikalahkan oleh kotak kosong seperti yang terjadi di makassar dua tahun lalu.
Menurut penulis, calon tunggal melawan kotak kosong meningkat karena partai politik lebih pragmatis ingin menang. Selain itu kurangnya ketersediaan kader parpol yang memberanikan diri untuk maju di pilkada, walaupun ada kader yang siap mengajukan diri menjadi calon kepala daerah biasanya di abaikan oleh pengurus DPP dengan berbagai macam pertimbangan yang pragmatis.
Dalam situasi politik seperti yang telah diuraikan diatas ada berbagai alternative situasi yang akan muncul, salah satu alternative yang paling mungkin terjadi adalah partai politik mengusung kader partai lain atau bahkan partai politik mengusung figur non parpol yang punya elektabilitas yang tinggi.
Salah satu tugas dan fungsi partai politik adalah melakukan proses rekruitmen calon pemimpin daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang nomor 2 tahun 2008 sebagaimana perubahannya dalam Pasal 29 Undang – Undang nomor 2 tahun 2011 sebagai berikut, “Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi anggota Partai Politik, bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, Dan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden”.
Pada dasarnya, pola rekrutmen dan mekanisme kaderisasi meliputi segala aktivitas partai dari mulai penerimaan anggota, pembinaan kualitas kader, sampai dengan penempatan/penugasan kader-kader partai dalam jabatan-jabatan strategis. Kader merupakan hasil dari proses kaderisasi berjenjang, mulai dari tingkat Ranting,Pengurus DPD,DPW, dan DPP yang diperoleh karena adanya rekrutmen politik.
Jika pola rekrutmen dan mekanisme kaderisasi baik akan menghasilkan kader yang berkualitas dan berkapabilitas pula, begitu pun sebaliknya dengan dihasilkannya kader-kader yang berkualitas dan berkapabilitas tentu akan menyorot partai politik asal kader tersebut muncul. Jadi, kualitas kader-kader yang ada dalam partai politik sangat dipengaruhi oleh pola rekrutmen dan mekanisme kaderisasi partai tersebut.
Bisa dipahami bahwa upaya partai politik mencalonkan tokoh non parpol dan kader partai politik lain menunjukkan bahwa partai politik sebagai sumber pemimpin nasional dan daerah telah gagal dalam melaksanakan kaderisasi dan rekrutmen yang baik . Langkah parpol yang mencalonkan tokoh parpol atau kader lain dalam Pilkada tentu saja menjadi kerugian bagi parpol itu sendiri. Selain menutup rapat-rapat kader potensial yang melalui proses panjang dalam pengaderan, parpol juga hanya memiliki dukungan secara formal di pemerintahan daerah. Dengan kata lain, dukungan mereka tidak diikat secara ideologis seperti kader parpol karena mengabaikan loyalitas, padahal calon kepala daerah yang berasal dari partai politik tertentu ketika terpilih ia akan mengejawatahkan visi dan misi partai politiknya. Dengan menjadi kader partai politik, diharapkan peran partai politik semakin kuat, sehingga demokrasi semakin sehat. Dengan tidak menjadi anggota partai politik calon kepala daerah yang akan maju dalam Pilkada akan memperkuat fenomena politisi “kutu loncat” dan posisinya di pemerintahan daerah akan lemah
Selain kerugian bagi parpol itu sendiri, kepala daerah yang didukung tanpa melalui proses pengaderan berpotensi tersandera oleh partai. Konsekuensinya, mereka akan kesulitan menjalankan program kerja selama menjabat. Alih-alih menuntaskan janji politiknya, arah kepemimpinannya hanya diributkan dengan tarik-menarik politik dan saling jegal. Lagi-lagi, yang dirugikan tentu saja rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan politik.
Berdasarkan uraian di atas, partai politik tak bisa lagi diandalkan sebagai sumber rekrutmen pemimpin nasional dan daerah karena dalam menjalankan peran dan fungsinya partai politik tidak mampu melakukan rekrutmen dan kaderisasi secara konsisten, berjenjang, dan terstruktur. Situasi tersebut seharusnya mendorong adanya upaya politik hukum penguatan kaderisasi dan rekrutmen partai politik melalui revisi Undang-Undang partai politik. Salah satu isu penting revisi tersebut adalah syarat dan periodisasi keanggotaan partai politik menjadi factor filter (prasyarat) pencalonan kepala/wakil kepala daerah. Idealnya lembaga eksekutif adalah salah satu ruang distribusi kader bagi partai politik. Bahkan menjadi Kewajiban calon kepala daerah menjadi anggota partai politik karena sejatinya kekuasaan partai politik berada di legislatif dan eksekutif agar tercipta check and balances dalam pemerintahan baik pusat maupun daerah. Dengan demikian tidak ada kepala daerah yang tidak memiliki partai politik kecuali jika melalui jalur independen.
Dalam Konteks Pilkada, Partai politik harus melihat kontestasi ini bukan semata-mata masalah proyeksi kekuasaan; jabatan kepala atau wakil kepala daerah yang akan diperoleh; berapa dana yang akan disetor oleh kepala daerah yang didukungnya untuk Pemilu yang akan datang. Sehingga partai politik seharusnya dapat melepaskan diri dari cara pandang yang sempit dan pragmatis . Partai politik harus memperhatikan proses kaderisasi dan rekruitmen sebagai basis sumber kepemimpinan daerah. Partai politik tidak boleh gagal menghasilkan dan mendukung kader internal yang memiliki kapasitas dan kapabiltas agar kedepan tidak ada lagi calon tunggal yang melawan kotak kosong dalam penyelenggaraan Pilkada.