
Makassar – Pagi hari, Mustari sudah mulai sibuk menyambut para nasabah untuk memarkir kendaraannya. Lelaki 54 tahun itu lengkap dengan pakaian orange dan sempritan sebagai penanda ia adalah juru parkir di depan sebuah bank di bilangan Jalan Veteran Utara, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Mustari mengaku untuk memenuhi kebutuhan seorang istri dan empat anaknya, juru parkir salah satu pekerjaan yang mudah dilakoni Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) di Kota Makassar. Apalagi ia sudah mengalami kecacatan di bagian tangan.
“Memang tidak ada menerima kita yang mengalami kusta itu. Sangat sulit. Kalau parkir kan maksudnya tidak terlalu dibebani, kalau kantor kan memerlukan ijazah, sedangkan kita kan tidak memenuhi standar ijazah ta’. Kalau yang sudah cacat tingkat tiga ini susah mau bekerja di kantor,” kata Mustari.
Mustari menceritakan pertama kali terjangkit penyakit kusta saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Kurang memahami gejala penyakit kusta, menjadi alasan untuk tidak melakukan pemeriksaan di layanan kesehatan dengan cepat dan tepat.
“Saya itu sekolah sudah terkena (kusta), ada belang-belang, plak-plak di tubuh saya. Waktu itu saya belum kenal kusta. Membiarkan penyakit itu berkembang di tubuh saya. Nanti inkubasinya dua sampai tiga tahun baru terasa. Waktu saya di SMA, saya merasa nyeri dan saya periksakan ke dokter, ternyata saya di vonis kusta,” ujar Mustari.
Mengetahui dirinya terjangkit penyakit kusta, Mustari merasa hilang kepercayaan diri karena di lingkungan keluarga dan keturunannya tidak ada yang mengalami kusta dan ia memutuskan untuk berhenti melanjutkan pendidikan.
“Waktu itu terganggu saya punya pemikiran (jiwa). Akhirnya saya tinggalkan sekolah-ku itu dan pergi merantau ke Palopo. Stigma kusta masih ada. Saya tinggal sama orang (dititipkan). Saya pikir untuk menjaga keluarga itu, makanya saya tinggalkan,” kenang Mustari.
Tahun 1980-an, stigma kusta masih kuat di masyarakat membuat ia tertekan. Kurangnya pengetahuan terkait penyakit kusta membuat orang yang mengalami kusta tertekan dan minder.
Self stigma atau cara pandang yang menilai negatif terhadap dirinya sendiri yang dialami Mustari membuat ia meninggalkan kampung halamannya. “Stigma-nya dari perasaan, bukan stigma dari dia. Bukan. Perasaan sendiri. Kan ada self stigma dan stigma. Self stigma itu perasaan sendiri yang selalu mau minder, kadang merasa takut. Akhirnya saya tinggalkan kampung itu untuk merantau,” jelasnya.
Di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, ia merasa tenang. Jauh dari keluarga. Bergaul dengan masyarakat hingga ia menikah. Mustari mendapat dukungan dan motivasi dari tenaga kesehatan bahwa penyakit kusta bisa sembuh kalau cepat diobati.
“Jiwa saya tenang, akhirnya saya berobat. Berobat ke salah satu Mantri (perawat kesehatan). Diobati. Datang selalu antarkan obat ke rumah. Waktu itu perasaan saya sudah legah,” katanya.
Perjuangan Mustari belum selesai. Kurang memahami dan memperhatikan cara pengobatan penyakit kusta yang tepat membuat tangannya mulai merasakan ngilu dan nyeri. Apalagi kala itu obat sulit didapatkan di desa tempat tinggalnya. Akhirnya Mustari memilih kembali merantau ke Makassar untuk berobat.
“Kempes bagian tangan karena tidak teratur. Pengalaman saya berobat itu putus-putus. Kadang saya minum kadang tidak. Kadang kalau saya ingat baru saya minum. Umpamanya tipe pausi basiler (PB) harus rutin enam bulan. Kalau multi basiler (MB) satu tahun, bisa sampai delapan belas bulan. Itu tidak boleh putus,” kenangnya.
Suara lain datang dari Agus Wala, Orang yang Pernah Mengalami Kusta, yang juga Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta (PerMata), Kota Makassar. Semenjak di vonis kusta, Agus berjuang tanpa lelah, berobat hingga ia sembuh meskipun kakinya terpaksa harus diamputasi.
Usia remaja, saat masih duduk di kelas tiga SMP harus ia jalani dengan menderita penyakit kusta. Tanpa pengetahuan lebih tentang penyakit kusta, Agus bahkan mendapatkan stigma dan diskriminasi.
