Oleh: Ummu Nashir N.S
Menjelang Idulfitri, ada kebiasaan menarik di kalangan umat Islam di negeri ini. Masyarakat berlomba memborong kebutuhan pelengkap, seperti kue-kue, pakaian dan aksesorinya, hingga barang elektronik. Sebagian masyarakat seolah mengharuskan diri untuk membeli berbagai barang tersebut dengan dalih Idulfitri adalah momen istimewa.
Mereka seolah tidak masalah jika harus mengeluarkan uang banyak untuk memuaskan perilaku konsumtif jelang Lebaran. Bahkan, tidak sedikit yang akhirnya kehilangan rasionalitas: mengutang sana-sini dan/atau menggadaikan barang berharga, semata demi memenuhi “tradisi serba ada dan serba baru” saat Idulfitri.
Belum lagi tradisi pulang kampung (mudik), saat Idulfitri adalah saat untuk bersilaturahmi—yang bagi sebagiannya menjadi ajang “unjuk gigi”. Lebih menarik lagi, beberapa Ramadan terakhir ini, justru pusat-pusat perbelanjaan, pasar-pasar, atau mal-mal, tidak hanya ramai di pengujung Ramadan, tetapi Ramadan baru berlangsung beberapa hari pun sudah ramai, apalagi banyak pesta diskon di mana-mana. Alhasil, sudah banyak yang berbelanja untuk kebutuhan Idulfitri sehingga kemacetan lalu lintas menjadi pemandangan sehari-hari di pusat-pusat kota.
Terkait semua ini, sesungguhnya Islam telah memiliki aturan terperinci tentang bagaimana seorang muslim seharusnya membelanjakan hartanya. Berikut penjelasan pandangan Islam tentang fenomena maraknya budaya konsumtif menjelang Idulfitri.
Islam Mengatur Pembelanjaan Harta
Sebagai din yang sempurna, Islam mengatur tentang cara mengembangkan harta sekaligus cara membelanjakannya. Islam menetapkan metode pembelanjaan harta sekaligus menentukan tata caranya. Sistem Islam jelas sangat berbeda dengan sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan saat ini, yang mengagungkan kebebasan pemilikan dan berperilaku dan menjadikan manfaat sebagai asasnya.
Dalam Islam, siapa pun berhak memiliki harta asalkan diperoleh secara halal. Hanya saja, tidak serta-merta dibiarkan bebas mengelola dan membelanjakan harta, sekalipun harta itu secara hukum sah merupakan miliknya. Melainkan Islam telah mengaturnya secara terperinci.
Islam telah melarang seseorang bertindak israf dan tabzir ketika membelanjakan harta, sekaligus melarang seseorang bersikap kikir taqtir (kikir). Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Furqan ayat 67 “Mereka yang jika mengeluarkan harta, tidak bertindak israf ataupun kikir (taqtir), pengeluarannya ada di tengah-tengah yang demikian.”
Dalam QS Al-A’raf ayat 31, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Israf dalam pengertian syarak bermakna ‘mengeluarkan harta dalam perkara yang haram atau kemaksiatan, atau bukan di jalan yang hak, sekalipun yang dikeluarkan jumlahnya hanya sedikit’. Sedangkan taqtir (kikir terhadap diri sendiri) bermakna ‘menahan diri dari kenikmatan yang dibolehkan syarak’. (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fil Islam). Keduanya merupakan perkara yang dicela oleh Allah Taala.
Selain israf dan taqtir, Islam juga melarang kaum muslim berfoya-foya atau menghambur-hamburkan harta. Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Waqi’ah ayat 41—45, “Golongan kiri , siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan) angin yang amat panas. Dan air panas yang mendidih dalam naungan asap hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup berfoya-foya atau bermewah-mewah.”
Islam juga tidak menganjurkan untuk menyia-nyiakan harta (idha’atul maal), yaitu menafkahkan harta pada barang-barang yang sesungguhnya tidak kita perlu sehingga akhirnya barang tersebut tidak terpakai, bahkan akhirnya terbuang.
Rasulullah ﷺ bersabda, “… dimakruhkan atas kamu banyak atas kamu banyak bicara dan bertanya (tentang hal-hal yang sifatnya khayalan) serta menyia-nyiakan harta.”
Lalu, bagaimana dengan fenomena saat ini? Apakah terkategori israf (boros/berlebihan), berfoya-foya/bermewah-mewah, ataukah menyia-nyiakan harta?
Budaya Konsumtif Saat Idulfitri, Bagaimana Pandangan Islam?
Dari penjelasan makna tentang israf, maka dapat kita simpulkan bahwa jika seseorang membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang mubah atau untuk ketaatan dengan menjaga niat karena Allah, maka perilaku seperti ini tidak terkategori israf ataupun tabzir.Akan tetapi, jika mereka membelanjakan hartanya untuk membeli minuman keras atau membeli pakaian yang diharamkan dipakai di tempat umum karena membuka aurat atau untuk berinfak karena ingin dipuji, misalnya, maka itu termasuk perilaku israf ataupun tabzir yang diharamkan, tanpa melihat besar kecilnya jumlah harta yang dibelanjakan.
Mungkin saja terjebak dalam pembelanjaan atau tindakan foya-foya, yaitu membelanjakan harta demi kesombongan atau berbangga diri. Jadi, bukan semata-mata membelanjakan harta untuk menikmati kekayaan karena pada dasarnya Islam tidak melarang kita untuk menikmati dan merasakan nikmatnya rezeki yang telah Allah anugerahkan.
