MAKASSAR, PIJARNEWS.COM–Istilah media abal-abal menjadi perbincangan yang ramai setelah sebuah media cetak dan siber di Makassar menuding sejumlah media masuk kategori itu. Padahal, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Pusat, Wenseslaus Manggut mengatakan media yang belum terverifikasi dari Dewan Pers bukan berarti tergolong media abal-abal.
“Belum terverifikasi itu bukan berarti abal-abal, karena bisa jadi mereka sedang diproses pendaftarannya di Dewan Pers. Apalagi kalau medianya sudah berbadan hukum pers yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, Pemred sudah wartawan utama, dan memenuhi kaidah jurnalistik dalam proses kerja,” kata Wenseslaus Manggut kepada Pijarnews.com, Minggu (16/2/2020).
Wenseslaus melanjutkan, tidak ada halangan bagi media belum terverifikasi untuk mengajukan kontrak kerja sama kepada Pemda/Pemkot.
“Jadi jika ingin mengajukan kontrak kerjasama dengan pemda/Pemkot tidak mesti menunggu hasil verifikasi dari Dewan Pers karena itu bergantung prosedur yang ada di instansi tersebut,” tambahnya.
Komisioner Dewan Pers Ratna Komala seperti dikutip dari Okezone.com, media yang belum terverifikasi lembaga pengawas diduga dapat memberikan berita bohong atau hoax. Sebab, ada sejumlah ciri dari media yang disinyalir abal-abal dan bahkan dapat menyebarkan berita bohong atau hoax.
“Media profesional adalah yang berbadan hukum. Kalau enggak, ya udah pasti abal-abal,” katanya.
Ia pun menceritakan ketika Dewan Pers mencari informasi terkait media yang belum terverifikasi, yakni tidak ditemukannya alamat yang jelas. “Alamat redaksi juga harus jelas. Ada yang begitu di cek taunya alamat ruko atau restoran padang,” sambungnya.
Selain itu, lanjut Ratna, alamat redaksi juga harus jelas. Jika tidak ada, maka pemberitaan yang dimuat pun perlu dipertanyakan kebenarannya.
“Mencantumkan nama penanggung jawab. Misalnya di credit title. Itu bentuk pertanggungjawaban produk jurnalistik dihasilkan. Kalau tidak ada itu bisa dipastikan hoax,” terangnya.
Sedangkan ciri lain seperti media yang hanya terbit ketika ada momen tertentu. Sehingga beritanya pun tidak secara lengkap disampaikan karena memunculkan artikel secara random. Ratna menduga hal tersebut dilakukan untuk kebutuhan kelompok tertentu.
“Terbitnya temporer, kadang terbit kadang tidak. Misal ada kepentingan dengan pejabat tertentu. Ya bahkan memeras. Bahasanya standar, tendensius, menjelekkan, memfitnah. Di frame isinya,” ujarnya.
Kemudian, media yang tidak memakai bahasa dengan baik dan benar adalah salah satu media abal-abal. Bukan hanya itu, nama medianya pun dibuat seolah mengada-ngada. (*)
Editor: Dian Muhtadiah Hamna