“Jadi untuk tipe saya ini hampir orang kampung tidak tahu bilang ini kusta. Selalu bilang karena ini angin atau guna-guna (ilmu sihir). Bahkan dalam keluarga pun tidak ada yang terima,” ujar Agus.
Atas bantuan mantri, Agus melakukan pemeriksaan di Puskesmas di Kabupaten Maros. Meski terlambat dan harus tertutup untuk menghindari stigma kepada keluarganya yang saat itu menjadi kepala Dusun. Bahkan, ia hampir putus sekolah.
“Karena orang di kampung itu paling takut yang namanya kandala (penyakit kusta). Itu kan takut menyampaikan seperti itu. Akhirnya saya terlambat (berobat),” katanya.
Di tahun 1988, meski orang tua tidak mendukung melakukan pengobatan ke dokter. Agus memilih jalan sendiri dan berobat di Rumah Sakit Kusta Daya Makassar. Pihak keluarga bahkan tidak yakin, bahwa ia menderita penyakit kusta.
“Lambat. Karena orang di kampung tidak tahu kalau kusta juga ini. Yang dia tahu di kampung itu kusta basah yang benjol-benjol di mukanya. Kurang informasi bahwa kusta itu ada dua macam,” imbuhnya.
Tak berselang lama berobat di Rumah Sakit Kusta Daya Makassar, Agus kembali ke rumah. Ia pikir setelah dari pengobatan ini sudah sembuh. Agus masuk ke rumah sakit karena faktor luka dan mati rasa.
“Ini kan tidak terasa. Saya kembali melakukan aktivitas. Main bola, main bulu tangkis dengan teman-teman di kampung. Akhirnya kambuh lagi. Saya masuk kembali ke rumah sakit untuk perawatan luka. Tahun 1989, berselang setahun kemudian. Bahkan saya di rumah sakit itu sudah hampir keluar masuk dari tahun 1988 sampai saya diamputasi baru saya tidak masuk rumah sakit (lagi),” tuturnya.

Kusta bisa sembuh. Meski sudah mengalami kecacatan, dorongan keluarga terdekat membuat Mustari tidak patah semangat untuk melanjutkan pengobatannya.
“Terus diberi dorongan (berobat) dari istri saya, bahwa penyakit kusta itu tidak apa. Dia kan orang sehat. Saya jalani. Saya kembali ke Makassar. Tahun 2000, saya masuk kesini bersama anak dengan istri,” ujar Mustari, warga yang saat ini tinggal di kawasan Kompleks Kusta Jongaya, Jalan Dangko Lorong 31, Kelurahan Balang Baru, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Setelah sembuh, Mustari memilih pekerjaan menjadi juru parkir dan pengayuh becak. Saat ini, ia fokus menjadi juru parkir di kawasan perkantoran Jalan Veteran Utara Kota Makassar.
Stigma kusta adalah penyakit kutukan dan sulit disembuhkan membuat para penderita dan orang yang pernah mengalami kusta dikucilkan. Stigma memicu ketakutan yang berlebihan terhadap kusta atau keberadaan penderita kusta di masyarakat.
Untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi. Tahun 2007, Mustari bersama Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) di Kompleks Kusta Jongaya berhimpun dan mendirikan organisasi Perhimpunan Mandiri Kusta (PerMata) Makassar.
“Pada tahun 2000 itu stigma masih banyak. Orang memberi uang itu dilempar-lempar. Takut dengan orang kusta. Karena belum ada pengalaman masyarakat itu. Dengan lahirnya PerMata kita menerobos ke pemerintah, ke masyarakat ke berbagai kalangan untuk mempromosikan bahwa kusta bisa sembuh tanpa mengalami cacat jika segera diobati,” terang Mustari.
Mustari maklum jika ada warga menjauhi orang yang pernah mengalami kusta. Apalagi bagi mereka yang belum memahami tentang kusta. “Kita maklumi-lah. Dia belum paham tentang penyakit kusta. Itulah yang perlu kita dekati. Memberi informasi tentang kusta yang sebenarnya pada mereka, supaya mereka paham. InsyaAllah mereka tidak takut lagi tentang penyakit kusta,” serunya.
Kampanye ‘kusta bisa sembuh’didorong oleh PerMata untuk mengikis stigma dan diskriminasi kusta di masyarakat sehingga mereka bisa hidup layak dan berdampingan seperti masyarakat lainnya.
