PAREPARE, PIJARNEWS.COM — Kisah hidup mustadafin, kaum tak berpunya di Parepare makin jarang kedengaran. Entahlah. Mungkin kota ini telah luar biasa sejahtera oleh gemerlap pembangunan. Namun mungkin pula, kita tidak pernah benar mencari mereka. Padahal Nabi berpesan, carilah aku ditengah-tengah mustadafin.
PIJAR menemukan satu diantara mereka. Sudah tua, sakit-sakitan, tinggal dipondok yang tak lebih baik dari gubuk. Itulah yang dialami Mu’minang, nenek berusia 80 tahun di Parepare. Pondok di Jalan Atletik itu berukuran 5×6 meter, oleng bak kapal saat dinaiki. Dinding dan lantainya dari papan tiangnya hampir habis dimakan rayap. Atapnya dari seng yang bocornya sudah tidak terhitung. Berlapis kain kumal, sebuah baskom dan panci kecil masih ditetesi air sisa hujan semalam.
Disanalah si nenek hidup bersama seorang cucunya yang masih SD. “Sudah lama begini nak. Alhamdulillah masih bisa hidup berkat rezeki Allah, bantuan tetangga,” katanya.
Meski hidup serba terbatas, namun hati nenek kelahiran 1937 itu sungguh lapang. Dia masih mampu mengajar mengaji secara tradisional dikolong pondoknya. Saat ditemui PIJAR, nenek yang karib disapa Indo Caling itu sedang mengeja Alquran kata demi kata dihadapan tiga muridnya. Sesekali dia usap kepala mereka jika mampu melafalkan ayat dengan benar.
Untuk makan sehari-hari, Indo Caling dan cucunya banyak terbantu oleh belas kasih tetangga. Orangtua muridnya juga kadang datang membawa beras, balas jasa mengajari anak-anak mengaji. Jika berlebih, beras itu ditukarnya dengan beberapa butir telur untuk digoreng. Begitulah sehari-hari.
Indo Caling sebenarnya enggan menerima imbalan itu. “Adaji raskin, cukup buat makan,” begitu katanya. Jika kita bersedia merenung, dia sesungguhnya menunjukkan makna dari kata religius, sebuah kata yang makin sering kita dengar ditahun 2017 ini dari sebuah agenda jalan-jalan subuh. Satu lagi, Indo Caling tidak pernah bertanya mengapa pondoknya tidak pernah tersentuh program bedah-bedahan. (*)