MAKASSAR, PIJARNEWS.COM — Salah satu problem besar yang dihadapi pemerintah adalah persoalan inflasi. Kenaikan harga komunitas dikhawatirkan menambah susah hidup masyarakat. Namun di Makassar, berdasar data BPS justru mengalami deflasi yang cenderung stabil.
Makassar menjadi tujuh kota di Indonesia yang mengalami deflasi tertinggi. Hal ini dikemukakan Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan Nursam Salam via aplikasi pesan singkatnya kepada Wali Kota Makasar sekaligus menyampaikan selamat atas prestasi tersebut.
“Alhamdulillah, Makassar hebat. betapa tidak dalam menghadapi bulan ramdhan justru inflasi, dan masuk tujuh (7) besar kota di Indonesia yang mengalami deflasi tertinggi,” tulisnya Jumat, (2/6/17).
Sekedar diketahui, deflasi sendiri merupakan kebalikan dari inflasi yakni sebuah fase dimana harga barang jatuh dan nilai uang bertambah. Jika inflasi terjadi karena melonjaknya harga kebutuhan pokok di atas normal maka deflasi adalah kondisi pada umumnya harga barang mengalami penurunan.
Sementara itu, Danny yang menerima pesan tersebut usai menggelar buka bareng 5.000-an kaum dhuafa dan anak yatim se-kota Makassar di Pantai Losari menyampaikan rasa syukur mendalam. Ia menganggap capaian itu merupakan kerja keras bersama seluruh elemen masyarakat dan birokrasi lingkup Pemkot Makassar.
“Alhamdulillah, satu lagi keberkahan bulan ramadhan yang diperoleh kota ini. Hal ini tentu tidak lepas dari kerja keras dan kekompakan kita bersama didukung berbagai elemen masyarakat,” paparnya singkat.
* Data BPS
Sebelumnya, BPS Sulsel telah melaksanakan penghitungan Inflasi Sulsel selama bulan Mei. Penghitungan ini didasari pada hasil survei Indeks Harga Konsumen yang dilakukan pada pasar tradisional dan pasar modern di 5 kota yakni, Bulukumba, Watampone, Makassar, Parepare dan Palopo.
Hasil survei ini menunjukkan bahwa telah terjadi deflasi di Sulawesi Selatan sebesar 0,24 persen, atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 128,26 pada April 2017 menjadi 127,95 pada Mei 2017.
“Tingkat inflasi tahun kalender (Januari-Mei) 2017 sebesar 1,78 persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun (Mei 2017 terhadap Mei 2016) sebesar 3,95 persen,” kata Nursam.
Nursam mengatakan, terjadinya deflasi di Sulawesi Selatan pada Mei 2017 disebabkan oleh turunnya harga dan bahan makanan sebesar 1,34 persen, kelompok sandang turun sebesar 0,16 persen dan kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan turun hingga 0,03 persen.
“Sedangkan empat kelompok lainnya mengalami inflasi, yaitu kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,13 persen, kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar 0,31 persen, kelompok kesehatan sebesar 0,03 persen, rekreasi dan olahraga 0,10 persen. Angkanya tidak lebih besar dari deflasi yang terjadi. Makanya secara kumulatif deflasi,” ungkap Nursam.
Beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga pada Mei 2017 antara lain, bawang putih, tarip listrik, daging ayam ras, telur ayam ras, wortel, kue kering berminyak, bensin, rokok kretek filter, rokok putih dan ikan mujair.
Sedangkan komoditas yang mengalami penurunan harga diantaranya, cabai rawit, tomat sayur, tomat buah, ikan layang, bawang merah, tarip pulsa ponsel, gula pasir, emas perhiasan, kol putih atau kubis dan kentang.
Kelompok komoditas yang memberikan andil deflasi pada Mei 2017, yaitu kelompok bahan makanan sebesar 0,319 persen kelompok sandang 0,012 persen, kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 0,0055 persen.
Sedangkan yang memberikan sumbangan inflasi, yaitu kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,0206 persen; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,0704 persen, kelompok kesehatan 0,0030 persen; dan kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga 0,0054 persen.
* Dampak Inflasi
Timbulnya inflasi berdampak sebagai sesuatu yang merugikan atau memberatkan masyarakat. Hal ini karena inflasi akan menyebabkan menurunnya investasi, mendorong kenaikan suku bunga, spekulasi penanaman modal, terhambatnya pembangunan ekonomi, defisit neraca pembarayan, ketidakstabilan ekonomi, dan menurunnya kesejahteraan masyarakat.
Bank Indonesia sendiri dengan mengamati berbagai gejolak dalam negeri seperti anomali iklim dan kenaikan tarif listrik, mengkhwatirkan berdampak pada naiknya inflasi. Belum lagi menghadapi lonjakan kebutuhan di bulan ramadhan yang juga bisa memicu kenaikan harga bahan pokok.
Hal ini tentu menjadi perhatian khusus bagi setiap kepala daerah (pemerintahan) karena pada tingkat inflasi yang parah dan tidak terkendali akan berakibat kacaunya perekonomian. (ris)