Hari Disabilitas 2 Desember 2021 lalu, PerMata Makassar ikut menyuarakan pesan kepada masyarakat bahwa kusta itu bisa sembuh. Stop stigma dan diskriminasi. Dan kami (kusta) tidak minta untuk dikasihani! Tapi terima kami sebagaimana adanya.
“Artinya betul-betul inklusif. Jangan cuman dikatakan, tapi muncul pada masyarakat itu bahwa sesungguhnya orang yang pernah mengalami kusta itu bisa melakukan apa yang bisa dia lakukan,” ujar Agus Wala, Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta (PerMata) Makassar saat ditemui di Kompleks Kusta Jongaya Makassar.
Melalui PerMata mereka terus mendorong dan mengkampanyekan bahwa kusta itu bisa sembuh dan orang kusta juga bisa beraktivitas seperti yang lain.

Salah satu dokter konsultan kusta di Indonesia yang ada di Sulawesi Selatan dr. Eny Setiyawati mengatakan kusta disebabkan oleh kuman yang kita kenal dengan kuman kusta atau bakteri Mycobacterium leprae. Kuman kusta menyerang kulit dan saraf tepi.
“Itu kenapa terkadang menimbulkan stigma karena kalau terlambat diobati dan yang diserang adalah saraf tepi, menimbulkan kecacatan sebelum diobati. Itu orang belum banyak tahu, kenapa dia kok cacat,”ujar Eny.
Pemeriksaan kusta harus diperiksa secara sistematis. Bisa menggunakan cahaya matahari langsung untuk melihat bercak. Bercak ini akan berbayang kalau menggunakan cahaya lampu atau cahaya matahari.
“Kenapa harus diperiksa semua, karena beda satu bercak saja itu nanti akan berbeda. Bisa berbeda diagnosa, bisa juga berbeda klasifikasinya. Otomatis kalau berbeda diagnosa, beda klasifikasi pengobatannya pun akan berbeda,” kata Eny.
Menurut dokter Eny, untuk mendiagnosa kusta, kita harus mendapatkan satu dari tiga tanda utama atau cardinal sign. Seperti bercak yang mati rasa, penebalan saraf tepi disertai dengan gangguan fungsi dan Bakteri Tahan Asam (BTA) positif.
“Kita tidak perlu dapat semuanya untuk dapat mendiagnosa, kita hanya perlu dapat satu saja. Jadi kalau kita sudah dapat bercak mati rasa kita sudah bisa mendiagnosa kusta,” kata Eny.
Dokter Eny mendorong peran masyarakat untuk melakukan skrining tanda-tanda awal terjadinya kusta itu penting dilakukan sehingga jika cepat ditemukan dan berobat tidak menimbulkan kecacatan.
“Biasanya kusta itu cacat memang karena terlambat ditemukan. Terlambat ditemukan itu bisa karena banyak faktor, bisa secara pribadi karena masih ada stigma. Stigma itu kan bisa stigma masyarakat, bisa diri sendiri. Jadi ada juga orang oh bukan kusta kok, sakit kulit biasa. Itu ditunda, ditunda sampai akhirnya muncul kecacatan baru ngeh bahwa ini kusta,” ujarnya.
Faktor lain disebut dokter Eny adalah adanya stigma di masyarakat yang menganggap bahwa kusta itu penyakit kutukan atau penyakit keturunan. Kemudian terlambat dari pencarian juga. “Kan ada juga biasa kalau ada tanda-tanda gitu, orangnya dijauhkan akhirnya tidak terjangkau oleh fasilitas kesehatan. Tapi sekarang lumayan bagus. Kenapa? Karena stigma juga sudah mulai turun. Kemudian tenaga kesehatan pun nyari-nya lewat kader kan,” katanya.
Pentingnya dilakukan pengobatan terhadap penderita kusta, sehingga tidak menularkan kepada orang lain. Kusta bisa sembuh dengan mengkonsumsi obat yang sudah disediakan di fasilitas pelayanan kesehatan.
“Penularannya itu keluar dari orang yang kena kusta itu dari pernafasan, tapi itu pun harus dengan kontak yang erat dan lama. Jadi kalau kontaknya tidak erat dan tidak lama ya kemungkinan tidak tertular juga,” ujar Eny.
Ada enam faktor yang menentukan terjadinya kusta. Diantaranya kuman yang masih hidup. Sumber penularannya, manusia yang kena kusta yang belum berobat. Lewat sel pernapasan atas melalui kontak erat dan lama. Jadi harus kontak erat dan lama. Kemudian cara masuknya yang ketiga adalah orangnya sendiri. Ini dipengaruhi oleh kekebalan seluler.
