Seekor anjing menggonggongi sebuah bus. Para penumpang heran. Bus tak hirau. Ia tetap melaju dengan kecepatan tak tetap. Dilukiskan, tampak dari luar jendela bus, seekor anjing sementara berlari. Anjing yang menggongong tadi rupanya. Hendak berlombakah ia dengan mesin? Tentu saja ia tertinggal. Sembari terus mengejar, mengonggong, mata anjing itu mengisyaratkan kesedihan. Kepedihan. Sementara, salah seorang penumpang bus justru merasa kikuk, bertanya-tanya, dan ketakutan dengan kehadiran si anjing.
Mampukah anjing itu mengejar terus bus tersebut? Mengapa anjing itu menggonggong? Mengapa ia mengejar bus? Apa hubungan anjing dan salah seorang penumpang di dalam bus itu?
Beberapa pertanyaan di atas dapat kita temukan jawabnya pada sebuah cerita pendek karya Cesar Aira berjudul “Perihal Seekor Anjing”. Cesar Aira adalah sastrawan Argentina yang lahir pada tanggal 23 Februari 1949.
Cerpen tersebut saya baca lewat bantuan terjemahan Muliadi G.F. dalam buku berjudul “Pertunjukan di Awan” terbitan Basabasi tahun 2018. Selain menerjemahkan, Muliadi G.F juga seorang penulis cerpen yang karya-karyanya dimuat di sejumlah media di Indonesia. “Cerita dari Negeri Siput” merupakan buku kumpulan cerita pendeknya yang diterbitkan oleh Sampan Insititut tahun 2017.
“Pertunjukan di Awan” sendiri ialah sehimpun terjemahan cerita pendek Amerika Latin yang ditulis selain oleh Cesar Aira, juga terdiri dari penulis kenamaan Amerika Latin lainnya seperti: Roberto Bolano, Daniel Alarcon, Juan Villoro, Julio Cortazar, Patricia Pron, Andres Neuman, Edmundo Pas Soldan, Alejandro Zambra, Pedro Mairal, Alejandra Costamagna, Luisa Valenzeula, dan Jose Miguel Tomasena. Beragamnya penulis dalam buku ini, juga diikuti oleh tema dan bentuk masing-masing cerpen. Sebuah khazanah yang baik untuk mengenal kesusastraan lebih jauh.
Selain “Perihal Seekor Anjing”, cerita pendek lainnya yang menarik bagi saya ialah “Picasso”. Cerpen ini berkisah tentang seseorang yang menemukan sebuah jin botol. Sang jin memberi tokoh utama pilihan: menjadi Picasso atau punya satu karya Picasso. Hal itu membuat ia bingung. Ia berpikir betapa beruntungnya menjadi Picasso, akan tetapi di sisi lain, ia merenungkan bahwa punya satu buah lukisan rasanya sudah cukup untuk membuatnya kaya dan mengantarnya ke kehidupan yang damai, menulis novel, bersantai, dan membaca.
“Aku mau satu karya Picasso.” (hal. 37)
Sebuah lukisan pun muncul di atas meja. Namun ketika ia hendak meninggalkan tempat ia berada saat itu, yakni museum, ia justru dilanda masalah baru.
“…Aku tidak mengerti kenapa ini tidak terpikir sebelumnya, tapi yang paling penting itu telah terjadi kepadaku sekarang. Seperti dalam mimpi buruk, sebuah masalah tak terpecahkan pun meredup, dan menyisahkan kegelisahan. Aku masih di dalam area museum: cepat atau lambat aku harus pergi; kehidupan sebagai orang kaya hanya bisa dimulai di luar sana. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan Museum Picasso sambil mengempit karya Picasso?” (hal. 43-44)
Meski demikian, ada juga beberapa cerpen yang sulit saya nikmati. Hal itu saya rasa karena ketidaklaziman cerpen-cerpen seperti yang selama ini saya baca—menggunakan plot yang linear.
Keunggulan utama buku ini adalah dari terjemahannya yang berbeda dari buku terjemahan umumnya. Muliadi menggunakan bahasa dan logat: Bugis dan Papua, untuk mengisahkan ulang cerpen-cerpen tersebut. Selain mendekatkan nilai rasa suatu cerpen, Muliadi, saya kira juga berupaya menjaga “bahasa ibu”. Kerumitan yang mungkin dijumpai adalah penggunaan istilah “Bugis” di beberapa cerpen bagi pembaca di luar Sulawesi Selatan. Sebab, penggunan istilah-istilah itu, tidak dilengkapi arti yang biasanya dijumpai di catatan kaki sebuah cerita. Bacalah buku “Pertunjukan di Awan”, siapa tahu, kita bisa saling memperkaya pemahaman dan pengalaman. []