PAREPARE, PIJARNEWS.COM – Perjuangan seorang tukang ojek di Kota Parepare, Sulsel Andi Jamil memperoleh kebebasan usai kasasi pengadilan Negeri Parepare ditolak Mahkamah Agung berbuah manis.
Di hadapan awak media, Andi Jamil mengaku sebagai korban salah tangkap atas kasus dugaan rudapaksa anak dibawah umur ditujukan kepadanya yang dilaporkan oleh orang tua korban kepada polisi.
Hal itu disampaikannya, setelah putusan bebas Pengadilan Negeri Parepare dan terbitnya petikan putusan Mahkamah Agung (MA) atas ditolaknya kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Kasasi yang diajukan oleh Jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Parepare No 28/Akta.Pid/2024/PN Pre tanggal 30 Mei 2024 ditolak oleh Mahkamah Agung melalui petikan putusan Pasal 226 KUHP juncto Pasal 257 KUHP Nomor 6280 K/Pid.Sus/2024.
Dalam jumpa pers, Ahad, (20/10/2024), Andi Jamil didampingi dua kuasa hukumnya M Nasir Dollo dan M Akbar di Cafe Ruang Seduh menyampaikan, agar apa yang dialaminya tak ikut menimpa warga lainnya.
Dan ia berharap dirinya bersama nama keluarga besarnya dapat dibersihkan dan tidak menimpa keluarga lain atas kasus memalukan tersebut.
“Tuntutan saya bersihkan nama baik, berikan keadilan. Saya juga minta agar yang melaporkan saya mendapat sanksi, termasuk kepolisian,” kata pria yang kesehariannya sebagai tukang ojek.
Andi Jamil yang mendekam di balik jeruji selama kurang lebih 6 bulan, mulai ditahan di Polres hingga di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) mengaku merasakan betul penderitaan termasuk keluarganya.
”Saya mengalami siksaan batin, baik selama ditahan hingga membuat kerugian bagi dirinya bersama keluarganya. Bahkan anak saya putus sekolah,” tuturnya.
Sementara itu, kuasa hukum Andi Jamil, M Nasir Dollo menegaskan, kasus ini adalah salah tangkap dan merupakan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis dan termasuk ke dalam kejahatan yang serius.
Sehingga, kata M Nasir Dollo, sebuah kewajaran jika Andi Jamil sebagai korban berhak menuntut penegak hukum dan memperoleh keadilan yang telah salah tangkap secara sah karena korban kehilangan hak hidup, hak pemilikan, hak memelihara kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan, dan hak ilmu pengetahuan.
“Korban Andi Jamil dituntut oleh kejaksaan 15 tahun penjara, dan banyak lagi kerugian yang dialaminya. Maka, apa yang dialami patut dipulihkan,” tegas Nasir Dollo.
Lebih lanjut dijelaskan M Nasir Dollo, sejak awal, banyak kelemahan dari Aparat Penegak Hukum (APH) hingga sebelum penetapan tersangka hingga melakukan penahanan.
”Sebelum P21 harusnya aparat penegak hukum telah melengkapi segala hal dengan bukti, bukan hanya keterangan pelapor dan saksi. Kita telah meminta posisi nomor handphone Andi Jamil saat kejadian, tapi tak dilakukan pihak Telkomsel dengan alasan tak ada izin kepolisian. Termasuk tak adanya pemeriksaan CCTV di lokasi kejadian,” tuturnya.
Dikatakan M Nasir Dollo, penegakan hukum teramat mengerikan, bagi orang tak mampu. Setiap melapor harus ada bukti, semestinya aparat penegak hukum memiliki itu. Bukan saksi dijadikan alat bukti.
“Kalau itu yang dipegang APH dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, maka siapa dilaporkan akan mudah dijerat hukum, walau pun tanpa bukti,” pungkasnya.
Dirinya pun berharap kasus ini menjadi pembelajaran bagi penyidik APH agar melengkapi bukti, dan tidak seenaknya menahan seseorang. Apa lagi, dalam sidang jawaban tak layak disampaikan jika melengkapi bukti itu bukan tugasnya.
“Nilai-nilai pembuktian harus sesuai keilmuan. Jangan hal seperti ini menjadi kebiasaan,” tutupnya.
Di sisi lain keluarga Andi Jamil, Saiful menegaskan agar nama baik keluarganya bisa dipulihkan atas status dan tuduhan yang selama ini disematkan kepada keluarganya itu.
Ia juga mengatakan akan berkomunikasi dengan penasehat hukum untuk mengambil langkah hukum menuntut kepolisian dalam hal ini Polres Parepare termasuk yang telah melaporkan Andi Jamil atas tuduhan laporan palsu hingga dugaan pencemaran nama baik. (A)
Reporter: Ikbal