“Terkadang orang tuanya memang kusta tapi anaknya kok tidak. Karena dia sudah diobati, jadi tidak mampu menularkan ke anaknya atau anaknya berada pada kekebalan tubuh yang tinggi. Tapi ada kasus orangtuanya kusta misalnya kenapa anaknya juga berarti dia menularkan sebelum diobati. Jadi intinya memang harus diobati cepat. Temukan dini, obati dini,” tegasnya.
Di Kota Makassar, upaya penanggulangan kusta melalui sosialisasi ke masyarakat tentang bahaya kusta dan apa gejalanya terutama memberitahukan informasi bahwa kusta adalah penyakit yang menular tetapi dia bisa disembuhkan jika mendapat pengobatan yang tepat dan cepat.
Data Dinas Kesehatan Kota Makassar memperlihatkan pada tahun 2018 angka kecacatan 12 kasus, 2019 berkurang 6 kasus, 2020 berkurang menjadi 3 kasus. Sejalan dengan penemuan kasusnya, karena untuk 2020 hanya sedikit kasus yang ditemukan. Dari 107 kasus, ada 3 diantaranya yang sudah ditemukan dalam keadaan cacat.

mengatakan layanan kesehatan kusta sudah tersedia di semua Puskesmas di Makassar dan untuk pengobatan kusta yang perlu penanganan khusus bisa dirujuk ke Rumah Sakit Khusus Tajuddin Chalid Makassar.
“Adapun kalau misalnya pengobatan yang simple atau belum sampai ke tahap adanya cacat yang perlu penanganan khusus yang sudah dipakaikan protesa seperti itu. Bisa di Puskesmas. Semua Puskesmas bisa mendeteksi, mendiagnosa seseorang itu kusta apa tidak dan obatnya juga semuanya tersedia di Puskesmas. Gratis,” ujar dr. Mariyani.
Untuk menghindari kecacatan, melalui program Puskesmas Kota Makassar melakukan deteksi dini pada anak sekolah. Saat turun melakukan imunisasi dan vaksinasi juga dilakukan pemeriksaan bercak kusta pada anak sekolah.
“Supaya apa. Supaya kita bisa misalnya memang ada yang kira-kira dicurigai kusta itu bisa segera langsung diperiksa dan bisa langsung segera diobati kalau memang positif kusta. Karena kita tidak mau terlambat ditemukan,” katanya.
Menurut dokter Mariyani kusta bisa sembuh asalkan berobat. Kecacatan terjadi karena terlambat ditemukan dan berobat sehingga menjalar ke sistem syaraf.
“Jadi kalau sudah kena sarafnya. Tidak bisa diperbaiki lagi. Pada saat sudah kena di sistem saraf, kemudian baru ditemukan dan baru berobat. Minum berapa banyak obat pun, barangkali kumannya mati, tapi cacatnya tidak akan pulih lagi,” ujarnya.
Di Kompleks Kusta Jongaya Makassar, terbentuk satu komunitas orang yang pernah mengalami kusta. Karena mereka berada dalam komunitas yang rapat, kontak erat dan lama,
“Selalu diingatkan untuk melakukan pemeriksaan sendiri dan harus aware (menyadari) tentang gejala-gejala yang ada. Supaya sebelum dia terlambat, cepat memang ditemukan,” pesan dr. Mariyani.

Kompleks Kusta Jongaya Makassar berdiri 1936 pada saat masa penjajahan Belanda. Kompleks ini didirikan untuk penderita kusta diatas tanah wakaf pemberian bangsawan Kerajaan Gowa untuk ditinggali oleh para penderita kusta yang selama ini dikucilkan masyarakat termasuk keluarganya.
Saat ini, Kompleks Kusta Jongaya dihuni sekitar 400 orang dari 70 kepala keluarga. Mayoritas penderita kusta yang datang ke kompleks ini berasal dari daerah di Sulawesi Selatan dan Indonesia Bagian Timur.
“Dulu sebenarnya kampung ini ada seorang anak karaeng yang mengalami juga seperti ini (kusta) di wakafkanlah tanah ini untuk semua penderita. Jadi semua yang pernah mengalami kusta itu dia masuk disini,” ujar Agus.
Sebagian warga Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) masih mengemis di jalan-jalan kota. Meski kerap di razia oleh petugas dari Satpol PP Kota Makassar, mereka tetap turun ke jalan demi kebutuhan hidupnya.
Menurut Agus sejumlah warga yang masih mengemis di jalan, karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi keluarga. Untuk memutus rantai itu, Agus mendorong pemerintah untuk memberdayakan keluarga dan anaknya sehingga mereka juga hidup layak.
