Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tonapallangga (1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sang raja melewati daerah-daerah perbukitan, tanah miring, dan semak belukar liar. Di tengah perjalanan, dari puncak bukit raja memandang hamparan laut lalu spontan berkata: “Bajiki ni pare” (bagus disini dibuat), yang dimaksudkan bagus dibuat oleh Raja adalah pelabuhan. Sejak itulah melekat nama Parepare yang entah beberapa tahun atau abad setelahnya menjadi tempat orang-orang Melayu datang berdagang.
Parepare dari sisi geografis berjarak lebih kurang 155 kilometer dari Makassar. Dengan pelabuhan sebagai prasarana utama, perdagangan menjadi focal point. Dari sisi timur pelabuhan kira-kira sepanjang satu kilometer jalan Pinggir Laut terdapat pusat perdagangan masyarakat yang disebut Pasar Senggol. Pasar yang dihuni oleh bermacam-macam jenis usaha makanan dan pakaian–loakan atau baru. Menyisi jalan itu kita seperti menyusur kota buku jalan Yasukuni-dori di Kanda-Jimbocho, Tokyo, Jepang.
Kanda-Jimbocho seluas 16.500 persegi. Bangunan-bangunan tua dari masa sebelum Perang Dunia II berjejer di kiri kanan jalan. Sisi selatan jalan itu adalah rumah bagi sekitar 136 toko buku tua, buku langka dan buku bekas. 30 toko buku baru, 25 agen distribusi, dan sejumlah besar perusahaan penerbitan dan editing. Buku demi buku terpajang sepanjang setengah kilometer di jalan Yasukuni yang lebar. Inilah bagian kota lama Tokyo yang merupakan pusat perbukuan Jepang semenjak abad kesembilan belas.
Sejarah Kanda-Jimbocho sebagai kota buku dimulai pada masa Restorasi Meiji tahun 1880-an. Pada 1887, dari 131 anggota Asosiasi Perdagangan Buku Tokyo, 15 di antaranya beralamat di Kanda. Sembilan tahun kemudian, angka statistik itu meningkat menjadi 104 dari 384 anggota. Data tersebut menunjukkan cepatnya pertumbuhan usaha perbukuan di daerah Kanda. Setiap akhir bulan Oktober puluhan ribu orang tumpah di sana selama dua hari untuk mengikuti Festival Buku Tua Kanda. Orang-orang saling berdesakan untuk menjangkau buku-buku pilihan mereka yang dijual dengan harga lebih murah dari hari-hari biasanya. Demikian yang dituliskan di Ruang Baca Tempo edisi 2 November 2002.
Parepare tahun 1950-an, Pustaka Akademia adalah satu-satunya toko buku. Dari tahun tersebut hingga saat ini, toko buku di Parepare masih hanya satu–timbul tenggelam. Keadaan ini mungkin mengisyaratkan bahwa kaum pelajar dan sebahagian besar masyarakat di kota itu tidak mengenal buku langka tapi langkanya buku.
Dikabarkan bahwa rata-rata masyarakat Jepang membaca buku 0-15 buku /tahun. Amerika Serikat terbiasa membaca 10-20 buku /tahun. Indonesia 0-1 buku/ tahun. Dengan demikian kita bisa mengira-ngira sejauh mana ketertinggalan kita dalam dunia buku.
Buku adalah benda mati yang ‘dihidupkan’ dengan dibaca. Tidak hanya sekedar kendaraan pengetahuan, tetapi juga menyiratkan suatu kisah evokatif. Masyarakat yang mengharapkan kemajuan, buku adalah alatnya. Benda pusaka utama.
Seumpama buah, daging kadang tercermin dari penampilan sisi luarnya. Jika kulitnya rusak atau busuk, busuk pulalah dagingnya. Akan halnya masyarakat yang kadang mencerminkan daerah tempat tinggalnya. Atau daerah tempat tinggal yang mencerminkan masyarakatnya. Kalau masyarakat atau daerah hunian tidak mengakrabi buku, seyogianya bisa dikatakan mereka dalam kondisi yang mengenaskan. Para ustaz menyebutnya Jahiliyah.
Masyarakat Parepare pada dasarnya adalah epigon hal-hal sensasional. Kalau kita mengulur waktu 3 tahun belakangan, bagaimana berjamurnya bisnis minuman ice bubble, kafe atau warkop, sablon dan batu akik yang mampu merambat hingga daerah pinggiran. Peristiwa demikian adalah sebuah fenomena sosial. Setidaknya fenomena itu terbangun oleh dua faktor; (1) usaha tersebut cukup menguntungkan dan (2) konsumtif masyarakat yang memang tinggi. Bisakah usaha perbukuan mengalami hal serupa?
“Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi,” kata Tan Malaka. Parepare sebagai daerah transit cukup punya peluang sebagai pusat distribusi buku ke berbagai daerah. Pasalnya, biaya pengiriman buku dari luar pulau dapat ditekan ketimbang melalui pesawat. Di samping itu, ketidakhadiran toko buku di wilayah Ajatappareng lainnya adalah peluang yang cukup menjanjikan.
Sayangnya, anggapan calon pengusaha kita–usaha toko buku bukanlah bisnis profitbel. Jika minat baca rendah, maka keinginan membeli buku juga demikian. Telah lebih kurang 63 tahun, masyarakat kota ini memiliki distansi yang jauh dengan buku. Sampai kapan?
Ilo ID nama pena dari Ilham Mustamin. Asal Parepare.
Mulai belajar menulis sejak 2015. Tulisan lainnya berupa karya bersama Komunitas Parepare Menulis: Benarkah Menantuku Parakang? (Kumcer, 2017) dan Belajar Memecah Kenangan (Antologi Puisi, 2017).