Oleh : Dr Husni Rahman Karepesina
Alhamdulillah tahun ini saya bersama istri saya Diana Asmellya dapat memenuhi undangan ALLAH SWT untuk berhaji. Kami berangkat dari Ambon, Maluku bersama Kloter 13 Embarkasi UPG, Makassar yang berangkat 16 Juli 2019 lalu. Ikut bersama kami juga beberapa keluarga dekat, seperti sepupu, paman dan tante.
Bisa dikatakan setiap orang yang berhaji punya pengalaman spritual tersendiri yang mungkin sulit dibahasakan semuanya, baik melalui lisan maupun tulisan. Itulah bentuk kemurahan dan kasih sayang ALLAH SWT kepada setiap hamba-NYA yang datang ke Baitullah yang tak ternilai dengan materi.
Kali ini saya ini ingin mengutarakan sedikit pengalaman saya saat berhaji, terutama ketika pertemuan saya dengan orang-orang spesial; jamaah haji dari seluruh belahan dunia. Tak ada yang kebetulan, tak ada yang terjadi tiba-tiba atau begitu saja. Semuanya sudah ada dalam skenario besar ALLAH SWT, dan hanya DIA yang mengetahui segalanya. Termasuk pertemuan kami dengan Alira Vania Putri Dwipayana atau yang akrab disapa Ara di Tanah Suci di musim haji Tahun 2019 ini.
Pertama kali tahu kalau Ara akan berhaji dari tulisan Bapaknya, yang juga teman akrab saya semasa kuliah S3 di Fikom Unpad Bandung, Dr. Aqua Dwipayana. Motivator ulung internasional yang terkenal sebagai Raja Silaturahim itu memang juga aktif setiap hari membagi semangat dan motivasi melalui tulisan-tulisannya ke ribuan temannya yang tergabung dalam Komunitas Komunikasi Jari Tangan.
Mendapat Berita Ara Sakit
Salah satu penyakit yang umum diderita jamaah haji, terutama asal Indonesia adalah batuk dan flu. Ini juga yang saya alami saat pertama kali tiba di Tanah Suci.
ARA juga mengalami hal yang sama. Beberapa hari lalu saya diberitahu Pak Aqua kalau Ara masib batuk-batuk. Sudah dicoba berbagai obat oleh tim medis Korea Selatan tapi ia belum kunjung sembuh. Saya dimintai tolong Pak Aqua mencarikan tim medis Indonesia, berharap resep obatnya lebih cocok dengan Ara.
Alhamdulillah kamar kami bersebelahan dengan kamar tim medis. Saya bercerita apa adanya tentang kondisi kesehatan Ara, termasuk identitas Ara sebagai mahasiswa di Korea Selatan yang berangkat haji mandiri tanpa keluarga dari negeri ginseng tersebut.
Alhamdulillah tanpa pikir panjang apalagi bertanya macam-macam, tim medis kloter 13 yang dipimpin oleh dr. Iznih Maricar itu segera memberi obat dan meminjamkan alat uap Nebulizer untuk Ara. Bahkan jika tidak sedang mengurus pasien, mereka bersedia langsung mendatangi hotel Ara. Walaupun demikian bagi saya ini sudah sangat membantu.
Sebelumnya saya sedikit khawatir akan ditolak karena persoalan beda negara. Syukurlah, TUHAN selalu memberikan kemudahan dan jalan keluar untuk menolong sesama. Dan hal yang lebih disyukuri lagi karena efek obatnya manjur. Alhamdulillah…
Kondisi Ara perlahan membaik. Perubahannya delapan puluh persen lebih baik dari sebelumnya. Boleh dikatakan semua orang baru atau pendatang akan mengalami batuk atau flu selama di Tanah Suci. Bahkan kata orang konon hanya onta saja yang tidak pernah batuk.
Ditraktir Ara Makan Siang
Setelah kondisi Ara makin baik, kami pun janjian bertemu lagi keesokan harinya untuk makan siang bersama. Namun janji itu baru terealisasi dua hari kemudian karena kesibukan masing-masing.
Kami pun bertemu di salah satu restoran cepat saji lantai 3 di Zam Zam Tower, salah satu lokasi favorit dan terbilang elit di dekat Masjidil Haram di Mekkah. Saya bersama istri dan tante.
Ara langsung memesan makanan dan minuman. Terlihat ia sudah hafal betul seluk beluk lantai 3 itu karena setiap harinya mahasiswi Korea University Business School itu dan teman2nya selama di Mekkah makan di situ.
Bahasa Inggrisnya yang fasih membuat Ara lancar berkomunikasi dengan pelayan restoran yang dari raut wajahnya terlihat seperti orang Bangladesh atau India. Di Mekkah dan Madinah semua makanan yang dipesan harus langsung dibayar. Berbeda dengan budaya kita di Tanah Air, makan dulu bayar belakangan.
Saat saya menyodorkan uang dua lembar real pecahan 100, dengan cepat Ara mencegahnya. Saya pun mendesak melakukan kembali hal yang sama ke pelayannya, Tapi ditolak.
Si pelayan resto itu bahkan sampai ikut-ikutan menolak duit saya. Sebaliknya ia langsung menyambar duit Ara. Kali ini uang real saya tidak laku.
