PAREPARE, PIJARNEWS.COM–Setelah pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara resmi mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dan non-subsidi, Sabtu (3/9/2022) 14.30 di Istana Merdeka, hal itu menuai berbagai respons pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Rusdianto Sudirman, M.H, Akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, turut menanggapi isu kenaikan harga BBM. “Salah satu alasan pemerintah untuk menimbang kenaikan harga BBM adalah subsidi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) yang sudah menembus sekira 500 triliun rupiah,” kata Rusdianto kepada Pijarnews.com, Sabtu (3/9/2022) malam.
Hal ini disebabkan antara lain, lanjut Rusdianto, meningkatkannya jumlah penggunaan BBM bersubsidi sehingga melampaui kuota yang ditetapkan pemerintah. Dalam konteks ini, pemerintah kaget dan khawatir APBN akan jebol.
Rusdianto beranggapan peningkatan konsumsi BBM tersebut seharusnya sudah bisa diprediksi oleh pemerintah. “Permasalahan pertama, selama ini pemerintah masih berpihak dengan model bisnis jaringan transportasi seperti ojek online (Ojol), yang notabene menyumbang peningkatan jumlah kendaraan bermotor dan konsumsi BBM bersubsidi,” ujarnya dosen Hukum Tata Negara itu.
“Diperkirakan jumlah mitra ojol dari dua perusahaan besar di Indonesia (Grab dan Gojek) lebih dari 5 juta orang (driver). Sayangnya, banyak perusahaan ojol belum transparan dalam membuka data jumlah mitranya,” tutur Rusdianto.
“Keberpihakan ini sebenarnya kontradiksi dengan upaya pemerintah untuk menekan pembelian kendaraan pribadi dan visi pemerintah untuk transisi ke energi baru dan terbarukan,” lanjutnya.
Rusdianto menilai keberpihakan tersebut berkontribusi pada kegagalan pemerintah dan pemerintah daerah (Pemda) dalam menciptakan sistem transportasi umum yang nyaman dan terintegrasi.
“Padahal di dalam undang-undang No. 22 tahun 2009, tentang Lalu Lintas Angkutan Umum, pemerintah wajib menyelenggarakan angkutan umum, baik Antar Kota Antar Provinsi (AKAP), Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) dan Pedesaan yang kabupaten. Namun masyarakat lebih memilih transportasi online, yang lebih nyaman dan fleksibel,” ujar Rusdianto.
Tak terkecuali di Jakarta, lanjut Rusdianto, banyak moda transportasi umum yang kalah saing dan tidak dilirik oleh masyarakat.
“Permasalahan berikutnya, adalah konsumsi BBM bersubsidi yang belum tepat sasaran. Solar bersubsidi misalnya, banyak digunakan oleh truk-truk pengangkut bahan tambang dan industri yang sebenarnya tidak boleh menggunakan,” ujar Rusdianto.
Penggunaan aplikasi untuk mencegah hal tersebut bagus, namun tidak aplikatif, oleh sebab itu, butuh upaya yang praktis. (*)
Reporter : Wahyuddin
Editor: Dian MuhtadiahHamna