OPINI–Ku awali tulisan ini dengan mengajak kita memaknai kata ‘Cakar’ yang boleh dikata merupakan sesuatu yang identik dengan kota kita tercinta, Kota Kerinduan, Parepare. Sepertinya identitas kota rindu tak lepas dari romantisme pakaian lawas yang dijual di Pasar Senggol yang tak lain merupakan pakaian bekas.
Sebenarnya tak melulu soal pakaian lawas, bahkan hari ini para penjual Cakar di Pasar telah memahami makna tren dan mulai mengelompokkan harga pakaian berdasarkan merk dan kualitasnya.
Persis seperti pedagang thrifting atau cakar di media sosial, hanya persoalan ruang dan waktu saja yang menjadi pembeda.
Sebelum itu, istilah Cakar sendiri merupakan akronim dari Cap Karung. Di banyak daerah, khususnya Indonesia Timur menggunakan istilah ini untuk menunjukkan pakaian bekas yang dibawa dalam bentuk karungan.
Pakaian-pakaian ini diambil dari luar negeri, berisi pakaian-pakaian yang sebagian besarnya berasal dari brand ternama yang dijual dengan harga yang terjangkau. Jarak antara harga baru dengan harga Cakar yang relatif jauh menjadikan Pakaian Cakar diminati banyak kalangan.
Di Parepare sendiri, terdapat sejajaran penjual pakaian cakar yang terdiri dari puluhan kios yang menjual beragam jenis pakaian, mulai dari baju kaos, kemeja, celana panjang hingga pakaian dalam khusus wanita. Tak terkecuali sepatu-sepatu ternama yang dipajang di depan gerbang masuk pintu ke 5 pasar Senggol dengan harga yang membuat kita geleng-geleng kepala, saking murahnya.
Pakaian cakar nampaknya bukan lagi menjadi hal yang eksklusif di masyarakat kita. Tapi, pernahkah kita membayangkan bagaimana bila yang dijual bukan hanya pakaian cakar, tapi juga buku Cakar?
Berbelanja Buku Bekas di Parepare
Sesuai namanya, buku ‘Cakar’ berarti buku bekas yang masih layak baca dan dijual kembali di toko buku Interaksi Parepare. Sebagaimana pakaian Cakar, hanya saja kata dasarnya yang berbeda. Kalau sebelumnya Cakar berarti Cap Karung, di dunia perbukuan Cakar dimaknai Cap Kardus. Kesamaannya adalah metode membawa bukunya yang dibawa menggunakan wadah besar, hanya saja memakai kardus bekas.
Sebenarnya di daerah lain, buku bekas telah marak di perjual-belikan. Di Jakarta, Bandung, Jogja dan beberapa kota lainnya terdapat beberapa kios penjual yang khusus memperdagangkan buku-buku bacaan dalam kondisi bekas.
Persoalannya selalu sama, harga buku baru dianggap cukup mahal bagi beberapa pembaca, khususnya bagi pembaca yang ingin memiliki buku tersebut namun ketika melihat harganya membuat mereka mengelus dada. Sepertinya bukan karena tak mampu secara ekonomi, tetapi alokasi dana yang terbatas untuk kebutuhan lainnya, khusus Mahasiswa.
Sebagai alternatif, buku Cakar hadir untuk paling tidak memberi akses lebih kepada pembaca buku yang hendak memiliki buku layak baca dan harga yang relatif terjangkau.
Di toko Buku Interaksi, terdapat sebarisan buku-buku Cakar yang tersusun rapi. Genre buku-buku Cakar cenderung acak, sesuai dengan minat pembelinya. Meski jumlahnya yang relatif sedikit dibanding buku-buku baru, buku bekas memiliki segmen pembacanya sendiri. Boleh dikata ada beberapa puluh buku Cakar yang telah diperdagangkan di toko ini.
Hal yang menarik adalah sebagian besar buku Cakar merupakan titipan dari beberapa pembaca yang merasa tak lagi membutuhkan buku-buku ini, sehingga dengan menjualnya sedikit banyak membantu mereka mengumpulkan uang untuk membeli buku baru lagi.
Ini seperti membawa Cakar pasar senggol kedalam sebuah toko buku kecil yang baru berusia seumur jagung. Menciptakan pasar sendiri bagi para pembaca buku yang menguntungkan kedua belah pihak.
Ada beberapa alasan kenapa orang mau menjual buku bekasnya, ada yang merasa tumpukan buku di rak bukunya telah penuh sehingga tak muat lagi, ada yang hendak membeli buku baru, dan yang paling sedikit ironi, menjual buku lantaran memutuskan untuk berhenti membaca buku. Persoalannya karena urusan rumah dan pekerjaan yang tak memungkinkannya membaca buku.
Padahal bila diamati secara singkat, masyarakat Parepare cenderung memiliki waktu bersantai yang lebih besar. Namun, sebagian besar waktu santainya digunakan untuk hiburan seperti nongkrong atau bermain gim atau barangkali berkumpul bersama keluarga. Yahh, meskipun membaca buku bagi banyak kalangan termasuk hiburan bahkan jadi metode pengobatan untuk penyakit psikis.
Ada pula yang memilih menukarkan beberapa buku bekasnya demi membeli satu buku baru yang telah lama menjadi incarannya. Biasanya buku yang hendak ditukar ini merupakan buku yang jarang peredarannya di toko buku domestik. Yang menjadi pertimbangan lainnya adalah beban ongkos kirim yang mesti ditanggung pembeli bila hendak memesan buku ini dari Pulau Jawa.
Maka, menukar beberapa buku bekas dengan satu buku baru ini menjadi pertukaran yang ideal bagi kedua pihak.
Saya sempat menanyakan banyak hal kepada penikmat buku bekas, tak terkecuali alasan mereka membeli buku cakar. Tentunya, sebagian besar mengatakan kalau mereka membeli lantaran harga buku cakar yang terjangkau.
Kisaran harga buku Cakar bervariatif, berkisar 20.000 hingga 40.000. Beberapa diantaranya dibanderol dengan harga yang lebih dari setengah dari harga jualnya. Itu belum termasuk buku-buku langka yang harganya telah melonjak drastis, dapat dijumpai dengan harga yang terjangkau di sini.
Selain titipan, Toko Buku Interaksi juga menerima transaksi penjualan buku bekas yang masih layak baca. Ada beberapa pembaca yang menyepakati beli putus dengan toko. Banyak yang mengatakan kalau mereka tak memiliki opsi untuk mengamankan bukunya, lantaran rawan di pinjam dan tak dikembalikan lagi ke pemiliknya.
Sehingga menjual nampaknya menjadi lebih realistis ketimbang di pinjamkan ke orang lain, untuk buku yang kira-kira tak lagi dibutuhkannya. Bagaimana, tak tertarik mencicipi buku-buku Cakar di Toko Buku Interaksi?