PAREPARE, PIJARNEWS.COM —Tidak ada hal yang mustahil. Itulah yang terjadi pada sosok Sumadin. Semangat pantang menyerah dan putus asa kini mengantarnya meraih gelar doktor pada bidang ilmu Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Muhammadiyah Parepare (Umpar).
Gelar pendidikan tinggi ini tak diperolehnya dengan mudah. Beragam lika-liku bahkan cerita pahit kehidupan ia telah jalani.
Sumadin merupakan anak rantau dari Desa Lambiku, Kecamatan Napabalano, Kabupaten Muna, Sulawesi Utara. Sumadin mengadu nasib di Kota Parepare sejak 23 tahun silam.
Hidup di Kota Parepare ia awali saat ia masih berstatus sebagai siswa SMK Negeri 1 Parepare. Ketika itu, Sumadin remaja tinggal di perumahan Masjid Tarbiyah Lontang’E dan menjadi Remaja Masjid sekaligus bertugas sebagai marbot di Masjid tersebut.
Menjadi marbot masjid tentu saja tak bisa membiayai keperluannya. Baik makan maupun biaya pendidikan, sehingga ia memutuskan untuk berjualan buku-buku bacaan, novel dan teka-teki silang di Pelabuhan Cappa Ujung dan Pelabuhan Nusantara.
“Sepulang sekolah selain jadi marbot masjid juga mencari rezeki untuk biaya hidup dan biaya sekolah, yakni menjual buku-buku bacaan, novel dan teka-teki silang di pelabuhan Cappa Ujung dan Pelabuhan Nusantara ketika ada kapal Pelni maupun swasta,” terang Sumadin.
Selain menjual buku, menjadi tukang cat plitur lemari, atau istilah lain Pacetcet (Istilah Tukang Cat di Kota Parepare, red) juga telah ia lakoni. Tak sampai di situ, saat libur dari aktivitas mengecat ia menawarkan diri bekerja sebagai tukang batu jika ada pengecoran.
Cerita pahit kehidupan Sumadin tak cukup sampai di situ. Ia juga bercerita sempat dihina oleh teman-temannya. Sebab pernah menjadi tukang becak. Bahkan dibully oleh temannya dengan sebutan Daengbec (Daeng Becak).
“Saya menawarkan diri pada kepala tukang, pernah juga menjadi tukang becak, sampai-sampai didapat sama teman sekolah membawa becak dan dihina teman sekolah dengan panggilan “Daengbec” (Daeng Becak),” ungkapnya.
Setelah tamat SMK pada tahun 2001, ia mencoba mendaftar seleksi TNI Angkatan Darat (AD) namun nasib berkata lain. Dia gagal menjadi anggota TNI AD kala itu.
Meski sempat dicegah oleh temannya sendiri, dengan tekad yang bulat tahun berikutnya ia memutuskan untuk mendaftar kuliah di Universitas Muhammadiyah Parepare.
“Waktu awal mendaftar, teman-teman sekampungku, juga sebagian keluargaku mengatakan tidak usah kuliah. Katanya banyak sarjana jadi tukang ojek. Akan tetapi saya tidak mengurungkan niat,” ungkapnya.
Di Umpar, Ia mendaftar pada dua pilihan jurusan yakni Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas Agama Islam dan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Sejak 2002, ia mulai dikenal oleh Rektor Umpar yang dijabat Prof Dr Siri Dangnga dan Wakil Rektor 3 Sawaty Lambe. Sumadin dikenal karena sering berceramah di Masjid Tarbiyah yang merupakan tempat tinggalnya waktu itu.
Karena akrab dan dikenal oleh Rektor, kemudian ia diminta menjadi marbot Masjid Kampus. Selama lima tahun dia tinggal dalam kamar/bilik yang dibuat untuknya, sambil ditugaskan sebagai petugas kebersihan dan keamanan di Kampus.
Setelah menyandang sarjana pada tahun 2007, ia kemudian menjadi tenaga sukarela dengan gaji Rp20 ribu. Kemudian dinaikkan menjadi Rp50 ribu hingga Rp250 ribu perbulan di Program Pascasarjana (PPs) Universitas Muhammadiyah Parepare.
“Sampai punya anak 2, gaji masih tetap Rp250 ribu. Sampai saya ditanya sama mertuaku berapa gajinya. Saya jawab dua setengah. Mungkin dikira Rp2,5 juta. Akan tetapi lambat laun meningkat sampai sekarang dikaruniai 5 putra,” imbuhnya.
Perjalanan ayah dari 5 anak itu terus ditempa, saat ia mempunyai dua anak, gaji yang diterima tetap sama. Meski gaji sedikit ia tak pernah surut melanjutkan pendidikannya. Tahun 2011 yang lalu pendaftaran S2 dibuka. Dia memberanikan diri untuk mendaftar sebagai mahasiswa S2.
Sambil kuliah, ia juga melakoni pelbagai pekerjaan lainnya seperti sopir, pengantar pimpinan ke kampus, tukang sapu, Pengatur Ruangan Kuliah, Pengantar Snack Dosen, Pembuat Air Panas, Pembersih WC dan Mushalla Nurul Ilmi.
Hingga tak berselang lama kemudian ia diangkat menjadi Kepala Bagian Umum di PPs merangkap Kepala Keamanan Kampus Universitas Muhammadiyah Parepare. Setelah lama lulus S2 pada 2016, kemudian mendaftar menjadi mahasiswa S3 dan menjadi mahasiswa angkatan pertama kala itu.
Tahun 2019 merupakan tahun keberuntungannya. Sebab dirinya diangkat menjadi dosen di program studi BPI FAI. Tidak berselang lama, ia mendapatkan kesempatan mendaftar seleksi sertifikasi dosen dan hasilnya berbuah manis. Ia dinyatakan lulus oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.
“Pada tahun 2019, saya diangkat menjadi Dosen di Prodi BPI FAI dengan beralih dari Staf ke Dosen. Saya kemudian ditarik dari PPs ke FAI. Jadi 10 tahun saya jadi staf di PPs. Mulai awal berdirinya tahun 2007,” pungkasnya.
Ibarat buah yang jatuh beruntun. Tahun 2020 akhirnya diangkat menjadi Wakil Dekan 3 Fakultas Agama Islam Umpar.
Jalan beriringan dengan aktivitas dosen dan pimpinan Fakultas, ia berhasil menyelesaikan Studi S3 Doktor Pendidikan Agama Islam. Judul Disertasinya, “Model Pelaksanaan Darul Arqam Dasar (DAD) dalam Meningkatkan Pengamalan Ajaran Islam bagi Mahasiswa UM Parepare.” Ia meraih IPK 3,94.
“Alhamdulillah, 30 Agustus 2022 Promosi Doktor dengan nilai IPK 3,94. Syukur Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin,” tutupnya. (*)
Reporter : Sucipto Al-Muhaimin