“Sebenarnya tidak ada yang mau mengemis pak. Cuma karena dia juga punya anak dan istri untuk dihidupi terpaksa dia lakukan itu. Memberikan bantuan kepada mereka. Apa yang dia suka. Supaya dia juga bisa hidup layaknya. Kalau yang ada anaknya, tolong diberdayakan. Carikan pekerjaan. Disini kan kita terkendala pendidikan,” harap Agus.
Kementerian Kesehatan memasukkan kusta dalam neglected tropical disease (NTD) penyakit tropis yang terabaikan dan tidak banyak menjadi perhatian oleh orang banyak. Faktor ekonomi menjadi hal yang harus menjadi perhatian, terutama bagaimana memberdayakan orang yang pernah mengalami kusta dan keluarganya.
“Nah ini barangkali harus disadarkan lagi masyarakat bahwa ini juga sambil membantu memberdayakan mereka daripada di jalan minta-minta. Boleh dibilang itumi yang hal yang terakhir yang sebaiknya dilakukan. Tetapi misalnya mereka bisa memberdayakan dirinya sendiri itu akan jauh lebih baik dan mereka pasti punya nilai lebih,” tambah dokter Mariyani.
Kota Makassar menargetkan pada 2025 menjadi kota bebas kusta. Data Kementrian Kesehatan RI mengungkap ada 16.704 kasus kusta aktif di Indonesia. Tahun 2020 di Kota Makassar dari 107 kasus yang ditemukan, ada 3 diantaranya yang ditemukan dalam keadaan cacat.
“Tapi itu sudah sesuai target dari pusat. Harusnya dia dibawah satu per seribu penduduk dan kita dengan jumlah penduduk 1,5 juta dengan 2020 itu kita ada 107 kasus baru yang ditemukan. Nah ini berkurang sih dari sebelumnya, 178 di tahun 2019. Pas masuk pandemi 2020 berkurang 107,” ujar dr Mariyani.
Namun data itu, kata dokter Mariyani masih perlu dilakukan skrining massal. Berkurangnya data kusta bisa dipengaruhi karena orang tidak mau mengakses fasilitas kesehatan. Apalagi 2020 awal kita sangat dihebohkan dengan Covid-19.
Untuk melakukan pemeriksaan kusta, Dinas Kesehatan menyediakan layanan di semua Puskesmas di Kota Makassar dan berjejaring dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Jika ditemukan kusta, akan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Makassar untuk mendapatkan obat gratis.
“Kan banyak yang ke doker kulit. Dikiranya panu. Pas mereka melakukan pemeriksaan dengan dokter ahli bahwa ini rupanya kusta. Ini biasanya mereka harus minta obatnya. Karena obatnya obat program ya, semua gratis. Mereka ambil obatnya dan melaporkan juga ke kami di Dinas Kesehatan Kota Makassar,” kata Mariyani.
Untuk menargetkan eliminasi kusta di Sulawesi Selatan, khususnya di Kota Makassar perlu didapatkan sebanyak-banyaknya dan diobati secepat-cepatnya. Kurang didapatkan kasus kusta, karena tidak ada yang dapat diperiksa atau tidak aktif mencari untuk kantong-kantong tempat pemeriksaan.
Yang dikhawatirkan dari penyakit kusta adalah kecacatannya. Kecacatan itu terjadi kalau terlambat ditemukan. Jadi supaya seseorang itu tidak sampai cacat ia harus ditemukan sedini mungkin.
“Bisa sembuh dan bisa tidak cacat. Dan bisa sembuh seperti sedia kala sama sekali. Ada keberhasilannya cukup besar apabila memang dia rutin berobat, tidak mangkir, tidak putus dan cepat diobati. Cepat ditemukan dan diobati,” kata Mariyani, Kepala Seksi Penanggulangan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kota Makassar.
Selain itu, kata dokter Eny Setiyawati penanganan kusta adalah tanggungjawab bersama bukan hanya dari petugas kesehatan dan dibutuhkan kebijakan yang berpihak untuk penanganannya. Yang tidak kalah penting adalah peran masyarakat sendiri.
“Di Jongaya ada (organisasi) PerMata juga memiliki peran besar. Kenapa? Karena beliau-beliau ini pernah mengalami kusta. Jadi, mereka bisa sharing apa yang mereka rasakan. Apa yang selama ini mereka hadapi, jadi bisa secara interpersonal memberikan semangat kepada penderita kusta,” ungkas dr. Eny Setiyawati.
Laporan: Nurdin Amir (Makassar)