Oleh Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)
Baru-baru ini lagi viral tentang fenomena Saweran Qoriah. Diketahui bahwa ada qoriah internasional, Ustadzah Nadia Hawasyi yang membacakan Alquran di panggung, kemudian ada beberapa jamaah baik laki maupun perempuan yang menyawer dengan sejumlah uang. Ada yang melemparkan, bahkan ada yang menyelipkan di kerudung sang Qoriah.
Diketahui fenomena tersebut terjadi di momen peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw yang lalu di Pandeglang Banten. Tentunya fenomena saweran ini tidak layak dilakukan, bahkan bisa menjadi haram dilakukan. Bacaan Alquran itu merupakan bacaan mulia, karena Alquran adalah Firman Allah Swt. Artinya bisa menjadi bentuk pelecehan terhadap ayat-ayat Alquran yang dibacakan. Apalagi disertai dengan menyelipkan sejumlah uang di kerudung sang Qoriah. Hal demikian telah menodai kemuliaan wanita muslimah.
Fenomena demikian memberikan gambaran rendahnya taraf berpikir masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari 2 aspek berikut ini.
Pertama, Lemahnya pemahaman Islam masyarakat. Bisa jadi masyarakat terpukau dengan keindahan tilawahnya, lantas perasaannya menggerakkan untuk memberikan sejumlah uang seperti saweran. Tidak ada yang memaksa mereka melakukan ini. Artinya mereka ikhlas melakukannya.
Hanya saja suatu amalan tidak cukup hanya berdasarkan ikhlash, tapi juga harus benar. Dari aspek benarnya ini, perbuatan menyawer sang Qoriah ini bertentangan dengan Firman Allah Swt:
واذا قرأ القرآن فا استمعوا له وانصتوا لعلكم ترحمون
Dan apabila dibacakan Alquran maka dengarkanlah oleh kalian dan berdiam dirilah, mudah-mudahan kalian mendapatkan rohmat (Surat Al-A’raf ayat 204).
Begitu pula jika saweran itu dianggap penghargaan atau honor bagi sang Qoriah, tentunya termasuk su’ul adab (adab yang buruk). Pembaca Alquran tidak boleh disamakan dengan biduan-biduan yang berlenggak-lenggok di atas panggung sambil bernyanyi dan menghibur penonton. Memang Rasulullah Saw pernah bersabda:
ان احق ما اخدتم اجرا في كتاب الله
Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil ujrohnya (gaji) adalah dalam mengajarkan Alquran.
Jumhur ulama menegaskan bolehnya mengambil gaji atau kompensasi dari mengajarkan Alquran. Dalam hal ini bisa diturunkan kepada aktivitas mengajar ilmu agama seperti ilmu tafsir, ilmu fiqih dan lainnya. Walaupun Imam Abu Hanifah misalnya memandang makruh menjadikan pengajaran Alquran sebagai akad ijarah.
Pemberian gaji atau kompensasi tetap terikat dengan aturan dalam teknis pemberian yang terbaik. Jangan sampai orang yang menerima gaji itu menjadi tersinggung, dan kurang dihormati. Bukankah Allah Swt mewajibkan agar kita melakukan amalan terbaik dalam segala hal?
Kedua, Sekulerisme telah menjadikan masyarakat menilai segala sesuatu berlandaskan nilai-nilai materi atau harta. Mereka memandang pendidikan adalah jalan untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan gaji yang besar. Penyakit demikian juga menjangkiti para muballigh dan penceramah. Mereka tidak segan-segan memasang tarif tertentu setiap ada jadwal safari dakwahnya.
Walhasil fenomena “Saweran Qoriah” ini muncul dari tata kehidupan yang sekuleristik. Nilai-nilai keluhuran dan kesakralan ajaran Islam serta simbol-simbolnya sudah tergerus oleh standar materi, standar untung rugi.
Oleh karena itu, agar masyarakat menjadikan ajaran Islam bukan sebagai tontonan, akan tetapi tuntunan, harus dengan mengubah asas kehidupan ini dari sekulerisme menjadi berasaskan Aqidah Islam. Dengan begitu, ajaran-ajaran Islam akan dipelajari sebagai pedoman hidup yang harus diamalkan dan didakwahkan. Ajaran Islam tidak dipelajari sebagai sebatas ilmu pengetahuan, apalagi sebagai ladang untuk mencari harta. Walhasil ajaran Islam akan mampu membentuk masyarakat Islam dalam wadah Khilafah Islam. (*)