Laporan: Yasser Latief
dari Mekkah
PIJARNEWS.COM — Menjalani bulan puasa di Mekkah, utamanya bagi yang tidak terbiasa sungguh merupakan pengalaman tersendiri. Setidaknya hal itu tergambar pada sebagian jemaah asal Indonesia yang sementara menunaikan ibadah umrah di Tanah Suci ini. Penulis adalah salah satunya.
Musim panas didataran Arab, memang biasanya terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Per Senin 19/6, suhu merangkak naik hingga 46 derajat celcius. Terbilang sangat panas, bagi kita yang terbiasa hidup diiklim tropis dengan suhu 25-35 derajat.
“Diluar mesjid, luar biasa panasnya,” demikian beberapa jamaah asal Indonesia yang penulis jumpai. Meski demikian, suhu panas tentu terkalahkan oleh niat kuat umat Islam untuk beribadah.
Untuk menyiasati udara yang begitu panas, sebagian jemaah datang ke mesjid lebih awal dari jadwal salat Duhur. Mereka lebih memilih menunggu Ashar tiba, ketimbang harus pulang ke hotel. Nanti setelah Ashar, bersamaan dengan redanya suhu, baru para jemaah pulang.
Hotel yang ditempati penulis berada sekira 300-an meter dari mesjid. Disepanjang jalan ada beberapa titik ditempatkan alat khusus yang fungsinya hanya menyemprotkan air. Beberapa jamaah suka lalu lalang beberapa kali, demi mendapat percikan yang segar luar biasa ditengah panas terik perjalanan.
* Habluminallah dan Habluminnas
Yang menarik, ada juga jemaah yang suka berbagi dingin dengan menyemprot air ke jemaah lainnya yang melintas. Betul-betul dilakukan dengan sengaja. Minimal kita akan kaget, atau jika tidak pandai-pandai mengontrol emosi, kemungkinan kita bisa langsung marah.
Namun begitu segarnya air kita rasakan, terlebih kita sudah tau asal percikan dan maksud mereka menyemprot air, maka jamaah itu justru berbalik senang dan berterima kasih. Saling tolong menolong dalam kebaikan. Ini, menurut penulis adalah bentuk sederhana tentang bagaimana akhlak yang baik, bagaimana berprilaku antar sesama manusia.
Jemaah mesjidil haram yang menyemut, membuat kita bisa mengamati pelbagai prilaku orang. Beberapa sangat memburu habluminallah, mengejar ritual ibadah, namun abai terhadap habluminannas. Ada yang dengan santai melintas, tak peduli kakinya menyabet jamaah lain hanya demi mendapat tempat. Bahkan meski mereka tau kesalahanya, tetap tidak ada permohonan maaf terlontar. Padahal tentu tidak ada salahnya sekadar menganguk takzim tanda maaf.
Masih soal akhlak, jamaah paling ramah yang penulis temui adalah dari Turki dan Pakistan. Penulis kagum. Orang Turki tidak hanya suka memberi, tapi bahasa tubuhnya sangat ramah. Misalnya mencium kepala anak-anak dan orang tua, membantu kesulitan orang, dan berbagi makanan dan bahkan berbagi tempat shalat meski dia sendiri harus bersempit-sempit.
Demikian untuk sementara, sedikit catatan dari tanah suci. Semoga kita semua bisa mengunjungi Baitullah dimasa yang akan datang. Lebih dari itu, semoga Allah menjadikan kita hamba-hambaNya yang tidak hanya baik hubungannya dengan sang pencipta, tetapi juga menjaga akhlak yang baik antar sesama manusia. (*)