Sebenarnya ada rasa bersalah dalam diri saya, harusnya saya yang mentraktir Ara yang notabene seorang mahasiswa S1, bukan sebaliknya. Tapi saya paham, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Begitulah kebiasaan ayahnya Ara, Pak Aqua sejak pertama kami saling kenal pada 2011 lalu di Bandung. Senang sekali mentraktir orang, bahkan jumlahnya sampai lupa, hanya TUHAN yang tahu. Pak Aqua lebih senang membayari daripada dibayari.
Begitulah Ara dan Ero (adiknya Ara), dididik kedua orangtuanya. Mereka sekeluarga senang menolong orang dan bahagia saat bisa membahagiakan orang lain. Kebiasaan positif itu sudah mendarah daging pada diri mereka.
Visi Besar Ara
Kami duduk berempat, ada istri saya Diana dan tante saya Hasna Latuconsina, sambil menikmati sajian ayam panggang, ikan, daging yang ditusuk sate, dan beberapa udang goreng serta tak lupa nasi kebuli khas Timur Tengah.
Sambil menikmati makanan, kami ngobrol santai terutama tentang ibadah haji dan pernak-perniknya. Ada hal yang tidak biasa pada diri pemudi Ara (23 tahun) ini. Bagi saya orang seperti Ara ini termasuk mahasiswi yang pantas dicontoh, terutama oleh generasi muda.
Sebagai mahasiswi S1 di salah satu perguruan tinggi terbaik di Korea Selatan, Ara berani mengambil keputusan berangkat haji dari Korea. Dan masya ALLAH itu atas biaya pribadinya sendiri, bukan dari pemberian orangtuanya.
Selama kuliah di sana pun Ara tidak bergantung lagi pada orangtuanya. Ia salah satu mahasiswi berprestasi penerima beasiswa penuh dari pemerintah Korea Selatan.
Selain itu Ara juga bekerja paruh waktu, baik sebagai guide atau translator dan lainnya selama ia kuliah di negeri gingseng itu. Bahkan dari hasil jerih payahnya tersebut ia sudah tur ke lebih dari 50 negara, baik dengan grup maupun mandiri.
Kalau berbicara tentang anak muda yang sering tur ke berbagai belahan dunia mungkin sudah terbiasa terdengar, tapi mereka yang sengaja berhaji dengan biaya hasil jerih payah sendiri di usia muda bagi saya itu adalah luar biasa. Saya pun penasaran seberapa besar ONH haji reguler dari Korea selatan.
Kata Ara, kalau dirupiahkan sekira 70 juta rupiah per orang. Masya ALLAH, gitu loh untuk anak seusia Ara. Uang segitu bagi kebanyakan anak muda mungkin lebih condong digunakan buat belanja atau keperluan hura-hura lainnya, tapi tidak demikian bagi Ara.
Cita-cita Ara berhaji bukan datang tiba-tiba. Semua sudah ia rencanakan sejak awal kuliah di Korea Selatan pada 2015. Bahkan dalam setiap doa yang dipintanya selalu minta supaya bisa berhaji saat masih S1 dan berangkatnya dari Korea Selatan dengan biaya sendiri. Bahkan sampai-sampai ia berani membunyikan tahunnya, “Kalau boleh ALLAH SWT mengundang Ara haji tahun 2019.” Alhamdulillah doanya diijabah oleh ALLAH SWT.
Keberhasilan Ara tak lantas membuatnya besar kepala. Bahasanya tetap santun dan rendah hati. Baginya semua yang diperoleh berkat kebesaran ALLAH SWT semata. Manusia, kata Ara, tinggal meminta. Tak ada yang mustahil bagi Allah. Dialah Zat Yang Maha Kaya dan Maha Kuasa. Hanya kadang manusia yang enggan meminta kepadaNYA.
Menutup tulisan ini, saya teringat kata-kata anak muda yang penuh inspirasi ini, “Ara ingin berhaji di usia muda karena haji ini adalah kewajiban Ara sebagai hamba ALLAH SWT.” Kalimat itu mungkin terdengar sederhana, tapi bagi saya sangat membumi, di saat kebanyakan orang meremehkan dan menunda-nunda panggilan TUHAN-nya tanpa alasan yang jelas.
Bagi saya inilah visi besar seorang hamba. Ia tahu mana yang harus didahulukan sebelum urusan lainnya. Begitu banyak orang yang diberikan kemampuan (istito’ah) untuk berhaji ke Baitullah tetapi tdk sedikit pula yang masih meremehkannya. Visi Ara adalah visi masa depan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat yang kekal abadi.
Jika seorang hamba telah mementingkan dan mengutamakan perintah TUHAN sebelum lainnya, maka apakah ia akan dibiarkan atau disia-siakan oleh TUHAN-nya?
Semoga haji Ara mabrur dan keteladannya dicontoh anak-anak milenial lainnya. Aamiin ya robbal aalamiin…
Alhamdulillah, wallahu musta’an.
Makkah, 17 Zulhijjah 1440/18 Agustus 2019
Penulis adalah Staf Penyusun Informasi dan Publikasi pada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Maluku.