Allah Swt. berfirman, “Qul man harrama ziinatallaahil latii akhraja li ‘ibaadihii wath-thayyibaati minar-rizq (Katakanlah, siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya, juga rezeki-Nya yang baik-baik?)”
Imam At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Amr ra. yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah suka untuk melihat tanda-tanda kenikmatan-Nya pada hamba-Nya.” Bahwa Allah suka jika hamba-Nya menikmati nikmat dari Allah sekaligus merasakan rezeki-Nya yang baik-baik yang telah Allah anugerahkan kepadanya oleh Sang Pencipta alam semesta ini. Akan tetapi, Allah membenci banyaknya kenikmatan yang mengakibatkan lahirnya sikap arogan, sombong, dan membangkang, yaitu ketika terjadi tindakan berfoya-foya.
Nah, perilaku konsumtif yang muncul—termasuk menjelang Idulfitri ini—bisa menjerumuskan seseorang pada tindakan berfoya-foya yang jelas-jelas Allah haramkan. Ini karena biasanya, perilaku konsumtif muncul didorong nafsu ingin dipuji, ingin diakui eksistensi, atau karena senang berbangga diri hingga menjerumuskan diri pada perilaku menyia-nyiakan harta. Jika demikian halnya, seorang yang mengaku beriman kepada Allah dengan keimanan yang lurus, tentu tidak layak terjebak dalam perilaku seperti ini.
Lalu Harus Bagaimana?
Memang bukan hal mudah untuk mengelola pembelanjaan keluarga, terutama saat Idulfitri karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat negeri ini. Akan tetapi, Allah telah memberikan rambu-rambu yang sangat terperinci dan mengutus manusia pilihan-Nya—Rasulullah ﷺ—sebagai panutan bagi kita sehingga kita tinggal meneladan beliau.
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi iman, kita harus berusaha keras agar tidak terjebak pada situasi yang bisa memalingkan kita dari rambu-rambu syariat. Setidaknya ada beberapa hal yang harus selalu kita ingat.
- Luruskan niat.
Ketika kita membelanjakan harta untuk kebutuhan apa pun, baik hal mubah, sunah, ataupun wajib, semua semata-mata karena mengharapkan rida Allah Swt. dan dalam rangka mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya. Dengan demikian, setiap keluarga muslim harus terus belajar sehingga paham tentang tata cara pembelanjaan yang Allah tetapkan. Harus selalu kita ingat bahwa setiap harta yang dimiliki dan dibelanjakan, kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Taala.
- Belanjakan harta dalam perkara-perkara yang disyariatkan.
Sudah seyogianya keluarga muslim membelanjakan harta untuk perkara mubah atau ketaatan, bukan di jalan yang Allah haramkan. Penting pula sesuai skala prioritas sebagaimana tuntunan syariat. Antara lain, mendahulukan kebutuhan yang wajib, seperti kebutuhan pokok, daripada yang sunah atau mubah.
- Tidak besar pasak daripada tiang.
Islam telah memberikan tanggung jawab kepada ayah untuk mencari nafkah yang halal bagi anggota keluarganya. Sementara itu, ibu bertugas membantu ayah mengatur pendapatan dan tidak boleh membebaninya di luar kemampuannya.
Seorang ibu harus dapat mengatur pengeluaran rumah tangganya seefisien mungkin, sesuai kebutuhan sehingga terhindar dari idhaa’atul maal. Abu Bakar ra. pernah berkata, “Aku membenci penghuni rumah tangga yang membelanjakan atau menghabiskan bekal untuk beberapa hari dalam satu hari saja.”
- Menyisihkan untuk ditabung dan bersedekah.
Merupakan hal yang baik jika ibu bisa menyisihkan uang yang diberi ayah untuk ditabung dan bersedekah. Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik, membelanjakan dengan pertengahan dan dapat menyisihkan kelebihan untuk menjaga pada hari ia miskin dan membutuhkannya.” (HR Ahmad).
Khatimah
Perilaku konsumtif saat ini sejatinya telah menjebak umat Islam pada aktivitas mengejar kesenangan jasadi semata.Terlebih saat Idulfitri, fenomena ini seolah sudah menjadikebiasaan sebagian umat Islam negeri ini.Tentu saja hal ini harus diwaspadai oleh umat Islam karena bisa mendorong seseorang pada perbuatan yang menyalahi hukum-hukum syarak, bahkan lebih jauh, bisa membuat umat Islam berpaling dari tujuan hidup sebenarnya, yakni menjaga Islam dan memperjuangkan kemuliaannya.
Fenomena ini akan terus berkembang dan meracuni umat Islam selama sistem kapitalisme dan sekularisme yang melandasinya masih mendominasi kehidupan umat Islam. Dengan demikian, sudah saatnya kaum muslim berpaling dari sistem yang rusak dan merusak ini, kemudian menjadikan sistem kehidupan Islam—yang datang dari Allah yang menjamin kemuliaan hakiki—sebagai pijakan dan sandaran hidup. Caranya adalah dengan berupaya berdakwah membangun kesadaran masyarakat dengan Islam kafah dan berupaya menegakkannya dalam wadah Khilafah Islamiah. Wallahualam bissawab. (*)
Sumber: Muslimahnews.net