OPINI, PIJARNEWS.COM — Pada tahun 2017 lalu, Prof. Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, menyampaikan pesan cancut taliwondo reformasi pendidikan. Di tahun 1961 silam, KH. Wahab Hasbullah, Rais Aam Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), mengampanyekan cancut taliwondo diplomasi kebangsaan. Bagaimana cancut taliwondo dapat menguatkan pendidikan dan memajukan kebudayaan bangsa?
Berasal dari pewayangan
Cancut taliwondo merujuk pada strategi perang dalam istilah pewayangan. Dalam bahasa Jawa, cancut berarti menyingsingkan lengan baju, tali diartikan sebagai ikatan, dan wondo berarti usaha untuk melepaskan. Cancut taliwondo memiliki arti bersegera berangkat mengerjakan tugas. semangat bekerja dan jangan menyerah oleh tantangan apa pun.
Dalam pewayangan, cancut adalah penguasan dalam teknik memegang, menancapkan dan mencabut wayang, berjalan, serta penataan posisi wayang dalam adegan. Wayang sendiri merupakan budaya bangsa yang sudah ada bahkan sebelum kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia. Pertunjukan kesenian wayang merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa, yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme pada masa itu.
Cancut taliwondo sebagai terma pewayangan berubah menjadi bagian kesadaran dan identitas bangsa yang tekun dan gigih. Ketekunan berdaulat, ketekunan untuk mandiri dan kegigihan akan persatuan Indonesia. Gagasan yang tergambar jelas dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Upaya Menguatkan pendidikan
Dalam perkembangannya, cancut taliwondo dipopulerkan oleh KH Wahab Hasbullah sebagai strategi politik kebangsaan medio tahun 1961 kala itu. Gagasan politik kontemporer yang disampaikan sekenaan pembebasan Irian Barat yang menuai kontroversi. Meskipun progam pembebasan Irian Barat ini telah direncanakan dalam sidang BPUPKI yang menentukan Irian Barat sebagai bagian dari wilayah Indonesia (lebih jauh lihat http://www.nu.or.id/post/read/39369/diplomasi-cancut-taliwondo).
Kritik keras Bung Hatta yang menganggap Irian tidak termasuk wilayah Indonesia. Begitu pula duta besar Amerika Serikat di Jakarta menuduh bahwa usaha pengembalian Irian barat hanya agenda pribadi Bung Karno, yang sekadar untuk mengalihkan isu kemiskinan dalam negeri yang tidak teratasi. KH. Wahab Hasbullah sebagai Rais Am PBNU dengan diplomasi cancut taliwondo, sebuah strategi politik yang dilakukan dengan langkah-langkah; di dalam negeri kehidupan politik harus disehatkan, terbukti berhasil.
Kini, melalui Mendikbud, Prof. Muhadjir Effendy mengajak semua pihak agar menyingsingkan lengan baju untuk menggerakkan reformasi pendidikan nasional demi masa depan generasi bangsa. Gagasan cancut taliwondo ala Pak Menteri menjadi relevan sebab kualitas pendidikan dan pemerataan sumber daya pendidikan di seluruh Indonesia sedang dan akan terus digalakkan.
Pendidikan merupakan pondasi kemajuan sebuah bangsa, solusi atas masalah-masalah sosial dan budaya. Reformasi sistem pendidikan nasional memang terasa urgen di tengah tambal sulam kurikulum 2013, isu kesejahteraan guru dan fenomena honorer yang tak kunjung tuntas. Dibutuhkan upaya serius dan sistematis untuk melihat kemajuan dan keunggulan pendidikan nasional kita pada satu sisi dan pada sisi lain demi kelangsungan dan kelanggengan bangsa Indonesia di tengah perkembangan zaman yang sangat cepat. Calvin Coolidge, Presiden Amerika Seirkat ke-30, mengatakan bahwa kegigihan dan hanya keteguhan hati lah yang maha kuasa. Kegigihan untuk mengatasi semua tantangan.
Memajukan kebudayaan kita
Kesenian wayang merupakan budaya asli Indonesia, yang kini sudah banyak ditinggalkan generasi milenial seiring dengankemajuan industrui gadget. padahal Wayang kulit merupakan salah satu kebudayaan yang dikagumi oleh masyarakat Indonesia dan Internasional. Kesenian wayang telah diangkat sebagai karya agung budaya dunia oleh UNESCO tanggal 7 Nopember 2003 atau Masterpiece of Oral And Intangible Heritage of Humanity.
Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 setelah diamandemen menyatakan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai budayanya” dan “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”.
Dan kita patut bersyukur bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan telah disahkan. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemewndikbud mengatakan, UU ini merupakan penerjemahan dari amanat Pasal 32 ayat (1) UUD ’45. UU tersebut memuat empat poin strategis: perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, serta pembinaan, untuk acuan pemerintah memajukan kebudayaan.
Cancut taliwondo memiliki makna ikut bekerja sama dengan segenap kemampuan yang dimiliki, dan tidak hanya berpangku tangan. Sebagai kearifan lokal, cancut taliwondo memiliki pesan yang relevan sebagai alarm pengingat betapa agenda pendidikan dan kebudayaan kita ialah mencerdaskan kehidupan bangsa, seutuhnya, seluruhnya. Kearifan yang seharusnya tumbuh dari dalam nurani gagasan reformasi sistem pendidikan nasional. Pesan untuk bergegas bangkit, semangat membebaskan diri dari belenggu dan tantangan kebudayaan di kehidupan masyarakat global. Jim Collins menyebutnya sebagai Big Hairy Audacious Goal, gambaran prinsip yang luar biasa, berani, dan besar yang sanggup menggerakkan segenap urat nadi dan darah seseorang untuk mencapainya.
Dan penulis berharap inspirasi pewayangan, diplomasi Kiai Wahab dan pidato memeringati Hari pendidikan Nasional Pak Menteri, dapat menjadi tranformasi cancut taliwondo kekinian dalam penguatan pendidikan dan kemajuan kebudayaan bangsa. Ki Hadjar Dewantara, dua bulan sebelum berpulang, mengingatkan bahwa: “Kalau suatu ketika ada orang meminta pendapatmu, apakah Ki Hadjar itu seorang nasionalis, radikalis, sosialis, demokrat, humanis, ataukah tradisionalis, maka katakanlah bahwa aku hanyalah orang Indonesia biasa saja yang bekerja untuk bangsa Indonesia dengan cara Indonesia”.
Penulis:
Ahmad Kohawan
Staf Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Parepare. Pegiat literasi.