ESAI — Musda Korps Alumni HMI atau KAHMI di Gedung UNM Parepare, Ahad pagi sampai siang, 7 Agustus, bisa dibayangkan banyak alumni HMI yang hadir di acara itu.
Panggilan Pak Doktor menjadi candaan peserta di sela-sela acara Musda KAHMI. Saya tidak hadir, tapi saya dapat cerita tentang panggilan Pak Doktor tersebut.
Cerita ini saya dengar langsung dari dua sahabat saya yang juga pengurus ICMI Parepare, pada hari Ahad malam di rumah ketua Dewan Pakar ICMI Parepare, (candidate Doctor) Taqyuddin Djabbar.
Cerita dua sahabat saya itu, ada peserta Musda KAHMI yang bercanda, pura-pura tidak tahu istilah Pak Doktor itu. Eh siapa itu pengurus KAHMI yang bernama pak Doktor?. Tanya yang bercanda itu.
Ooh itu panggilan kepada orang yang sudah menyandang gelar Doktor, jawab yang lain. Tentu jawaban ini sebenarnya si penanya sudah tahu maksud panggilan Pak Doktor itu, ya namanya juga bercanda.
Gelar lain yang disebut nama kesarjanaan akademiknya dalam pergaulan sehar-hari adalah dokter, disingkat dok. Sedangkan gelar lain tidak ada yang disebut untuk mengawali panggilan kepada orang itu.
Tidak ada sarjana pertanian yang dipanggil halo pak SP atau halo pak SH untuk yang bergelar sarjana hukum, demikian juga untuk gelar sarjana lain, tidak disebutkan nama gelar kesarjanaanya.
Hanya dua gelar sarjana yang biasa dipanggil dengan menyebut gelar akademiknya yaitu Doktor (S3) dan dokter (profesi). Bedanya, gelar Doktor tidak pernah disingkat menjadi Dok, sedangkan dokter, biasa dipanggil dok.
Bagaimana dengan gelar Professor?, tanya teman malam itu. Ooh itu bukan gelar kesarjanaan tetapi pangkat akademik tertinggi bagi dosen. Kata pak TQ, panggilan akrab Pak Taqyuddin Djabbar.
Prof adalah panggilan untuk memuliakan orang yang mengajar di S1, S2 dan S3, seperti halnya dosen sebutan untuk memuliakan pengajar di S1 dan guru untuk yang mengajar di TK/PAUD, SD, SMP dan SMA.
Selain ada Doktor yang diperoleh melalui jenjang pendidikan S3, ada juga gelar Doktor Honoris Causa, disingkat Doktor (HC), sebuah gelar kehormatan kesarjanaan kepada seseorang dari perguruan tinggi.
Orang yang bergelar Doktor (HC) tidak kuliah seperti mahasiswa S3.
Mahasiswa S3 itu belajar di dalam kelas 2 semester, kemudian mengikuti ujian prelium lisan dan prelium tertulis.
Setelah lulus dari dua ujian prelium tersebut, baru bisa lanjut ujian
proposal, penelitian, ujian hasil, menulis jurnal, dan ujian tutup serta ujian promosi. Normalnya sekitar 3 tahun atau 6 semester.
Tahapan tersebut, banyak dinamikanya. Pada saat ujian prelium tertulis, hasilnya bisa saja mahasiswa tidak lulus atau pada saat ujian prelium lisan, judul proposalnya ditolak oleh tim penguji.
Pada saat proses penelitian, literatur yang dibutuhkan terbatas, tempat penelitian tidak mau memberikan data atau sulit mengakses data yang dibutuhkan.
Pada saat selesai penelitian, mau berkonsultasi dengan promotor 1 dan promotor 2, salah satunya atau keduanya sulit ditemui karena sering ke luar daerah, menunggu di kantornya, tetapi tidak masuk kantor.
Opsi lainpun digunakan oleh mahasiswa, mendatangi rumah promotor itu, sudah menunggu lama di teras rumah, begitu ketemu, promotor tidak mau menerima mahasiswa kalau bukan di kantornya.
Kejadian lain di masa konsultasi hasil penelitian, pernah dialami teman saya, hubungan promotor 1 dan promotor 2 sedang bermasalah, ada konflik personal.
Masukan dari promotor 1 ditolak oleh promotor 2 atau sebaliknya.
Mahasiswa yang kena batunya, dilematis. Banyak waktu terbuang dan harus ada cara jitu untuk keluar dari perseteruan dua promotor tersebut.
Masa penelitian dan menulis hasil penelitian serta masa berkonsultasi atas hasil penelitan kepada promotor 1 dan promotor 2 merupakan masa yang paling banyak suka dukanya.
Pada saat menjelang ujian proposal, ujian hasil dan ujian tutup serta ujian promosi, harus dipastikan pembayaran SPP sudah lunas, jika masih menunggak, resikonya tidak bisa mengikuti ujian tersebut.
Bersamaan dengan itu, mahasiswa S3 harus sudah menyiapkan tulisan jurnal dan biayanya sampai dipastikan terbit sebelum ujian promosi, jika tidak, harus menunggu sampai terbitnya jurnal tersebut.
Urusan biaya pendidikan S3, salah satu tantangan yang tak kalah serunya selain urusan selama proses penelitian yang sulit mengakses data atau literatur yang terbatas serta bagaimana menghadapi promotor yang sedang berkonflik.
Setiap menghadapi tahapan ujian yang berjenjang itu, mahasiswa S3 harus siap kapasitas dan isi tas. Kapasitas digunakan untuk menjawab pertanyaan penguji dan digunakan untuk mengatasi rasa takut pada saat diuji.
Sedangkan isi tas digunakan untuk membayar uang ujian, membayar SPP setiap semester, dan biaya penggandaan foto copy serta biaya operasional yang tidak sedikit, terlebih bagi mahasiswa yang tinggal di daerah.
Mungkin ada alumni S3 yang dukanya lebih banyak daripada sukanya. Tetapi begitu proses yudisium selesai pada saat selesai ujian promosi dan dinyatakan lulus, masa-masa sulit itu sirna seketika.
Keharuan dan kegembiraan serta rasa syukur menyatu dalam batin setelah dinyatakan bahwa mulai saat ini saudara sudah berhak menyandang gelar Doktor.
Kembali kepada Doktor (HC) di atas, jika diberikan kepada orang yang memiliki kapasitas dan telah banyak mencerahkan anak bangsa, publik meresponnya dengan baik karena orang itu diakui karyanya.
Ketika Buya Hamka diberikan gelar kehormatan Doktor (HC), oleh Universitas Al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia, tak seorangpun yang memprotesnya.
Buya Hamka sudah begitu banyak berkarya untuk bangsa dan dunia. Salah satunya adalah Tafsir Al-Azhar yang terkenal itu.
Buya Hamka memiliki legitimasi yang kuat untuk menyandang gelar kehormatan Doktor (HC).
Para penyandang gelar kehormatan Doktor (HC), karyanya telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan bangsa.
Kampus memberikan gelar kehormatan Doktor (HC) itu sebagai bentuk penghormatan kepada orang itu yang telah berjasa terhadap kemajuan bangsa dan dunia.
Tetapi saat ini gelar Doktor (HC) sudah mulai longgar diberikan kepada elite dari perguruan tinggi. Publik khususnya akademisi memprotesnya.
Jadi panggilan Pak atau Bu Doktor itu bukan nama orang tetapi gelar bagi orang yang telah melalui jenjang S3, Ah saya cuma bercanda. (*)